Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
INI contoh cerita pengkhianat di masa silam yang kerap 'diputar' ulang hari-hari ini. Ketika itu tarikh 1935, militer Italia berhasil menduduki Ethiopia, negeri yang disebut paling tua di Afrika Timur.
Beberapa tokoh penting negeri itu yang telah membantu pendudukan Italia diundang Benito Mussolini, sang diktator fasis itu. Dengan rasa bangga tak terkira mereka menuju negeri yang masyhur di Eropa, tempat pengelana ternama, Marco Polo, dilahirkan.
Terbanglah mereka bersama serdadu Italia para tokoh Ethiopia itu. Di atas Laut Merah itulah para jenderal mendapat perintah dari sang diktator agar para tokoh Ethiopia dikeluarkan dari perut pesawat tanpa parasut. Mussolini sudah tahu pastilah para jenderal akan bertanya kenapa hal itu dilakukan.
"Kepada negeri sendiri saja mereka berkhianat, apalagi kelak kepada Italia. Sekali orang berjiwa pengkhianat, dia akan terus menjadi pengkhianat seumur hidupnya." Itulah jawaban Mussolini. Kita bisa berdebat panjang tentang tindakan sadis sang diktator ketika Perang Dunia II itu.
Pernyataannya, bahwa jika seorang berjiwa pengkhianat, dia akan menjadi pengkhianat seumur hidupnya, bisa 'ya' bisa 'tidak'. Namun, seorang yang berkhianat pada bangsanya sendiri punya potensi melakukan pengkhianatan lebih besar lagi. Ini amat bahaya, terlebih dalam suasana perang.
Di Indonesia, kini kita juga tengah melihat dan merasakan betapa para pengkhianat terhadap bangsa mereka sendiri dilakukan tanpa rasa malu. Tak harus diartikan berkhianat hanya dalam perang fisik. Koruptor itulah para pengkhianat bangsa yang amat berbahaya.
Jumlahnya di negeri ini teramat banyak. Ratusan kepala daerah dan ribuan politikus yang masuk bui. Hilangnya public ethic dari tangan para politikus itulah yang mencemaskan. Karena itu, ada partai yang kadernya masuk kabinet, tetapi petinggi partai itu terus mencerca sang pemimpin kabinetnya.
Politik yang mestinya menjadi ruang untuk mendistribusikan keadilan menjadi porak-poranda di tangan politikus yang hanya paham transaksi. Politikus Setya Novanto yang baru saja divonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi KTP elektronik yang merugikan rakyat Rp2,3 triliun sesungguhnya hanya menguatkan realitas politik yang teramat kotor itu.
Hukum positif yang menerungku Novanto sesungguhnya hanya menunggu waktu. Ia melengkapi para pengkhianat bangsa terdahulu, tiga pemimpin lembaga tinggi negara: Akil Mochtar (kader Golkar yang menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi) dan Irman Gusman (Ketua Dewan Perwakilan Daerah).
Masih ada Patrialis Akbar (mantan poltisi PAN, yang menjadi hakim Mahkamah Konstitusi). Kurang apa lagi contoh telanjang pengkhianatan itu. Dalam korupsi, yang masuk genus kejahatan luar biasa, perlu pula disebut mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum, yang kini masih dibui. Di tangan para politikus busuk bersemilah demokrasi yang masih muda seperti tampak bertumbuh, tetapi sesungguhnya rapuh. Akal sehat kita pun berselancar betapa yang belum terbukti secara hukum, bisa jadi lebih banyak bilangannya.
"Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan 'uang tunai'. Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat," kata pemikir Rocky Gerung dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 2010. Realitas yang kini kian parah.
Lalu, manakah 'partai setan' dan 'partai Allah' seperti dikatakan Amien Rais? Bukankah kader PAN yang juga gubernur Jami Zumi Zola dan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam terlibat korupsi? Jika 'partai Allah' merepresentasikan kebajikan dan 'partai setan' merepresentasikan kejahatan, apakah kategorisasi itu tak serampangan?
Cerita lama berikut ini menemukan relevansinya di sini. Ketika seorang wartawan bertanya kepada filsuf Jean-Jacques Rousseau, "Kenapa demokrasi di Romawi runtuh?" Ia menjawab, "Demokrasi itu ibarat buah yang bagus untuk pencernaan, tapi hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya."
Nah, lambung dalam demokrasi kita sungguh tak sehat. Politikus kita telah menurunkan derajat diri mereka begitu rupa. Mereka yang mestinya memuliakan suara publik justru menistakannya dengan membeli suara publik.
Wajarlah mereka kemudian menjarah uang publik agar neraca finansial mereka pulih kembali. Kita tak tahu jalan apa yang hendak ditempuh untuk menghadapi situasi mencemaskan ini. Kita tak hidup di sebuah negeri di masa Benito Mussolini, yang ringan saja menyuruh para jenderal menendang keluar dari pesawat para pengkhianat (bangsa).
Namun, benar sekali pengkhianat selamanya pengkhianat. Dalam korupsi sedikitnya ia mengkhianati janjinya, sumpahnya, Tuhannya, rakyatnya! Wajarlah jika harus dihukum berat. Dimiskinkan mestinya.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved