Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Ekonomi Jarak Jauh Indonesia-Jepang

Galih Prasetyo Wasekjen HMI Bidang Hubungan Internasional 2018-2020 Tetsu Konishi Associate Professor, Fukuoka Women’s University, Japan
27/2/2021 04:05
Ekonomi Jarak Jauh Indonesia-Jepang
Ilustrasi MI(Dok. MI)

TULISAN ini mengulas secara sederhana relasi ekonomi antara Jepang dan Indonesia selama pagebluk covid-19. Khususnya, pascaera Abenomics di bawah kepemimpinan Yoshihide Suga, yang resmi diamanahkan sebagai Perdana Menteri (PM) pada 16 September 2020.

Sejauh ini hubungan ekonomi kedua negara berjalan cukup baik, tampak dari sirkulasi ekspor impor yang cukup tinggi. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi adanya kesepakatan Bank Indonesia (BI) dan pemerintahan Jepang pada 5 Desember 2019, yang mendorong penggunaan mata uang lokal tiap-tiap negara, dalam transaksi dagang bilateral, dan investasi atau kerap disebut Appointed Cross Currency Dealer (ACCD).

Di tengah perang melawan pandemi seperti saat ini banyak tantangan yang mesti dihadapi. Belum dapat dipastikan kapan covid-19 berakhir, meskipun sudah tersiar kabar menggembirakan tentang ditemukannya vaksin. Namun, proses pemulihan ekonomi dunia masih tertatih-tatih meskipun kontraksi pertumbuhan dapat lebih diperkecil.

Dari segi ekonomi politik, dalam jangka menengah dan panjang ada beberapa risiko ketidakpastian, sebagai tantangan di masa mendatang, antara lain terkait kemungkinan risiko kredibilitas negara, isu demografi, dan masalah geopolitik.

Selama ini Jepang menerapkan kebijakan quantitative easing (QE) setidaknya sejak 2014. Likuiditas dikucurkan sekitar US$800 miliar ke pasar moneter, (termasuk ke sektor industri untuk mengurangi dampak covid-19), demi membenahi ekonomi yang sempat landai dalam 30 tahun terakhir.

Sementara itu, di Indonesia, QE juga dijalankan sebagai respons menghadapi kelesuan dunia industri, dengan mematok suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate yang saat ini dipatok 3,5%. Namun, banyak ekonom menilai kebijakan ini bakal kurang optimal. Apalagi, dihadapkan beban anggaran yang perlu dicarikan pembiayaannya. Dalam APBN-P 2021, dialokasikan Rp2.747,5 triliun, tetapi penerimaan hanya berada di angka Rp1.776,4 triliun. Artinya terdapat defisit yang harus ditutupi sebesar Rp971,2.

Selain itu, mendongkrak daya beli juga perlu jadi perhatian. Mengingat, konsumsi selama ini berkontribusi sekitar 57,85% terhadap PDB. Dana penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) 2021 pun naik jadi Rp688,33 triliun, menyesuaikan kebutuhan yang masih dinamis. Banyak negara memang mengalokasikan duit secara besar-besaran demi mengatasi pandemi ini.

Masalah demografi juga dianggap menjadi faktor negatif bagi perekonomian. Di Jepang, populasi penduduknya terus turun sejak 2005 dan semakin banyak kelompok lansia, serta angka kesuburan merosot dalam 20 tahun terakhir, yakni pada 2019 terparah dengan angka 1,36. Karena itu, Jepang memerlukan banyak penduduk sebab jika tidak, generasi mendatang yang makin sedikit akan memikul warisan beban utang dari total sebesar US$10 triliun.

Dalam hal ini, Indonesia masih relatif lebih tinggi dengan tingkat kesuburan 2,31 dan pertumbuhan penduduk mencapai 1,1% pada 2018. Namun, penurunan kecepatan demografi tetap mengandung risiko khususnya pada isu jaminan sosial. Jika tidak dipersiapkan dengan matang, diperkirakan dalam 30 tahun ke depan Indonesia amat mungkin senasib dengan Jepang.

Selanjutnya, tiap-tiap negara tentunya mengalami ketidakpastian dalam konteks pergaulan internasional, khususnya soal keamanan maritim berikut tarikan bisnisnya. Sebagai penerus Abe, kebijakan Suga diperkirakan tidak jauh berbeda dari sebelumnya; Abenomics.

Dalam hal ini, Abe dianggap cukup berhasil dalam soal ekonomi selama tujuh tahun berkuasa sejak 2013. Inilah masa kepemimpinan terlama dalam sejarah pemerintahan Jepang. Berkat stabilitas politik yang terjaga, kebijakan ekonomi Jepang cenderung efektif. Terlihat dari pasar saham Nikkei yang cukup tinggi sebesar 23 ribu yen pada 2019 dan tingkat pengangguran mengalami penurunan hanya 2,0% selama 20 tahun terakhir.

 

Sangat potensial

Relasi Indonesia-Jepang mungkin tidak banyak perubahan. Terlebih, Jepang memandang Indonesia sangat potensial dalam rantai pasokan di Asia Timur. Maka, sangat wajar apabila tak lama setelah menjabat, PM Suga melakukan kunjungan kenegaraan perdananya ke Indonesia. Terlepas dari itu, hal krusial bagi Jepang sesungguhnya terletak dari bagaimana memainkan peran di kawasan Laut China Timur dalam hal bisnis infrastruktur dan keamanan maritim di tengah menguatnya dominasi Tiongkok.

Namun, barangkali inilah momentum cerah dalam memelihara hubungan Indonesia-Jepang, sekaligus pentingnya mengembangkan ke tahapan baru, misalnya apa yang disebut sebagai ekonomi jarak jauh (remote economy) dalam bentuk kolaborasi digitalisasi dan logistik. Ini penting, seiring kemungkinan menyetel ulang ekonomi yang selama ini secara makro menjadi perekat ekonomi dunia: konektivitas, kecepatan, dan kompleksitas (Klaus Schwab, 2020).

Selain itu, yang tak boleh dilupakan dari sisi permintaan sebagai faktor mendasar dalam urusan ekonomi, yaitu sentimen. Hal ini memengaruhi banyak hal, semisal konsumsi yang berkontribusi penting bagi PDB sebab kondisi ‘normal’ justru terjadi dari pulihnya rasa percaya diri. Rasa aman dan kepastian atas keselamatan dari covid-19 pastinya berpengaruh pada keputusan berbisnis.

Ekonomi jarak jauh ini sejalan dengan program pemerintahan Presiden Jokowi yang sempat meluncurkan Indonesia's E-Commerce Road Map (2017) dengan target pasar sebesar US$130 miliar pada 2020. Karena itu, infrastruktur dan skema keuangan terus dibangun. Soal ini terus bergeliat dan sangat menjanjikan, meskipun pasar e-commerce Indonesia perlu terus ditingkatkan karena pada tahun itu baru mencapai US$7 miliar.

Sementara itu, banyak juga perusahaan logistik Jepang yang berbisnis di Tanah Air. Salah satunya sebut saja Itocho Corporation di Nusa Tenggara Timur (NTT). Perusahan ini berkomitmen tidak hanya sekadar mitra asing, tetapi juga kerap menjalin kerja sama dengan perusahaan domestik di sini.

 

Kata kunci

Sebaliknya, dengan tangan terbuka Jepang mempersilakan perusahaan Indonesia datang berbisnis di sana dan dapat memanfaatkan pengalaman Jepang dalam bidang tertentu. Jepang juga bisa memetik pelajaran dari Indonesia tentang deregulasi. Apabila aspek budaya, administrasi, geografis, dan ekonomi masih menemui hambatan, terkait dengan perdagangan lintas batas itu, mungkin keduanya hanya butuh ’saling pengertian’.

Untuk memancarkan secercah cahaya di tengah awan ketidakpastian saat ini, relasi ‘ekonomi jarak jauh’ di antara dua negara menjadi kata kunci dalam mengembangkan fase baru dalam menatap era pasca-covid-19 di masa yang akan datang.

Pada dasarnya tiap negara tidak bisa bekerja sendirian, lantaran pola ekonomi dunia bergerak saling berkaitan. Jika hanya segelintir negara yang sukses mengatasi covid-19, tentu tidak menjamin pemulihan bakal berjalan mulus. Itu sebabnya perlunya kolaborasi antara nasionalisme yang kuat dan mendorong terciptanya solidaritas global.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya