Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
WAKIL Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin, meminta para peserta pemilu untuk tidak berlarut-larut dalam menanggapi hasil Pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada. Ia juga menekankan pentingnya Mahkamah Konstitusi (MK) untuk bersikap tegas dalam menangani sidang perselisihan hasil Pilkada (PHPKada).
“Diberi ruang keadilan pemilu, tapi jangan berlarut-larut lah, kita juga butuh kepastian. Sampai kapan mau selesai kalau PSU, PSU lagi, PSU, PSU lagi, PSU, PSU lagi,” kata Zulfikar, dalam keterangannya pada Rabu (15/4).
Zulfikar juga mempertanyakan apakah proses sengketa Pilkada yang akan kembali diadili setelah PSU tersebut apakah akan berdampak pada sistem pemerintahan di daerah.
Untuk itu, ia meminta ketegasan dari MK untuk mewujudkan batasan berapa persen selisih antara pasangan calon yang bisa disidangkan. Sehingga tidak semua gugatan harus diterima dan kembali disidangkan.
“MK sendiri menurut saya perlu juga ada ketegasan. Dulu MK itu punya batasan, kalau hasil itu selisih, berapa waktu itu, ada berapa persen, ada berapa persen itu, bolehlah dilanjut. Kalau nggak, ya sudah dihentikan. Mungkin itu bisa dijadikan landasan kembali,” terangnya.
Selain itu, Zulfikar menegaskan bahwa proses pilkada tidak akan pernah mencapai 100%keadilan. Hal itu disebabkan dalam setiap kontestasi, ada banyak pihak yang dilibatkan sehingga ada banyak kepentingan yang dapat menuding kecurangan satu sama lainnya.
“Kalau kita mau mencapai keadilan Pemilu, keadilan dalam proses, dalam cara, termasuk dalam hasil, 100% itu tidak mungkin lah. Itu di akhirat kira-kira kalau mungkin,” tuturnya.
Zulfikar juga mendesak semua pihak untuk membuat pakta integritas agar sepakat PSU hanya dapat dilakukan sekali apabila gugatan dikabulkan oleh MK.
Menurutnya, keadilan dalam Pilkada tidak bisa dibiarkan berlarut-larut demi kepastian dalam menjalankan roda administrasi pemerintahan di daerah.
“Kalau pun tahu mau PSU, sekali saja PSU. Kita kan akhirnya berpikir, kita lebih dalam praktiknya, lebih mendahulukan kepastian hukum atau keadilan hukum. Kita ingin capai dua-duanya, tetapi, kan, kadang-kadang tidak bisa kita capai sekaligus dua-duanya,” pungkasnya.
Diketahui, sejak penyelenggaraan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada 22 Maret, 5 dan 9 April 2025, ada tujuh PSU di berbagai wilayah yang kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sampai saat ini kami menerima informasi (gugatan kembali) dari 7 tempat, ya, 7 kabupaten dan kota. Kami tidak akan komentari itu sebagai satu fakta, itu ada, diajukan permohonannya,” kata Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI August Mellaz, di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, pada Selasa (15/4).
Tujuh daerah tersebut meliputi Kabupaten Puncak Jaya (Provinsi Papua Tengah), Siak (Riau), Barito Utara (Kalimantan Tengah), Buru (Maluku), Taliabu (Maluku Utara), Banggai (Sulawesi Tengah), dan Kepulauan Talaud (Sulawesi Utara). (Dev/P-3)
Presiden Prabowo juga diyakini tak ada maksud tertentu melakukan pengambilalihan. Upaya itu hanya untuk meredakan ketegangan antardua kepala daerah.
Menurutnya, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.
Bagi Utut, tak masalah bila Presiden Prabowo harus turun tangan menghadapi setiap polemik yang berkembang. Meskipun jajaran kementeriannya dapat mengambil langkah.
Menurut dia, pertentangan-pertentangan terkait perekrutan puluhan ribu prajurit tersebut perlu diselesaikan dengan baik untuk menciptakan kondisi bangsa yang baik.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PDIP itu juga mempertanyakan strategi pertahanan di RI. Ia menyoroti keterbatasan APBN terkait dengan alutsista yang dimiliki oleh Indonesia.
UU dan revisi regulasi tersebut untuk mengantisipasi sengketa batas wilayah antar daerah seperti yang terjadi antara Aceh dan Sumut terulang di kemudian hari.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved