Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SAAT ini DPR berinisiatif menyiapkan RUU Kesehatan dengan pendekatan omnibus law, termasuk mengubah beberapa Pasal UU No 24/2011 tentang BPJS. Sebagai sebuah inisiatif, tentu kita perlu memberikan apresiasi. Namun, ada dua hal yang tampak kurang tepat diatur dalam RUU Kesehatan itu, terutama terkait dengan penyelenggaraan jaminan sosial.
Pertama, mereduksi posisi BPJS, baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan, di bawah kementerian sebagaimana diatur dalam Pasal 425 poin 1. BPJS yang saat ini bertanggung jawab (langsung) kepada presiden, menjadi bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan (BPJS Kesehatan) dan Menteri Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).
Kedua, mereduksi penyelenggaraan jaminan sosial menjadi jaminan sosial bidang kesehatan. RUU itu tidak membedakan cakupan tugas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, pasal-pasal UU No 24/2011 yang diubah dalam RUU itu sebetulnya mengatur BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai satu kesatuan. UU No 24/2011 tidak hanya mengatur BPJS Kesehatan.
Ada kejanggalan bahwa penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan diatur dalam regulasi bidang kesehatan. Berkaca dari Perppu Cipta Kerja sebagai omnibus law, keberadaan BPJS Ketenagakerjaan tidak diatur. Perppu itu hanya menambah satu program jaminan sosial ketenagakerjaan, yaitu jaminan kehilangan pekerjaan.
Reduksi jaminan sosial
Pertanyaannya, mengapa reduksi penyelenggaraan jaminan sosial dan posisi BPJS bisa terjadi? Mungkin hal itu berawal dari kekurangcermatan memandang keberadaan BPJS dalam konteks sistem jaminan sosial nasional. Keberadaan BPJS merupakan implementasi UU No 40/2004 tentang SJSN sesuai dengan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 28 H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2.
UU No 40/2004 tentang SJSN mengatur jenis program jaminan sosial dengan kepesertaan bersifat wajib. Teknis pelaksanaan setiap program diatur dalam regulasi turunannya tersendiri. Program jaminan kesehatan atau JKN, misalnya, pelaksanaannya diatur dalam peraturan presiden tersendiri.
Perlu dipahami bahwa program jaminan sosial yang diatur dalam UU No 40/2004 diselenggarakan dengan prinsip asuransi sosial. Sumber pembiayaan program berasal dari masyarakat yang menjadi peserta melalui iuran yang bersifat wajib. Dana program jaminan sosial itu bukan berasal dari APBN.
Hal itu berbeda dengan program jaminan sosial yang menggunakan mekanisme bantuan sosial, yakni dana program berasal dari APBN. Dalam konteks asuransi sosial, intervensi negara dilakukan ketika dana program tidak mencukupi. Defisit dana program ditanggung negara, seperti yang pernah terjadi dengan BPJS Kesehatan. Peran lain, membantu membayarkan iuran bagi warga miskin dan tidak mampu. Walaupun berasal dari APBN, dana itu ialah iuran.
Dengan demikian, dana yang dikelola BPJS ialah dana masyarakat, bukan dana APBN. Dana itu juga bukan milik negara. Dalam konteks itu pula, JKN bukan program bantuan sosial yang didanai pemerintah melalui APBN. Dana program JKN berasal dari masyarakat.
Hal lain, penyelenggaraan jaminan sosial merupakan wujud tanggung jawab negara untuk kesejahteraan warganya. Karena itu, BPJS ialah representasi negara. Sesuai dengan tujuannya, penyelenggaraan jaminan sosial bersifat lintas sektor. Artinya, setiap program jaminan sosial tidak hanya menjadi domain satu kementerian atau lembaga.
JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, misalnya, bukan hanya terkait dengan layanan kesehatan, melainkan juga terkait dengan cakupan kepesertaan, data peserta, pemungutan dan kepatuhan membayar iuran, serta pengelolaan dan pengembangan dana dan aset.
Penyelenggaraan JKN melibatkan banyak kementerian dan lembaga pemerintah sesuai dengan cakupan tugasnya. Misalnya, terkait pengelolaan dan pengembangan dana merupakan domain Kementerian Keuangan. Urusan data penerima bantuan iuran menjadi domain Kementerian Sosial.
Dalam penyelenggaraan JKN, Kementerian Kesehatan merupakan salah satu bagian dari ekosistem penyelenggaraan JKN. Dalam perpres tentang pelaksanaan JKN, sudah diatur apa yang menjadi domain Kementerian Kesehatan dan regulasi bidang kesehatan.
Dapat dikatakan, sebagai penyelenggara program jaminan sosial dengan prinsip asuransi sosial, termasuk JKN, dengan cakupan kepesertaan yang luas, BPJS selayaknya independen. Kemudian, BPJS sebagai representasi negara dan lintas sektor maka BPJS selayaknya bertanggung jawab langsung ke presiden, tanpa melalui salah satu kementerian atau lembaga.
Program bersama
Sebagai upaya menjamin kesejahteraan hidup masyarakat sebagai warga negara, sudah sepantasnya program jaminan sosial diposisikan sebagai program milik bersama, bukan milik satu instansi. Dengan begitu, semua pihak atau instansi bertanggung jawab atas kesuksesan pelaksanaan program.
Dalam konteks itu, JKN milik semua pihak. Semua instansi pemerintah dari pusat sampai daerah bertanggung jawab atas keberhasilan program JKN sesuai dengan area tugasnya. Lahirnya Inpres No 1/2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN menunjukkan bahwa JKN ialah milik banyak instansi dalam posisi setara, sesuai dengan bidangnya.
Kementerian Kesehatan memiliki peran lebih besar dalam penyelenggaraan JKN, tidak berarti peran instansi lain dinafikan. Itu juga tidak bisa menjadi dasar untuk mengeklaim JKN dan BPJS Kesehatan milik Kementerian Kesehatan saja. Besar kecilnya peran instansi merupakan konsekuensi dari keterkaitan area tugasnya dalam pelaksanaan setiap program.
Proses pertanggungjawaban BPJS melalui salah satu kementerian akan berdampak luas. Hal itu tentu menambah panjang birokrasi pertanggungjawaban pelaksanaan program. Belum lagi, penggunaan kata ‘melalui’ yang bisa saja multitafsir, membuka peluang adanya intervensi kementerian terhadap laporan pertanggungjawaban.
Lebih dari itu, hal ini juga bisa membuat program jaminan sosial diposisikan menjadi milik dan tanggung jawab satu kementerian saja. BPJS Kesehatan dipersepsikan menjadi milik atau berada di bawah Kementerian Kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan menjadi milik dan berada di bawah Kementerian Ketenagakerjaan.
Itu tentu mengesankan adanya pengabaian peran instansi lain. Lebih jauh, itu akan berdampak pada kesulitan dalam melakukan koordinasi. Padahal, hal penting yang perlu diperhatikan dalam menyukseskan penyelenggaraan program jaminan sosial ialah memperkuat koordinasi antarpihak.
BPJS Kesehatan meluncurkan Open Call for Research Proposal Tahun 2025 pada Senin (16/6) di Jakarta.
BPJS Kesehatan terus menunjukkan komitmennya dalam menjamin keberlangsungan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui sistem pembiayaan layanan kesehatan
MENTERI Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menyampaikan kesiapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) untuk peserta BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan memastikan bahwa seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tetap bisa mengakses pelayanan, baik layanan administrasi kepesertaan JKN maupun layanan kesehatan
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menegaskan BPJS Kesehatan tidak akan gagal bayar di tahun 2025.
JKN menjadi asa bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam mengakses pelayanan di fasiltas kesehatan.
Kedatangan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti siang ke RS Pratama Yogyakarta bertujuan untuk meninjau layanan BPJS Kesehatan di Rumah Sakit (RS) Pratama Yogyakarta.
Tujuannya, memberikan jaminan akses layanan kesehatan yang adil, merata, dan terjangkau bagi seluruh peserta, tanpa membedakan kaya atau miskin.
Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene menyebut banyak pasien diminta meninggalkan rumah sakit masih dengan selang di hidung untuk makan.
Dalam sambutannya, Joko Widodo mengungkapkan perubahan drastis BPJS Kesehatan dalam menyelenggarakan Program JKN sejak awal kepemimpinannya.
Adapun ruang lingkup kerja sama yang dilakukan yaitu pengembangan sistem klaim digital dan pengembangan sistem pembayaran kepada seluruh fasilitas kesehatan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved