Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Kebijakan Imperialisme Trump

Smith Alhadar Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
10/2/2025 05:00
Kebijakan Imperialisme Trump
(MI/Seno)

SETELAH menyatakan niatnya mengambil alih Terusan Panama, Greenland, dan Kanada, Presiden AS Donald Trump menyatakan akan mengambil alih Gaza, mendepopulasi warganya, dan membangun kembali enklave yang telah hancur lebur oleh bombarmen Israel untuk dijadikannya Riviera of the Middle East (Pantai Air Hangat Timur Tengah). Sementara itu, PM Israel Benjamin Netanyahu yang berdiri di samping Trump saat konferensi pers itu, pada 5 Februari, menyatakan akan melanjutkan perang di Gaza setelah fase pertama gencatan senjata dengan Hamas berakhir pada 1 Maret.

Rencana Trump mengambil alih Gaza mengagetkan negara-negara Timteng (Timur Tengah), bahkan dunia. Merelokasi 2,3 juta warga Gaza ke Mesir dan Yordania, dilihat Komisi Tinggi HAM PBB, sebagai bentuk ethnic cleansing. Pada Juli lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan pendudukan Israel atas Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur ialah ilegal serta memerintahkan Israel membongkar permukiman Yahudi di sana dan memberi kompensasi terhadap pengungsi Palestina yang diusir dari tanah mereka.

Trump juga mengeluarkan perintah eksekutif yang menjatuhkan sanksi pada sektor perminyakan Iran serta pembekuan aset para staf, hakim, dan keluarga mereka serta semua pihak yang membantu Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) karena mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant.

Tadinya ICC juga mengeluarkan arrest warrant terhadap tiga petinggi Hamas--Ismail Haniyeh, Yahya Sinwar, dan Mohammed Deif--terkait dengan pembunuhan terhadap 1.139 warga Yahudi dan menawan 253 orang lainnya saat menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. Namun, ketiga pentolan Hamas itu telah dibunuh Israel.

 

MENDUKUNG ZIONISME

Niat mengambil alih wilayah negara lain, khususnya Gaza, memperlihatkan spirit imperialisme Trump dan konsisten dengan tujuan Zionisme sejak awal dicetuskan pada akhir abad ke-19. Zionisme melihat wilayah historis Palestina sebagai 'wilayah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa wilayah'. Klaim itu didasarkan pada kitab suci yang tak diakui norma internasional.

Cita-cita mendirikan kembali Israel mendapat momentum ketika Inggris sebagai pendukung zionisme menduduki Palestina pada Perang Dunia I setelah mengalahkan Khilafah Usmani pada 1917. Tragedi Holocaust yang diderita orang Yahudi oleh Nazi Jerman membuat pendirian negara Israel menjadi gagasan yang 'masuk akal' sebagai bentuk penebusan dosa Eropa terhadap orang Yahudi yang sepanjang 2000 tahun dizalimi berbagai negara Eropa.

Kendati PBB--melalui Partition Plan 1947--membagi wilayah Palestina menjadi dua untuk bangsa Yahudi dan Palestina, kaum Zionis terus melancarkan aneksasi wilayah yang menjadi porsi bangsa Palestina. Maka itu, begitu Inggris meninggalkan Palestina pada 1948, kaum Zionis memproklamasikan negara Israel yang disertai pembantaian dan pengusiran orang-orang Palestina dari ratusan desa mereka.

Pembangunan permukiman Yahudi di Jerusalem Timur dan Tepi Barat terus berlanjut. Bahkan setelah Kesepakatan Oslo dicapai antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan pemerintahan Partai Buruh Israel pada 1993.

Kesepakatan Oslo yang didasarkan pada prinsip pertukaran tanah dengan perdamaian dihentikan Netanyahu sejak 2014. Saat ini operasi militer besar-besaran Israel yang sedang berlangsung di Tepi Barat tak bisa dilepaskan dari upaya menganeksasi lebih banyak wilayah Palestina sambil mengusir penduduknya ke Yordania.

Genosida di Gaza selama 15 bulan perang Hamas-Israel yang juga menggunakan kelaparan sebagai senjata bertujuan mengusir warga Gaza ke Mesir. Semuanya harus dilihat sebagai proyek zionisme menghilangkan Palestina sebagai bangsa. Tekad Netanyahu melanjutkan perang hingga Hamas dilumatkan dan rencana Trump mengambil alih Gaza menunjukkan bahwa mereka tidak mendukung gagasan two-state solution yang telah menjadi konsensus internasional.

Pada periode pertama pemerintahannya, Trump meluncurkan kesepakatan abad ini yang tidak mendukung berdirinya negara Palestina yang berdaulat dengan wilayah yang sejalan dengan resolusi DK PBB dan Kesepakatan Oslo. Wilayah Palestina dibagi ke dalam kantong-kantong yang didemiliterisasi dan keamanannnya dikendalikan oleh Israel guna melemahkan dan membuat negara Palestina tidak relevan.

 

MOTIF PENGAMBILALIHAN GAZA

Pengambilalihan Gaza memiliki dua tujuan. Pertama, melenyapkan Hamas. Ide itu muncul karena Israel tak mampu mengalahkan milisi bersenjata tersebut yang kini popularitasnya meluas di kalangan Palestina. Sementara itu, gencatan senjata tiga fase--yang kalau berjalan sesuai dengan harapan--tidak memungkinkan Israel menduduki Gaza sebagaimana diharapkan kubu ultrakanan Israel.

Maka itu, mau tak mau Hamas akan berperan menentukan di Gaza pascaperang. Israel akan menghadapi tekanan bangsa Arab dan dunia untuk mewujudkan negara Palestina. Dalam konteks itulah kita memahami tekad Netanyahu melanjutkan perang bila Palestina dan bangsa Arab menolak niat Trump mengambil alih Gaza.

Kedua, menyelamatkan pemerintahan Netanyahu. Gencatan senjata yang didesakkan Trump membuat pemerintahan Netanyahu di ujung tanduk. Partai Kekuatan Yahudi pimpinan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir telah mengundurkan diri dari pemerintahan koalisi. Sementara itu, Partai Zionisme Religius pimpinan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengancam akan juga mundur bila Netanyahu tidak melanjutkan perang di Gaza pascafase pertama terlewati. Kalau Partai Smotrich mundur, pemerintahan Netanyahu akan bubar dan sangat mungkin akan mengakhiri karier politiknya.

Jauh sebelum pecah perang Hamas-Israel, Netanyahu sedang terlilit masalah hukum terkait dengan korupsi, penentangan publik Israel atas upaya Netanyahu melemahkan pengadilan, dan kelalaiannya mengamankan teritori Israel. Seharusnya fase kedua sudah mulai dirundingkan, yang kalau berjalan mulus, Israel harus membebaskan ribuan tahanan Palestina, menarik mundur seluruh pasukannya dari Gaza, dan gencatan senjata permanen diberlakukan sebagai imbalan Hamas membebaskan sisa 60-an warga Yahudi.

Masyarakat Israel terpecah antara yang mendukung kelanjutan perang dan pembebasan sandera. Posisi sulit Netanyahu itu coba dipecahkan dengan ide Trump mengambil alih Gaza. Harapannya, Smotrich dan Gen-Gvir bisa menerima proposal tersebut. Itu juga diharapkan akan mendapat dukungan bangsa Arab. Sayangnya, bangsa Arab justru memperkeras posisi mereka. Beberapa hari lalu, Mesir, Yordania, Arab Saudi, UEA, Qatar, Otoritas Palestina, dan Liga Arab menolak mentah-mentah ide Trump merelokasi warga Palestina. Trump mencoba mendekati Saudi untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Walakin, Riyadh secara tegas menolak kecuali negara Palestina berdiri dengan teritori sesuai dengan resolusi-resolusi DK PBB.

 

KONTRAPRODUKTIF

Memang ide Trump itu tidak masuk akal, melanggar hukum internasional, tidak bermoral, dan berpotensi mendestabilisasi Timteng. Kebijakan yang kontraproduktif itu diperparah dengan pengakuan Dataran Tinggi Golan milik Suriah yang dicaplok Israel pada 1967 sebagai milik Israel dan menerapkan kembali kebijakan tekanan maksimum atas Iran.

Kebijakan Trump yang terakhir ini akan meningkatkan harga minyak dunia dan mendestabilisasi Teluk Persia sebagaimana terjadi pada periode pertama pemerintahan Trump ketika Iran mengganggu keamanan Teluk yang sempat melejitkan harga minyak dunia.

Lebih dari itu, sangat mungkin Iran akan dipaksa membuat senjata nuklir. Menurut badan energi atom internasional (IAEA) yang mengawasi program nuklir Iran, Teheran telah memperkaya uranium mereka hingga 60% dan meningkatkan stoknya sehingga hanya dalam hitungan minggu Iran mampu membuat bom atom.

Tekanan pemerintahan Trump terhadap Libanon untuk menyingkirkan Hizbullah pro Iran dari panggung politik negara itu dan mendukung niat Israel mempertahankan pasukannya di Libanon Selatan dengan melanggar gencatan senjata berbasis Resolusi DK PBB 1701 yang dimediasi AS dan Perancis hanya memperparah gejolak di kawasan.

Dus, mengambil alih Gaza, mendukung aneksasi Israel atas Tepi Barat, Golan, Libanon Selatan, dan menekan Iran justru membuyarkan keinginan Trump menjadi peacemaker dan pemersatu Timteng.

Jalan yang murah dan sesuai dengan kepentingan AS ialah membiarkan Palestina menentukan nasib mereka sendiri, menjaga tatanan internasional berbasis hukum, menarik kembali dukungan aneksasi Israel atas Golan, dan berhenti menuntut Iran apa yang tak dapat dilakukannya, yaitu menghentikan program rudal balistik dan nuklir mereka untuk keperluan sipil.

Lebih aman memulihkan kesepakatan nuklir Iran. Teheran pun akan kehilangan alasan mempertahankan 'poros perlawanan' andaikan Palestina telah memiliki negara. Hubungan ekonomi Iran-Tiongkok dan kerja sama militer Rusia-Iran telah diperdalam. Beijing akan terus mengimpor 90% produksi minyak Iran sampai 25 tahun ke depan sebagaimana kesepakatan kedua negara.

Dus, tekanan maksimum Trump tak akan efektif. Tidak masuk akal melindungi rezim Zionis yang rasialis sambil mengorbankan kepentingan negara-negara di kawasan. Hal itu malah membunuh sebuah bangsa bernama Palestina. Shame on you!

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik