Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PENELITI Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus anggota peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, Riris Andono Ahmad, mengatakan, nyamuk Wolbachia tidak menginfeksi manusia dan tidak menyebabkan transmisi horizontal terhadap spesies lain. Bahkan, nyamuk Wolbachia juga tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotik.
Dengan kata lain tak ada dampak negatif dari upaya penyebaran telur nyamuk Wolbachia di lingkungan masyarakat. Nyamuk Wolbachia juga ditegaskan bukan hasil dari rekayasa genetik seperti yang selama ini diyakini masyarakat.
Sebaliknya, pelepasaan jutaan telur nyamuk Wolbachia di populasi nyamuk aedes aegypti, berpotensi untuk menekan penularan virus dengue atau demam berdarah dengue (DBD).
Hal itu didasari dari penelitian teknologi Wolbachia sudah dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun sejak 2011 lalu. Pelepasan nyamuk Wolbachia ke lingkungan dapat mengurangi populasi nyamuk aedes aegypti setelah enam bulan pelapasan.
Baca juga: Bali Tolak Program Penyebaran 200 Juta Telur Nyamuk Wolbachia
Lebih jauh ia menjelaskan, saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia, telurnya tidak akan menetas. Namun, bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tidak ber-Wolbachia, seluruh telurnya akan menetas. Selanjutnya, bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan ber-Wolbachia, keturunannya semua akan menetas dan mengandung Wolbachia.
Diceritakan Riris, pelepasan nyamuk Wolbachia di beberapa lokasi di Yogyakarta sebelumnya juga sempat menuai penolakan. Namun, setelah dilakukan sosialisasi dan mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota akhirnya program tersebut bisa terlaksana.
Hala itu diungkapkannya menyusul datangnya penolakan-penolakan akan upaya pelepasan bibit nyamuk Wolbachia di lingkungan masyarakat. Salah penolakan datang dari Bali yang direncanakan sebagai lokasi pertama pelaksanaan program penyebaran nyamuk Wolbachia secara masif.
Baca juga: Ahli Medis Bantah Nyamuk Wolbachia Sebarkan Genetik LGBT
Di Yogyakarta, penelitian soal nyamuk Wolbachia dimulai dari tahapan penelitian fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022). Di dunia, kata Riris, studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) dilakukan di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT).
Dari hasil studi AWED menunjukkan,nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77.1% dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86%. Bahkan dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, teknologi Wolbachia untuk pengendalian Dengue telah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group sejak 2021.
Terkait dukungan permintaan hasil kajian dan rekomendasi Kemenkes terkait pelepasan telur nyamuk Wolbachia ini, Riris mengatakan secara paralel Kementerian Kesehatan tengah menyusun strategi nasional penanggulangan dengue, dan teknologi Wolbachia merupakan bagian dari inovasi program pengendalian dengue.
“Kementerian Kesehatan selanjutnya merencanakan implementasi secara bertahap,” terangnya, Minggu, (19/11).
Baca juga: Kemenkes Tegaskan Wolbachia Tidak Timbulkan Penyakit Baru
Riris menjelaskan, Wolbachia adalah bakteri alami dari 6 dari 10 jenis serangga. Wolbachia dalam tubuh nyamuk aedes aegypti dapat menurunkan replikasi virus dengue sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk tersebut sebagai vektor dengue. Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri. Dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, virus tidak dapat berkembang biak.
Melalui mekanisme tersebut, Wolbachia berpotensi menurunkan replikasi virus dengue di tubuh nyamuk. Hal itu bisa terjadi karena nyamuk aedes aegypti ber-Wolbachia bukan organisme hasil modifikasi genetik.
Pasalnya, bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke dalam tubuh Aedes aegypti identik dengan Wolbachia yang ada di inang aslinya, yaitu Drosophila melanogaster.
“Perlu diketahui nyamuk aedes aegypti ber-Wolbachia bukan hasil modifikasi genetik,” katanya.
Dari sisi aspek keamanan wolbachia, ujarnya, hasil analisis risiko yang diinisiasi oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes, Kemenkes, pada tahun 2016 dengan membentuk 20 orang anggota tim independen dari berbagai kepakaran menyebutkan bahwa nyamuk Wolbachia memiliki tingkat risiko rendah bagi manusia dan lingkungannya.
“Kesimpulan mereka bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, dimana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan,” tutup dia.
(Z-9)
Masyarakat diminta melakukan tindakan 3M, dengan membersihkan wadah-wadah yang bisa menampung genangan air bersih sebagai tempat nyamuk bersarang.
Pada 2024 tercatat sebagai puncak kasus DBD di Indonesia, dengan lebih dari 1.400 kematian. Pemerintah, kata Dante, menargetkan zero dengue death pada 2030.
Peneliti Harvard menemukan dua obat yang bisa membunuh parasit malaria dalam tubuh nyamuk.
Apakah dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika semua nyamuk tiba-tiba lenyap?Seorang Medical Scientist dmemberikan penjelasan mengenai dampak hilangnya nyamuk dari muka bumi.
Walaupun kecil, nyamuk bisa menjadi vektor penyakit berbahaya seperti demam berdarah (DBD), malaria, chikungunya, dan zika.
Dengan bahan tambahan seperti minyak kayu putih dan wadah bekas, alat ini bisa menghasilkan asap yang efektif untuk mengusir nyamuk dari ruangan.
PAFI Kalteng mendorong pemerintah daerah dan dinas kesehatan setempat untuk melakukan pemetaan ulang terhadap kebutuhan obat-obatan DBD
Demam Berdarah Dengue (DBD) memang disebabkan oleh dengue yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti, namun ternyata bukan hanya itu penyebabnya.
Bila dibandingkan pada 2024 terdapat 257.271 kasus dengue yang dilaporkan (Incidence Rate/IR: 91,93/100.000 penduduk) dan 1.461 kematian atau Case Fatality Rate/CFR: 0,57%.
Gigitan nyamuk ini bisa menyebabkan gejala yang cukup serius, seperti demam tinggi, nyeri sendi, dan pendarahan.
Musim hujan meningkatkan risiko penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) akibat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved