Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Amerika Serikat Versus Iran di Irak

Mediaindonesia.com
30/6/2021 22:33
Amerika Serikat Versus Iran di Irak
Para pelayat Irak menghadiri pemakaman seorang pejuang aliansi paramiliter Hashed al-Shaabi yang tewas akibat serangan udara AS.(AFP/Zaid Al-Obeidi.)

SERANGAN udara mematikan Amerika Serikat pada minggu ini terhadap kelompok bersenjata pro-Iran di Irak dan Suriah memicu kekhawatiran terhadap eskalasi baru antara musuh bebuyutan itu.

Pada saat bersamaan, mereka berharap menghidupkan kembali kesepakatan 2015 mengenai program nuklir Iran yang digagalkan oleh mantan presiden AS Donald Trump. Apakah Washington dan Teheran mempertaruhkan konfrontasi baru yang eksplosif?

Mengapa bermusuhan?

Iran sangat menentang pengaruh Amerika di kawasan itu sejak revolusi 1979. Maklum, pemerintahan Iran yang sekarang lahir dari penggulingan kekuasaan Shah yang didukung AS. Iran pun mendirikan republik Islam.

Krisis penyanderaan yang berlangsung lama di kedutaan Amerika di Teheran dan dukungan Washington untuk Irak dalam perang delapan tahun yang melelahkan dengan Iran semakin memperkuat persaingan mereka.

Amerika Serikat khawatir Iran akan berusaha membuat senjata nuklir. Tuduhan ini dibantah Teheran.

Invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003, yang menggulingkan diktator Sunni Saddam Hussein, menyebabkan pengaruh besar Iran dalam politik Irak melalui partai-partai Syiah dan kelompok-kelompok bersenjata. Invasi itu juga memicu kekerasan sektarian selama bertahun-tahun di negara mayoritas Syiah itu yang berpuncak pada kebangkitan kelompok ISIS ekstremis Sunni pada 2014.

ISIS dikalahkan oleh koalisi pimpinan AS yang bekerja dengan pasukan Irak, termasuk Hashed Al-Shaabi, koalisi paramiliter yang didominasi oleh kelompok-kelompok pro-Iran. Tapi aliansi mereka berakhir dengan jatuhnya kekhalifahan ISIS. Faksi Hash sejak itu meningkatkan tuntutan untuk penarikan penuh AS dari Irak.

Bagaimana ketegangan meningkat?

Politisi Irak, yang terjebak di antara Washington dan Teheran, telah mencoba untuk menyeimbangkan hubungan dengan kedua belah pihak dan memperingatkan agar negara mereka tidak menjadi arena pertarungan kekerasan.

Upaya itu gagal mencegah lonjakan besar dalam ketegangan pada akhir 2019. Ini akibat serangan AS setelah kematian seorang kontraktor sipil. Serangan itu menewaskan 25 pejuang pro-Iran yang mendorong ratusan pemprotes untuk menyerang kedutaan Amerika di Baghdad.

Kemudian pada 3 Januari tahun lalu terjadi eskalasi paling tajam. Serangan pesawat tak berawak Amerika menewaskan jenderal Iran yang dihormati Qasem Soleimani dan mantan komandan kedua Hashed Abu Mahdi al-Muhandis di dekat bandara Baghdad.

Terlepas dari serangkaian insiden yang melibatkan AS, Iran, dan sekutu masing-masing di tempat lain di kawasan itu, kedua belah pihak menghindari pertikaian militer skala penuh. Tetapi kepentingan Amerika di Irak terus menjadi sasaran serangan roket tetapi tidak pernah diklaim oleh kelompok-kelompok yang didukung Iran.

Baru-baru ini, sekutu Teheran dari Irak hingga Yaman telah menggunakan drone bersenjata buatan Iran yang mampu melakukan serangan yang lebih akurat, merusak, dan menembus pertahanan antiroket AS.

Apa yang berubah?

Sejak menggantikan Trump, Presiden AS Joe Biden telah meluncurkan pembicaraan tidak langsung dengan Teheran untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir. Tapi dia juga telah memerintahkan serangan, termasuk serangan semalam, Senin, yang dilaporkan menewaskan sembilan pejuang pro-Iran .

Tindakan keras dari Washington itu telah mendorong retorika yang lebih tajam dari para pemimpin Hash.
Qais al-Khazali, seorang tokoh senior pro-Iran di Hashed, Selasa, memperingatkan bahwa operasi kelompoknya telah mencapai tahap baru. Ia berjanji, "Untuk membalas darah berharga pemuda kita dengan darah tentara pendudukan."

Pemerintah Irak mengecam pelanggaran terang-terangan dan tidak dapat diterima terhadap kedaulatan negaranya. Tetapi terkait Hashed, banyak yang percaya bahwa kecaman itu tidak cukup berarti.

Perdana Menteri Mustafa al-Kadhemi, yang telah lama dipandang sebagai sekutu terbaik Washington di Irak, semakin dipaksa untuk tunduk pada keinginan Hash. Dengan pemilihan umum yang mendekat pada Oktober, dia tampaknya mencari hubungan yang lebih baik dengan Iran.

 

Kadhemi akan segera mengunjungi Washington tetapi juga merupakan pemimpin asing pertama yang diundang ke Teheran oleh presiden baru Ebrahim Raisi, pada hari kemenangan pemilihan pertengahan Juni oleh kelompok ultrakonservatif itu.

Siapa yang mau eskalasi?

AS, Iran, dan sekutu mereka semua telah mengeraskan retorika mereka dan terlibat dalam unjuk kekuatan. "Tidak ada pihak yang tertarik pada kebakaran besar," kata pengamat.

Washington mengambil waktu untuk menanggapi kematian dua kontraktor Amerika di Irak dalam operasi pesawat tak berawak awal tahun ini. "Tapi pemerintahan Biden dapat memilih untuk meningkatkan serangan," kata seorang diplomat Barat kepada AFP.

Dengan AS dan Iran terlibat dalam pembicaraan nuklir, "Tampaknya Biden membedakan antara negosiasi di Wina dan faksi Irak yang mencoba memberikan tekanan untuk memberi pengaruh kepada Iran," kata analis Irak, Ihsan al-Shamari.

 

Malik mengatakan bahwa sementara Iran mendorong milisi Irak untuk melanjutkan serangan kecil terhadap pasukan AS di Irak, Iran tidak menginginkan perang besar pada tahap ini. Juga, tampaknya jelas, tidak Amerika Serikat pula yang sekarang sedang dalam proses penarikan pasukannya dari beberapa tempat, termasuk Afghanistan dan Irak. (OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya