Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mediasi Teman Sebaya

Siti Sarayulis Guru SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe Alumnus University of Tampere
17/1/2022 05:05
Mediasi Teman Sebaya
Ilustrasi MI(MI/Duta)

PERSELISIHAN antarteman, adu mulut, cekcok-cekcok terkait kepemilikan barang, bercanda yang berujung perkelahian, dan konflik-konflik kecil lainnya menjadi warna-warni dalam ruang kelas maupun di luar kelas saat jam istirahat. Jurus menasihati dengan tujuan mengingatkan merupakan solusi pertama yang dipilih para guru.

Guru-guru, apalagi siswa, belum dibekali keterampilan manajemen konflik karena konflik selalu dipahami sebagai sesuatu yang harus dihindari, bukan dikelola. Karena itu, agar guru dan murid terampil mengelola konflik, perlu kiranya mereka dibekali salah satu keterampilan manajemen konflik, yakni mediasi teman sebaya.

Ahmad Baedowi dalam tulisannya, Mediasi Sekolah Damai  (5 Juni 2017), menyatakan seluruh pemangku kepentingan sekolah harus memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya keterampilan mengelola konflik. Salah satu jenis pengelolaan konflik yang secara inheren masuk ke kurikulum sekolah ialah mediasi. Kebutuhan setiap sekolah untuk peduli sekaligus mau mempraktikkan mediasi dalam pengelolaan konflik merupakan pertanda sekolah tersebut layak disebut sebagai sekolah damai.

 

 

Mediasi perlu dilatih

Waktu istirahat di antara jam belajar di sekolah adalah waktu yang biasanya dimanfaatkan murid-murid untuk bermain bersama. Cekcok antarkawan pun susah dihindari. 'Namanya anak-anak' merupakan ungkapan yang sering kita dengar tentang warna-warni masa kanak-kanak. Hal yang sama pun tidak terelakkan meskipun di lingkungan sekolah. Pada suatu waktu, sekelompok anak bermain petak umpet bersama. Sepuluh menit pertama tidak terjadi masalah apa-apa. Mereka menikmati permainannya. Beberapa saat kemudian, di saat kelelahan menyapa, percekcokan antara A dan B pun tidak bisa dihindari.

Pada mulanya hanya adu mulut biasa, kemudian berlanjut ke saling mengejek. Kawan-kawannya yang lain sesekali juga ikut menimbrung dan membela kubu masing-masing yang mereka anggap benar. Masalah semakin melebar. Akhirnya, beberapa murid lainnya memanggil guru/wali kelas. Wali kelas pun turun tangan. Seperti biasa, jika wali kelas turun tangan, murid yang berkonflik akan dipanggil ke kantor, berikut satu-dua orang saksi. Wali kelas meminta mereka bercerita.

Setelah itu, sudah dapat diduga, nasihat pun mengalir dari pihak wali kelas. Murid mendengarkan dan 'dipaksa' untuk mengerti apa yang diucapkan guru tersebut. Murid diminta berjabat tangan sebagai tanda sudah mengerti dan sudah saling memafkan adalah prosesi akhir penyelesaian konflik ini. Jika masalah tidak bisa diatasi oleh si wali kelas karena rumit, selanjutnya konselor dan wakil kepala sekolah bagian kesiswaan pun terlibat. Pemberitahuan kepada orangtua oleh wali kelas juga harus dilakukan.

Hal yang berbanding terbalik terjadi di sekolah di Jepang, seperti diceritakan Lewis (1996). Teknik resolusi konflik yang diterapkan di sekolah di Jepang cukup mencengangkan. Dua murid laki-laki berusia 5 tahun bermain pasir bersama. Dalam permainan tersebut, terjadi adu mulut yang berakhir pada saling menjambak dan akhirnya menangis. Gurunya hanya mengamati sambil menyemangati. Guru tidak mengintervensi, melainkan dia mendorong anak-anak yang berdiri di dekatnya untuk campur tangan.

Ketika guru mengawasi dari jauh dan melihat siswa yang berperan sebagai penengah tidak mampu menengahi perkelahian, ia kembali lagi ke lokasi kejadian. Ia menggambar lingkaran di pasir dan berkata, "Di dalam lingkaran ini ada 2 petarung yang sedang bertengkar dan 2 orang yang menyelesaikan pertengkaran. Semua orang yang di luar lingkaran, silakan bersiap-siap untuk kembali ke tempat masing-masing."

Kedua murid yang berperan sebagai penengah beranjak menghapus lingkaran dan mendorong murid yang sedang bertengkar untuk saling meminta maaf. Penengah ini berhasil mendamaikan dua murid yang bertengkar tadi dengan memegang tangan satu murid yang berkelahi, dan meminta murid penengah lainnya dan satu murid lainnya ikut berpegangan tangan satu sama lainnya membentuk rantai yang menghubungkan kedua murid yang bertengkar. Meskipun masih ada satu anak laki-laki yang masih menangis, guru hanya berkata, "Sekarang itu hanya masalah kamu sendiri, silakan selesaikan sendiri."

Menariknya, setelah kejadian tersebut berakhir, guru mendikusikan masalah perkelahian tadi dengan seluruh anggota kelas. Dalam diskusi tersebut, guru memandu diskusi dengan meminta tanggapan dari siswa mengenai kejadian tadi dengan pertanyaan-pertanyaan apa masalahnya, siapa aktornya, siapa pendukung tiap-tiap kubu, siapa penengahnya, dan apa solusinya. Seluruh murid menjelaskan kejadian secara rinci.

Setelah semua murid memberi pendapat, guru kemudian membimbing murid-murid untuk mengambil kesimpulan apa yang seharusnya dilakukan jika terjadi perselisihan seperti tadi. Baik itu dengan kata-kata maupun strategi yang digunakan oleh para mediator dalam mencari tahu alasan perkelahian hingga tahap saling bergandengan tangan kembali. Tentunya nama mediator yang sukses mendamaikan pun tidak lupa disebutkan.

Dua kasus di atas serupa, tapi cara penanganannya berbeda dan akan menciptakan generasi yang kualitasnya berbeda. Pada kasus pertama, otoritas orang dewasa menghambat anak untuk bersikap mandiri. Sebaliknya, penyelesaian masalah yang kedua merupakan salah satu cara mediasi teman sebaya yang bertujuan melatih anak menjadi penyelesai masalah atas masalahnya sendiri, dengan mediatornya adalah sekelompok murid atau teman sepermainan yang saling mengenal dan mempunyai pengalaman yang sama sebagai perantara untuk mendapatkan kata maaf.

Rizal Panggabean dkk (2015) memaknai mediasi teman sebaya sebagai suatu bentuk program resolusi konflik yang menggunakan jasa murid yang tidak terlibat konflik dan dapat bersikap tidak pandang bulu (imparsial). Ini merupakan salah satu alternatif guna menyelesaikan konflik dan kesalahpahaman antarmurid yang perlu dijadikan kesempatan oleh para pendidik untuk membuat kehidupan personal dan sosial murid lebih berwarna.

Memang damai itu indah. Namun, konflik antarteman ini jangan hanya dijadikan kecaman, tapi juga merupakan kesempatan emas untuk membiarkan anak didik saling melatih naluri mereka untuk menyelesaikan masalah dengan mencari opsi yang tepat agar masalah terselesaikan. Rasa khawatir atau paranoid orang dewasa juga harus diminimalkan ketika kejadian seperti kasus di atas berlangsung. Berat memang, tapi ini merupakan bekal yang sangat mumpuni bagi anak didik nantinya dalam meningkatkan pengendalian diri dan belajar mengintervensi suatu konflik. Ingin menuju sekolah damai? Mari ciptakan mediator-mediator cilik. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi patut dicoba.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya