Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Sengketa Pilkada Terbanyak di Papua, Sistem Noken dan Keamanan Dinilai Jadi Tangangan

Devi Harahap
21/1/2025 15:40
Sengketa Pilkada Terbanyak di Papua, Sistem Noken dan Keamanan Dinilai Jadi Tangangan
Jajaran Hakim konstitusi Arief Hidayat (kiri), Arsul Sani (kedua kiri), Anwar Usman (kedua kanan), Ridwan Mansur(MI/Usman Iskandar)

 

MAHKAMAH Konstitusi (MK) mencatat sidang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP-kada) 2024 didominasi dari wilayah Indonesia timur. Urutan tiga teratas ditempati oleh Papua Tengah sebanyak 20 perkara, Maluku Utara sebanyak 19 perkara, dan Papua sebanyak 18 perkara.

Pada perhelatan Pilkada Gubernur, 7 dari 10 provinsi dengan permohonan sengketa Pilkada 2024 berasal dari Indonesia timur. Dalam hal ini, Provinsi Papua Selatan menjadi wilayah dengan jumlah permohonan terbanyak, yakni tiga perkara. 

Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menjelaskan distribusi jumlah perkara yang masuk ke MK tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan kompleksitas geografis dan tingkat partisipasi politik tinggi memiliki potensi sengketa yang lebih besar.

“Pilkada di Papua memang memiliki banyak problematika mulai dari masalah integritas dan profesionalitas penyelenggara, gangguan keamanan, ataupun kecurangan yang melibatkan politik uang, intimidasi, maupun manipulasi suara,” jelas Titi kepada Media Indonesia pada Rabu (21/1). 

Titi mengatakan pada Pilkada 2024, konflik terkait sistem noken memang banyak bermunculan di Papua. Selain itu, pelaksanaan Pilkada juga diwarnai berbagai masalah, mulai dari tahapan penyaluran logistik, hari pencoblosan, hingga proses rekapitulasi. Masalah ini memicu kerugian, mulai dari kekerasan hingga berdampak pada hak politik masyarakat sipil.

“Banyak PR yang harus diselesaikan khususnya terkait dengan akuntabilitas sistem noken dan juga kredibilitas penyelenggara pemilunya,” katanya. 

Diketahui, dalam sistem noken, kelompok masyarakat di suatu wilayah bisa mengambil kesepakatan bersama untuk memilih calon tertentu. Bisa juga suara dari kelompok masyarakat itu ditentukan oleh kepala suku.

Selain itu, Titi juga menekankan pentingnya bagi penyelenggara pilkada kedepan untuk mengantisipasi adanya konflik horizontal yang berimbas pada keselamatan pemilih. 

“Perlindungan terhadap pemilih dalam menggunakan hak pilih dan agar suaranya tidak direkayasa juga masih menjadi tantangan besar di Papua. Karena itu, ke depan seleksi penyelenggara pemilu di Papua harus diperbaiki,” ujarnya.

Titi menilai, penyelenggara pemilu harus memperhatikan hak politik masyarakat secara merata. Apalagi, banyak masyarakat yang berasal dari daerah konflik yang mengungsi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu memastikan kelompok-kelompok marjinal bisa menyalurkan hak politik secara netral.

“Jangan sampai ada intervensi politik dalam bentuk apapun, termasuk juga bagaimana memastikan profesionalitas petugas sehingga bisa menyelenggarakan pemilihan dengan benar sesuai aturan main yang ada,” katanya. 

Menurut Titi, Papua selalu menjadi wilayah langganan dengan pelanggaran dan sengketa terbanyak dalam pilkada. Atas dasar itu, dia menekankan pentingnya penegakan hukum secara efektif dan berkeadilan.

“Hal itu khususnya terkait penyimpangan dan manipulasi dalam praktik penggunaan noken yang acap kali dicurangi oleh para oknum yang berkomplot dengan elite politik tertentu,” ujar Titi. 

Lebih jauh, Titi menekankan agar partai politik bergerak untuk memberikan pendidikan politik sebagai komitmen jangka panjang yang harus dilakukan secara serius dan melibatkan semua pihak di Papua. 

“Jangan sampai literasi politik tidak berkembang yang akhirnya terus membuat kondisi demokrasi di Papua tidak bisa maju dan mengejar ketertinggalan dibanding daerah lain,” tandasnya. 

Terpisah, Peneliti dari Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal mengatakan bahwa proses pelaksanaan baik pemilu maupun pilkada di wilayah papua masih memiliki banyak catatan. Kendati demikian katanya, hal itu bukan menjadi alasan untuk mengubah sistem pilkada menjadi tidak langsung.

“Perbaikan harus dilakukan dengan evaluasi menyeluruh terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan keamanan dan teknis penyelenggaraan yang masih banyak kekurangan,” tandasnya. (Dev/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya