Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
DI tengah wacana Presiden Jokowi untuk membubarkan lembaga-lembaga negara yang dianggap tidak efektif dan hanya membebani anggaran negara, terasa kontradiktif ketika Menko Polhukam Mahfud MD justru menyatakan segera membentuk Tim Pemburu Koruptor (TPK), setelah pihaknya mengantongi Inpres sehingga pembentukan TPK tinggal menunggu waktu (Media Indonesia, 15/7/2020).
Rencana pemerintah membentuk TPK merupakan respons atas kehebohan munculnya Djoko Tjandra, buron terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali sejak 2009, dan diyakini berada di luar negeri. Tiba-tiba diberitakan berada di Indonesia, dan bahkan sempat membuat KTP elektronik di Jakarta. Konon sang buron sedang mengurus dokumen sebagai kelengkapan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kasusnya di pengadilan.
Kasus Djoko Tjandra betul-betul menampar pemerintah dan aparat penegak hukum. Seolah ingin menutup malu dan mengalihkan isu, beberapa hari kemudian, tibatiba pemerintah mengekspose besaran-besaran ditangkapnya buron Maria Pauline Lumowa, yang diduga membobol BNI Rp1,7 triliun dan dapat dipulangkan Menkum dan HAM dari Serbia.
Lemahnya komitmen
Rencana pembentukan TPK bagi penulis cukup aneh. Hal itu merupakan pilihan kebijakan yang terkesan hanya untuk konsumsi politis, dan tidak memiliki urgensi jelas. Belum jelas penyebab para buron tidak dapat ditangkap, tiba-tiba solusinya dengan membentuk tim hunter.
Jika diselisik, akar masalah banyaknya buron yang tidak dapat ditangkap bukanlah karena tidak ada TPK yang bertugas melakukan perburuan dan penangkapan. Tugas memburu dan menangkap buron korupsi sesungguhnya melekat dan fungsional pada institusi, seperti KPK, Kemenkum dan HAM, kepolisian, dan kejaksaan, sesuai kewenangan tugas dan fungsi masing-masing.
Penyebab lembaga itu tidak mampu menangkap para buron sesungguhnya karena lemahnya komitmen dari pimpinan institusi itu. Oleh karenanya, daripada membuat TPK, sebaiknya penegak hukum yang ada diperkuat dan ditingkatkan kinerjanya karena tugas itu merupakan kewajiban mereka.
Selama ini pemerintah terbiasa jika menghadapi masalah, solusinya dengan membuat lembaga baru atau menerbitkan peraturan, tanpa mengkaji root cause yang sesungguhnya.
Dalam banyak kasus, para buron koruptor dapat lepas dari jerat, juga tidak terlepas dari adanya orang dalam kekuasaan yang ikut bermain, dan membantu mereka.
Terbukti, misalnya, dalam kasus Djoko Tjandra, dia bisa bebas melakukan aktivitas di dalam negeri, juga difasilitasi oknum aparat di kelurahan hingga pejabat sekelas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, dengan pangkat jenderal bintang satu, yang kemarin sudah dinon-job-kan Kapolri (16/7/2020).
Sesungguhnya, tim pemburu koruptor pernah dibentuk pada 2002 di masa Presiden SBY, tetapi tidak efektif. Kinerjanya tidak pernah dievaluasi dan diungkap ke publik. Seharusnya, pemerintah belajar dari kegagalan TPK pada masa lalu, yang terbukti tidak efektif memberikan hasil optimal dan terkesan hanya lip service.
Benturan kewenangan
Menurut Menko Polhukam, TPK akan melibatkan Kejaksaan Agung, kepolisian, Kemenkum dan HAM, serta Kemendagri. Konsep kerja tim itu adalah kerja bersama, tidak boleh berebutan, dan, tidak boleh saling menyabot. Namun, berprestasi pada posisi, tugas tiap-tiap lembaga atau aparat yang oleh UU ditugaskan untuk melakukan itu.
Persoalannya, bagaimana koordinasi kewenangan TPK dengan KPK sebagai lembaga khusus di bidang pemberantasan korupsi, dan dipastikan sudah punya langkah-langkah sendiri.
Justru, dibentuknya TPK akan menimbulkan overlapping dan benturan kewenangan yang sesungguhnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan masing-masing. Sebenarnya, yang lebih dibutuhkan adalah peningkatan koordinasi dan supervisi antara aparat penegak hukum. Peningkatan dan perbaikan koordinasi merupakan cara yang lebih tepat, ketimbang membentuk TPK.
Sebagai ilustrasi, dalam kasus Djoko Tjandra, pembuatan KTP eletronik sesungguhnya tidak perlu terjadi terhadap seorang buron, jika ada langkah koordinasi dan sinergi yang baik, berupa pengiriman daftar para buron dari Kejaksaan Agung kepada Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), atau Dinas Dukcapil tiap-tiap daerah.
Jika memang diperlukan koordinasi antara aparat pemerintah dan penegak hukum, sesungguhnya cukup dilakukan Menko Polhukam yang memang tugasnya sebagai menteri koordinator, bukan membentuk tim.
Mutual legal assistance
Salah satu kendala untuk menangkap buron korupsi di luar negeri memang sering terbentur karena belum adanya perjanjian ekstradisi. Namun, hal itu seharusnya tidak menjadi alasan untuk membentuk lembaga/tim baru dan kegagalan penangkapan para buron.
Apabila ada komitmen kuat untuk menangkap para buron, hal itu bisa diatasi, yakni pemerintah dan penegak hukum Indonesia dapat menjalin kerja sama hukum yang baik dengan banyak negara sehingga bisa memulangkan buron seperti Maria Pauline Lumowa, pembobol BNI senilai Rp1,7 triliun, yang diekstradisi dari Serbia, melalui apa yang disebut sebagai jalur diplomasi tingkat tinggi pemerintah RI sejak Juli 2019.
Indonesia dan Serbia tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Namun, kedua negara meratifikasi Konvensi PBB tentang Antikorupsi 2003 atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang menekankan kerja sama antarnegara untuk memperlancar investigasi atau proses pidana terhadap para koruptor.
Sesungguhnya payung hukum internasional itu sudah memungkinkan negara-negara di dunia bekerja sama memburu koruptor. Dalam Konvensi PBB itu, salah satu klausul meminta agar suatu negara yang diduga ada buron koruptor, membantu negara yang sedang melakukan pencarian.
Indonesia sejak 2006 telah mempunyai UU No 1/2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters). Memang tidak semua negara telah meratifikasi UNCAC. Namun, dengan pendekatan diplomasi pada umumnya, hampir semua negara bersedia melakukan kerja sama hukum timbal balik.
Bahkan, perjanjian ekstradisi dengan sebuah negara bukan jaminan bahwa negara itu akan memulangkan buron koruptor yang tengah dicari RI. Sebagai ilustrasi, RI dengan Australia punya perjanjian ekstradisi.
Namun, ketika RI minta ekstradisi buron bernama Hendra Rahardja, terpidana seumur hidup dalam kasus korupsi BLBI Rp2,569 triliun, sang buron minta ke pengadilan di Australia, agar pihak eksekutif tidak mengembalikannya ke RI, dan ternyata dikabulkan sehingga permohonan ekstradisi gagal.
ICW mencatat, saat ini, ada sekitar 40 buron koruptor yang masih berada di luar negeri. Para koruptor banyak meletakkan uangnya di negara Swiss, Singapura, Hong Kong, Seychelles, dan British Virgin Islands. Negara-negara itu menjadi pilihan untuk menyimpan uang hasil kejahatan hasil korupsi di RI karena koruptor paham skema-skema restrukturisasi bisnis untuk mengelabui otoritas terkait.
Sekalipun banyak buron koruptor yang belum tertangkap, solusi pemecahannya harus dikaji secara jernih dan tidak sekadar spontan, apalagi hanya mencari sensasi politik.
Jangan sampai dalam kondisi pandemi saat ini, upaya membuat taskforce baru untuk menangkap buron koruptor menjadi kontraproduktif, dan hanya membebani keuangan negara yang tengah terseok-seok.
Asep menerangkan, HEL selaku PPK pada Satker PJN Wilayah I Sumut, berperan sebagai penyelenggara negara yang bertanggung jawab atas beberapa hal.
Asep mengatakan bahwa saat ini KPK tengah melakukan penyidikan dengan prinsip follow the money (mengikuti aliran uang).
Ia menyebut kasus itu sebagai tamparan keras terhadap dirinya karena selama ini telah berulang kali mengingatkan jajarannya untuk menghadirkan integritas dan kejujuran
KPK melakukan dua operasi tangkap tangan (OTT) pengerjaan proyek berbeda di Sumatra Utara (Sumut). Hitungan kasar uang suap dalam perkara itu diduga menyentuh Rp46 miliar.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT), terkait dugaan suap proyek jalan di Sumatra Utara (Sumut).
Budi mengatakan, aliran dana dalam OTT ini berkaitan dengan proyek-proyek di PUPR Provinsi dan proyek-proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumut.
Pemerintah Singapura memutuskan untuk menolak permohonan penangguhan buronan kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), Paulus Tannos.
PEMERINTAH didorong untuk menggencarkan diplomasi ke Singapura perihal pentingnya buronan Paulus Tannos kembali ke Indonesia.
PENGAMAT hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan pemerintah Indonesia harus menyiapkan bukti kuat untuk melawan Paulus Tannos.
POLISI mengungkap bahwa salah satu tersangka kasus asusila dan pornografi anak di grup Facebook "Fantasi Sedarah", berinisial MJ, merupakan buronan kasus pencabulan anak di Bengkulu
KPK mengungkap pertemuan mantan narapidana kasus rasuah hak tagih Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra atau Djoko Tjandra dengan buronan Harun Masiku di Kuala Lumpur, Malaysia.
KPK melakukan profiling ekonomi buronan Harun Masiku. Secara pemantauan, eks Caleg PDIP itu tidak mampu memberikan suap dalam proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved