Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pemilu Serentak Jadi Penyebab Menguatnya Kartel Politik

Yakub Pryatama Wijayaatmaja
18/12/2024 16:23
Pemilu Serentak Jadi Penyebab Menguatnya Kartel Politik
Ilustrasi: personel Brimob Polda Kalimantan Tengah berjaga di tempat pemungutan suara ulang (PSU)(ANTARA FOTO/Auliya Rahman)

PENDIRI Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menegaskan bahwa Pemilu Serentak 2024 memiliki dampak menguatnya kartel politik di Indonesia. 

Hal itu diungkapkan Burhanuddin saat menjadi pembicara di acara Indonesia Electoral Reform Outlook Forum 2024 yang diadakan Perludem di Jakarta, Rabu (18/12).

“Ada satu yang tidak orang bicarakan, tetapi punya efek luas sebagai pemilih, ketika pilkada diadakan di tahun yang sama dengan pilpres dan pileg, terutama setelah pilpres , aitu menguatnya kartel politik,” tegas Burhanuddin. 

“Jadi saya sudah hitung, rata-rata kandidat yang maju di Pilkada 2024 itu rendah, bahkan rata-rata yang maju dalam pilkada gubernur, bupati, walikota itu di angka 6 sekarang tinggal 2,8,” tuturnya. 

Padahal, kata Burhanuddin, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membukakan pintu seluas-luasnya bagi para calon peserta pilkada dengan menurunkan threshold pencalonan kepala daerah, yakni memberikan waktu sembilan hari sebelum penutupan pendaftaran. 

Artinya, kata Burhanuddin, desain keserentakan pilkada setelah pilpres punya efek negatif karena parpol ingin punya insentif kabinet atau pos strategis di kementerian dengan mengorbankan elektoral kompetisi di pilkada.

“Itu yang, jadi parpol-parpol mendingan ikut Gerindra untuk dapat kursi dan tidak mencalonkan kadernya sendiri,” tutur Burhanuddin. 

Burhanuddin menuturkan fenomena ini menyebabkan biasanya kartel politik umumnya di level nasional, kini kartel politik malah terjadi setelah pemilu nasional. 

“Di dalam kasus kita, di pilkada sudah terjadi kartel dan itu merugikan kita karena kita dipaksa memilih calon yang terbatas,” paparnya. 

Hal itu diiringi fakta dengan jumlah calon independen yang menurun, munculnya fenomena kotak kosong. Bukan hanya itu, meningkatnya surat suara tidak sah juga jadi bukti kekecewaan masyarakat terhadap pilkada. 

“Maka keserentakan harus didiskusikan, apakah diundur dua tahun setelah pilpres? Kalau bisa jangan setelah pilpres, karena kalau setelah pilpres itu umumnya bicara jangka pendek, mereka ingin kompensasi kekuasaan dengan memenangkan kompetisi elektoral,” tandas Burhanuddin. (ykb/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya