Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Afirmasi untuk Pengesahan RUU PPRT

Eva K Sundari Institut Sarinah
13/2/2025 05:00
Afirmasi untuk Pengesahan RUU PPRT
(MI/Duta)

MESKI terus diganjal DPR selama 20 tahun, satu-satunya solusi pengesahan UU PPRT juga ada di tangan DPR. Perubahan sikap Fraksi Gerindra dan Golkar yang akhirnya mendukung RUU itu di pengujung DPR periode 2019-2024 lalu merupakan sinyal positif. Meski demikian, pengesahan UU PPRT tetap perlu afirmasi khusus dari DPR periode 2024-2029 agar tidak mental lagi seperti selama ini.

Hari PRT Nasional pada 15 Februari tahun ini sepatutnya menjadi momentum untuk pernyataan komitmen DPR bagi pengesahan RUU PPRT yang telah dua dekade lebih diperjuangkan. Para PRT berhak mendapatkan penghargaan dan pengakuan atas jasa dan pengorbanan mereka dalam menjaga keharmonisan dan kelancaran kehidupan sehari-hari bagi jutaan rumah tangga Indonesia.

Komitmen politik fraksi itu penting karena akan menjadi prasyarat agar afirmasi terhadap RUU PPRT bisa diwujudkan. Harus ada perlakuan khusus bagi RUU PPRT melalui statusnya sebagai RUU carry over di saat penutupan sidang DPR periode lalu pada September 2024.

 

STATUS CARRY OVER RUU PPRT

Sebuah RUU mendapat status carry over bermakna bahwa rancangan undang-undang tersebut dapat dilanjutkan ke periode DPR berikutnya, jika tidak selesai dalam satu periode masa jabatan DPR. Itu menghindari keharusan memulai pembahasan dari awal sehingga bisa mempercepat proses legislasi.

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No 25/PUU-XIV/2016 dan diatur dalam Pasal 71A Undang-Undang No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU bisa berstatus carry over jika sudah masuk pembahasan tingkat I, yaitu sudah dibahas di DPR bersama pemerintah sebelum masa jabatan DPR berakhir. Kedua, jika disepakati DPR dan pemerintah untuk dilanjutkan ke periode berikutnya.

Pada 27 September 2024, saat penutupan sidang paripurna DPR periode 2014-2019, Ketua DPR membacakan usul dari Baleg agar RUU PPRT dimasukkan ke RUU dengan status carry over. Sidang paripurna secara aklamasi menyetujui usul Baleg tersebut sehingga Ketua DPR Puan Maharani mengetukkan palu tanda kesepakatan.

Usul Baleg atas status carry over RUU PPRT tersebut didasarkan pada alasan bahwa RUU itu sudah mempunyai surat presiden (surpres) dan daftar isian masalah (DIM). Itu merupakan faktor istimewa dari RUU PPRT jika dibandingkan dengan RUU yang lain yang turut diusulkan pada saat itu.

Bukan saja Baleg, pada masa itu Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mendorong agar pembahasan RUU PPRT pada periode 2024-2029 itu menggunakan mekanisme carry over. Hal itu dimaksudkan agar pembahasan dapat dilanjutkan tanpa harus memulai dari awal.

Selain Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND), dan lain-lain terus mendesak DPR dan pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT. Mereka menekankan pentingnya undang-undang itu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pekerja rumah tangga serta pemberi kerja.

Saat pembukaan masa sidang DPR 2024-2029 pada Oktober 2024 yang lalu RUU PPRT kembali dimasukkan ke program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Namun, karena statusnya yang istimewa tersebut, harus ada terobosan politik untuk proses selanjutnya.

RUU PPRT sudah mempunyai syarat untuk langsung diproses di pembicaraan tingkat pertama antara DPR dan pemerintah di DPR periode ini karena sudah memiliki syarat kedua di peraturan MK di atas, yaitu disepakati sebagai RUU carry over. Dengan demikian, mekanisme pelaksanaannya yang perlu disepakati secara politik oleh DPR.

 

RUU PPRT SEBAGAI ISU HAM

Dalam konteks DPR sebagai lembaga politik, keputusan mengenai agenda pembahasan RUU, termasuk penentuan di komisi mana RUU tersebut akan dibahas, ditentukan berdasarkan kesepakatan antarfraksi. Artinya, setiap keputusan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan normatif atau teknis, tetapi juga dipengaruhi strategi politik, perhitungan kekuatan, dan konsensus antarpartai yang ada di DPR.

DPR merupakan forum bagi partai-partai politik dan fraksi untuk bernegosiasi. Setiap penetapan agenda pembahasan atau mekanisme pembahasan RUU, seperti apakah RUU PPRT akan ditangani alat kelengkapan dewan (AKD) yang mana diputuskan melalui kesepakatan antarfraksi. Hal itu mencerminkan dinamika politik dengan setiap fraksi memiliki peran strategis dalam menentukan prioritas dan mekanisme pembahasan.

Mekanisme negosiasi antarfraksi justru dimulai di tahap awal sekali, yaitu di rapat pimpinan DPR untuk menentukan agenda sidang dan kebijakan-kebijakan umum. Berbeda dengan periode sebelumnya, prinsip kolektif kolegial di pimpinan DPR tidak lagi dimaknai hierarkis, tetapi menjadi egaliter. Ketua DPR tidak lagi penentu tunggal agenda sidang paripurna, tetapi agenda akan diputuskan bersama-sama dengan para wakilnya.

Keputusan di DPR bukan semata berdasar pertimbangan teknis dan normatif, melainkan juga pertimbangan strategis, misalnya suatu fraksi mungkin merasa bahwa isu tertentu, dalam hal ini RUU PPRT, memerlukan pembahasan yang lebih mendalam melalui perspektif tertentu.

RUU PPRT menyangkut perlindungan hak-hak pekerja rumah tangga yang termasuk kelompok rentan. Komisi Reformasi Regulasi dan HAM memiliki mandat untuk mengawasi agar setiap regulasi yang dibuat sejalan dengan prinsip-prinsip HAM sehingga pembahasan di komisi itu dapat memastikan bahwa aspek perlindungan hak dasar pekerja diperhatikan secara maksimal.

Komisi Reformasi Regulasi dan HAM tidak hanya memfokuskan pada aspek teknis penyusunan regulasi, tetapi juga mengintegrasikan pertimbangan keadilan sosial dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang kurang terwakili. Hal ini sangat relevan untuk RUU PPRT, yang membutuhkan sinergi antara reformasi regulasi dan peningkatan perlindungan sosial bagi pekerja rumah tangga.

Dengan keahlian di bidang reformasi regulasi, komisi itu akan mampu melakukan analisis mendalam mengenai bagaimana peraturan baru akan berinteraksi dengan regulasi yang sudah ada. Itu penting untuk menghindari tumpang tindih atau redundansi aturan yang bisa menghambat implementasi perlindungan yang efektif bagi pekerja rumah tangga.

Melalui mekanisme yang menekankan pada transparansi dan akuntabilitas, pembahasan di Komisi Reformasi Regulasi dan HAM dapat pula menghasilkan kajian yang komprehensif. Hasilnya, RUU PPRT diharapkan memiliki landasan hukum yang kuat, mekanisme implementasi yang jelas, dan perlindungan hukum yang optimal bagi pekerja.

Komisi XIII juga berperan dalam memastikan kebijakan legislasi tidak sekadar menghasilkan aturan baru, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana aturan tersebut diimplementasikan secara praktis. Hal itu memungkinkan evaluasi terhadap efektivitas regulasi dalam melindungi pekerja rumah tangga, serta memastikan adanya mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang memadai.

Dengan demikian, mengusulkan agar RUU PPRT dibahas di Komisi Reformasi Regulasi dan HAM merupakan langkah strategis untuk memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan tidak hanya responsif terhadap kebutuhan perlindungan pekerja rumah tangga, tetapi juga terintegrasi dengan reformasi regulasi yang mendukung tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan adil.

Baleg memang menangani penyiapan dan penataan agenda legislatif secara administratif dan teknis. Di Baleg, fokusnya cenderung pada mekanisme pembahasan dan koordinasi antarlembaga, serta pengaturan alur kerja legislasi. Namun, untuk pembahasan secara mendalam dengan menggunakan perspektif HAM, akan sangat tepat dilakukan di Komisi XIII DPR, apalagi Ketua Komisi XIII ialah mantan Waka Baleg yang mensponsori RUU PPRT.

Jika ada kesepakatan di tingkat pimpinan tentang hal tersebut, proses selanjutnya akan berjalan sesuai dengan pengarahan pimpinan. Di sidang Badan Musyawarah (Bamus) akan diputuskan bahwa pembentukan panja RUU PPRT akan dilakukan di Komisi XIII.

Para pejuang RUU PPRT, termasuk PRT Jumiyem dan aktivis Damaira dari Yogya tetap setia bertahan berjuang sejak awal 2000. Mereka telah menyukseskan lahirnya Pergub DIY No 31 Tahun 2010 dan Perwali Yogyakarta No 48 Tahun 2011 tentang Perlindungan PRT. Saat ini anak dan cucu mereka turut serta berjuang. Semoga perjuangan para perempuan lintas tiga generasi di berbagai penjuru Indonesia ini segera berbuah di Hari PRT Nasional tahun ini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya