Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Israel Gempur Libanon Setelah Serangan Roket, Gencatan Senjata Terancam

Thalatie K Yani
23/3/2025 05:41
Israel Gempur Libanon Setelah Serangan Roket, Gencatan Senjata Terancam
Israel melancarkan serangan udara ke Libanon sebagai respons terhadap tembakan roket yang menghantam wilayahnya, dalam eskalasi terburuk sejak gencatan senjata November lalu.(Media Sosial X)

ISRAEL melancarkan beberapa serangan udara ke Libanon setelah beberapa roket ditembakkan dari Libanon ke Israel, dalam kekerasan terburuk sejak gencatan senjata diberlakukan pada November lalu.

Militer Israel mengatakan menyerang puluhan peluncur roket dan sebuah pusat komando milik Hizbullah, kelompok milisi dan politik yang didukung Iran, di Lebanon selatan.

Kementerian Kesehatan Libanon melaporkan enam orang, termasuk seorang anak, tewas akibat serangan udara tersebut.

Beberapa kelompok bersenjata beroperasi di Libanon, termasuk Hizbullah dan faksi Palestina, tetapi tidak ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan roket tersebut.

Beberapa jam setelah serangan pertama, gelombang serangan kedua dilakukan pada malam hari, menargetkan apa yang disebut militer Israel sebagai pusat komando, lokasi infrastruktur, dan fasilitas penyimpanan senjata di Lebanon.

Serangan roket dari Libanon pada Sabtu terjadi beberapa hari setelah Israel meningkatkan serangannya terhadap Hamas, sekutu Hizbullah, di Gaza.

Militer Israel mengatakan mencegat tiga roket yang ditembakkan ke kota Metula di Israel utara, dan tidak ada korban jiwa.

Hizbullah membantah terlibat dalam serangan tersebut dan menyatakan tetap berkomitmen pada gencatan senjata.

Militer Libanon mengatakan membongkar "tiga peluncur roket primitif" di wilayah selatan, sementara Menteri Pertahanan Libanon mengatakan penyelidikan telah dimulai terhadap serangan tersebut.

Perkembangan ini menambah tekanan terhadap gencatan senjata yang rapuh, yang dimediasi AS dan Prancis, yang mengakhiri konflik lebih dari satu tahun antara Israel dan Hizbullah.

Sesuai kesepakatan gencatan senjata, militer Libanon harus mengerahkan ribuan tentara tambahan ke selatan negara itu untuk mencegah kelompok bersenjata menyerang Israel.

Hizbullah diwajibkan menarik pejuang dan senjatanya, sementara militer Israel akan mundur dari posisi yang didudukinya selama perang.

Namun, Israel terus melakukan serangan udara hampir setiap hari terhadap apa yang disebutnya sebagai target Hizbullah dan telah menyatakan akan melanjutkan serangan untuk mencegah kelompok itu kembali mempersenjatai diri.

Saat ini, militer Israel masih menduduki lima lokasi di Lebanon selatan, yang menurut pemerintah Lebanon merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara dan kesepakatan gencatan senjata.

Israel menyatakan militer Libanon belum sepenuhnya dikerahkan di daerah tersebut. Mereka perlu tetap berada di sana untuk menjamin keamanan komunitas perbatasannya.

Serangan pada Sabtu semakin menunjukkan tantangan yang dihadapi tentara Libanon dalam mengendalikan wilayah selatan, di mana Hizbullah secara tradisional memiliki pengaruh dan dukungan yang kuat.

Presiden Libanon, Joseph Aoun, yang menjabat sejak Januari, mengatakan hanya negara yang seharusnya memiliki senjata di Libanon, yang dipandang sebagai pernyataan yang mengarah pada perlucutan senjata Hizbullah.

Pada Sabtu, ia mengecam "upaya menyeret Libanon ke dalam siklus kekerasan," sementara Perdana Menteri Nawaf Salam memperingatkan eskalasi ini membawa "risiko menyeret negara ke dalam perang lain."

Pasukan perdamaian PBB di Libanon (UNIFIL) menyatakan "khawatir terhadap kemungkinan eskalasi kekerasan" dan mendesak Israel serta Libanon untuk "mematuhi komitmen mereka."

Hizbullah mengalami pukulan berat dalam konflik dengan Israel: banyak pemimpinnya terbunuh, ratusan pejuangnya tewas, dan sebagian besar persenjataannya hancur.

Kelompok ini menghadapi tantangan besar dalam memberikan bantuan finansial kepada komunitasnya yang terdampak perang serta tekanan dari pihak oposisi untuk melucuti senjatanya.

Mitra internasional Libanon menyatakan mereka hanya akan membantu negara itu jika pemerintah bertindak untuk membatasi Hizbullah, yang merupakan kelompok paling berpengaruh di Libanon.

Hizbullah memulai kampanyenya sehari setelah serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, dengan alasan solidaritas terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.

Konflik yang telah berlangsung lama ini semakin memanas dan berujung pada kampanye udara besar-besaran Israel di seluruh Libanon serta invasi darat ke Libanon selatan.

Serangan tersebut menewaskan sekitar 4.000 orang di Libanon dan menyebabkan lebih dari 1,2 juta orang mengungsi.

Israel menyatakan tujuan perangnya melawan Hizbullah adalah untuk memungkinkan kembalinya sekitar 60.000 warga yang mengungsi dari komunitas di Israel utara akibat serangan kelompok itu, serta mengusirnya dari wilayah perbatasan. (BBC/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya