Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Adili Sengketa Pilkada Banjarbaru, MK Diminta Jangan Terpaku Aspek Formalitas

Tri Subarkah
06/12/2024 16:35
Adili Sengketa Pilkada Banjarbaru, MK Diminta Jangan Terpaku Aspek Formalitas
Ilustrasi: Petugas keamanan berjalan di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi(Dok.Antara)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) diingatkan untuk tidak terpaku pada aspek formalitas dalam menyidangkan sengketa hasil Pilkada Kota Banjarbaru 2024. Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini berharap MK dapat mengambil langkah progresif sebagaimana sejumlah putusan sebelumnya.

Titi mengatakan, empat permohonan sengketa hasil Pilkada Banjarbaru 2024 yang sudah didaftarkan ke MK mengindikasikan adanya persoalan besar dan nyata dalam kontestasi tersebut. Hal itu menggambarkan pilkada yang berjalan tidak adil serta tidak sesuai dengan aturan main. 

"Melihat banyak pihak yang mewakili elemen masyarakat keberatan atas hasil pilkada, artinya ada kondisi hukum luar biasa yang membuat MK tidak boleh terpaku hanya pada aspek formalitas seperti pada situasi biasa," ujarnya kepada Media Indonesia, Jumat (6/12).

Menurut Titi, MK harus dapat melihat persoalan di Banjarbaru secara utuh dan menyeluruh. Salah satu persoalan itu adalah tidak diberlakukannya mekanisme kotak kosong meski pilkada hanya diikuti satu pasangan calon, yakni Erna Lisa Halaby-Wartono. Oleh karena itu, ia menilai Pilkada Banjarbaru 2024 inkonstitusional.

Lisa-Wartono dimungkinkan menjadi pasangan calon tunggal setelah Bawaslu mendiskualifikasi pasangan lainnya, yaitu Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah. Namun, Titi mengatakan terjadi kesalahan penerapan hukum dalam proses diskualifikasi tersebut.

"Seharusnya apabila yang melanggar adalah calon yang berstatus petahana, maka yang didiskualifikasi hanyalah calon yang melakukan pelanggaran, bukan terhadap kepesertaan pasangan calonnya," terang Titi.

Titi mengingatkan, MK pernah bersikap pogresif saat menangani sengketa hasil Pilkada Sabu Raijua 2020 dengan mengabikan tenggat waktu pengajuan perkara karena ada kondisi hukum luar biasa bahwa calon yang memenangi pilkada memiliki paspor negara lain atau berkewarganegaraan asing.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa MK beberapa kali menyimpangi syarat ambang batas selisih perolehan suara karena mempertimbangkan bahwa hasil yang ditetapkan KPU diperoleh melalui proses yang belum selesai atau melibatkan praktik kecurangan yang mempengaruhi perolehan suara calon.

"Misalnya di Pilkada Tolikara 2017 di mana MK menyatakan rakapitulasi suara berlangsung cacat hukum," pungkas Titi. (P-5)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya