Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Haji Ramah Anak

Sobih Adnan Ketua Tim Inisiasi Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA)
26/5/2025 20:40
Haji Ramah Anak
(Dokpri)

SETIAP musim haji tiba, jutaan manusia berhimpun. Mereka menanggalkan identitas duniawinya, dari pangkat, status, gelar, dan mengenakan dua helai kain putih yang menyatukan dalam barisan para pencari Tuhan. Namun, di balik pusaran ritual itu, ada narasi lama yang nyaris luput, yakni kisah tentang keluarga, riwayat seorang anak yang dijaga, diuji, lalu diselamatkan, ihwal seorang ibu yang tak kenal lelah, juga seputar cinta yang melampaui logika.

Ibadah haji tidak berdiri sendiri. Rukun Islam kelima ini amat terikat erat dengan narasi keluarga Nabi Ibrahim AS, sebabak kisah masyhur yang memahat keteladanan tentang cinta, tanggung jawab, dan pengorbanan terhadap anak. Nabi Ibrahim yang diuji kedahsyatan rasa gundah gulana, Ismail kecil ditinggalkan di lembah gersang, serta Sayyidah Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwah.  

Ritual sa'i, misalnya, bukanlah cuma pengulangan gerak. Praktik lari-lari kecil itu merupakan jejak kasih seorang ibu dalam mempertahankan hidup. Dari langkah cemas itu, muncullah zamzam, mata air yang tak pernah kering hingga hari ini.

Al-Qur'an mengabadikan kisah ini dalam QS Ibrahim: 37. "Ya Tuhan kami, sesungguhnya telah aku tempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak punya tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah)..." 

Kisah keluarga Ibrahim ini pun menjadi inti simbolik ibadah haji. Bermuatan cinta tanpa pamrih, doa tanpa henti, serta perlindungan total terhadap anak-anak, bahkan dalam kondisi paling ekstrem.

Simbol haji, pesan sosial

Balang jumrah pun bukan sekadar prosesi melempar batu, melainkan simbol pengusiran bisik kejahatan, termasuk kezaliman terhadap yang lemah. Wukuf di Arafah bukan hanya diam di padang. Puncak haji itu disyariatkan sebagai momen kontemplasi, tentang diri, tanggung jawab, dan kepedulian sosial, terlebih terhadap anak-anak.

Sayangnya, pemaknaan spiritual ini sering tidak terbawa pulang. Banyak jemaah yang kembali tanpa membawa perubahan sosial. Buktinya, anak-anak tetap menjadi korban, bahkan di institusi keagamaan sekalipun. Laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) tahun 2024 mencatat 573 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah, termasuk lembaga pendidikan yang mengeklaim diri berbasis keagamaan hingga pesantren. Malahan, angka itu melonjak dua kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. 

Kekerasan yang terjadi pun tidak hanya menyasar fisik. Rupa-rupa bentuknya, dari mulai kekerasan verbal, psikologis, seksual, hingga spiritual. Tangan-tangan yang seharusnya membimbing, anehnya, justru menyakiti.

Padahal, sudah jauh hari Nabi Muhammad SAW mewanti-wanti, "Siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi." (HR Bukhari).

Pesan ini memang tampak sederhana, tetapi sejatinya menyimpan makna dalam. Siapa pun yang merendahkan anak berarti menolak kasih. Dan menolak kasih berarti kehilangan rahmat.

Urgensi tafsir baru haji 

Selain media pemurnian jiwa, prosesi haji semestinya harus menjadi inspirasi perubahan sosial. Salah satunya melalui kesadaran penuh bahwa anak adalah amanah. Bukan milik, bukan objek kuasa. Persis yang dipesankan Imam Al-Ghazali, "Anak adalah amanah di tangan orangtua. Hatinya suci. Jika dibiasakan kebaikan, ia akan tumbuh dalam kebaikan."

Gagasan ini harus melampaui keluarga. Lembaga pendidikan, masjid, pesantren, hingga komunitas dakwah wajib menjadikannya prinsip utama. Haji yang mabrur tidak boleh berhenti pada tataran ritual. Predikat kemabruran harus menghasilkan komitmen moral.

Rilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada Februari 2024 menunjukkan bahwa 60% anak Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik di rumah maupun sekolah. Fakta ini menegaskan bahwa kekerasan bukan isu sampingan. Fenomena ini lebih pas disebut ancaman sistemik dan harus dihadapi secara tegas, termasuk melalui kesadaran spiritual pasca-haji.

Lempar jumrah bisa ditafsirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Kekerasan terhadap anak sering dibungkus dengan alasan pendidikan atau disiplin. Padahal yang terjadi adalah dominasi, bukan pembinaan.

Anak tidak dilahirkan untuk dikendalikan. Mereka hadir untuk ditumbuhkan. Karena itu, peran haji sebagai titik balik harus diperluas. Setelah pulang, jemaah mesti menjadi pembela hak anak. Para haji harus bertekad menjadi pelindung, bukan pemilik.

Al-Qur'an menegaskan larangan berlaku zalim terhadap anak. "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan..." (QS Al-Isra': 31). Ayat ini tidak hanya tentang pembunuhan fisik, melainkan juga mencakup pembunuhan masa depan, termasuk dengan kekerasan yang merusak mental dan jiwa anak.

Pelaksanaan rukun kelima Islam ini tidak boleh cuma ditandai oleh gelar haji di depan nama. Haji seharusnya melahirkan aksi nyata dengan menjadikan semua pihak, seluruh pemangku kepentingan, dan setiap lapisan masyarakat giat mendorong agar sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan model apapun lebih ramah anak, memiliki keberpihakan pada korban, dan berani membongkar sistem yang toksik, serta menolak tafsir keagamaan yang melegalkan kekerasan.

Data dari UNICEF (2023) menyatakan bahwa negara-negara yang menerapkan kebijakan perlindungan anak berbasis agama secara progresif mengalami penurunan kasus kekerasan hingga 35% dalam lima tahun. Angka ini menunjukkan bahwa agama dan perlindungan anak semestinya berjalan beriringan. Tidak perlu dipertentangkan dan justru harus disinergikan.

Haji ramah anak bukan wacana kosong. Konsep ini bisa dimaknai secara serius sebagai semacam seruan etis. Semangat haji ramah anak harus lahir dari kesadaran bahwa mencintai Tuhan wajib diiringi dengan mencintai ciptaan-Nya, terutama yang paling rentan, yakni anak-anak.

Spirit haji seharusnya tidak hanya vertikal. Haji harus menembus relung-relung sosial. Haji yang mabrur bukan hanya bersih ritualnya, tetapi juga pulang membawa keberpihakan pada anak-anak yang terluka.

Haji ramah anak adalah tanggung jawab kolektif. Haji ramah anak adalah cermin akhlak dan iman. Jika ajaran Ibrahim diresapi, anak-anak akan disambut sebagai titipan, bukan beban, bukan milik, tetapi cahaya yang harus dijaga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya