Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Capres Iran Sebut Kebijakan Biden tak Jauh Beda dengan Trump

Atikah Ishmah Winahyu
11/2/2021 21:52
Capres Iran Sebut Kebijakan Biden tak Jauh Beda dengan Trump
Presiden Iran Hassan Rouhani memberi penghargaan untuk Menhan Hossein Dhghan yang juga calon presiden Iran(AFP/Atta Kenare)

SATU-satunya kandidat yang dideklarasikan dalam pemilihan Presiden Iran Juni mendatang, Hossein Dehghan menuding Joe Biden melanjutkan kebijakan internasional Donald Trump. Dia juga memperingatkan bahwa Teheran sedang mempersiapkan tindakan pembalasan untuk memaksa AS mengubah lintasan diplomatiknya.

Dalam sebuah wawancara dengan Guardian, Hossein Dehghan, seorang penasihat militer untuk pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, mengatakan Washington tidak dalam posisi untuk menetapkan prasyarat kembalinya Iran ke kesepakatan nuklir 2015 dan menyerukan jaminan bahwa AS tidak akan meninggalkan persetujuan lagi.

“Pemerintahan Biden berbicara tentang diplomasi, multilateralisme dan interaksi di kancah internasional serta kembali pada komitmen internasionalnya. Namun, kami masih melihat kebijakan yang sama dari pemerintahan yang baru terpilih seperti yang kami lakukan dari tim Trump, tidak mencabut sanksi yang menindas terhadap rakyat Iran, terus memblokir pendapatan minyak Iran di bank asing sementara kami membutuhkan uang untuk memerangi pandemi virus korona. Secara keseluruhan ini berarti kelanjutan dari Trumpisme dalam hubungan internasional,” ujar Dehghan.

Dia mengatakan, Iran akan berusaha untuk mengubah arah diplomasi mulai 19 Februari, tanggal yang telah ditetapkan untuk memotong kembali beberapa akses bagi pengawas senjata PBB ke situs nuklirnya. Dia juga menegaskan Iran akan menuntut ganti rugi dari AS atas dampak sanksi.

Pernyataannya menggarisbawahi jurang yang masih ada antara AS dan Iran, serta bagaimana kepergian Presiden Hassan Rouhani dapat mempersulit pemulihan kesepakatan nuklir, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama atau JCPOA.

Dehghan, yang diberi sanksi oleh AS atas dugaan operasi teroris di Lebanon, menolak saran bahwa kedua belah pihak mungkin mulai kembali ke komitmen mereka pada kesepakatan Iran dengan mengambil beberapa isyarat niat baik timbal balik pembukaan terbatas, seperti AS mencabut blokir permintaan Iran untuk pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF).

“Kami berencana mendapatkan pinjaman untuk melawan pandemi covid-19 dan untuk membeli obat-obatan serta peralatan medis. Itu hak kami sebagai salah satu pendiri IMF,” ujarnya.

Baca juga : Telepon Biden, Xi Jinping: Jangan Campuri Taiwan, Hong Kong

“Pendekatan Amerika telah membuat bangsa kami tidak mempercayai mereka. Oleh karena itu, kami ingin menerima jaminan bahwa Amerika tidak akan melanggar perjanjian lagi. Amerika tidak dalam posisi untuk mengatur kondisi untuk kembalinya mereka ke meja perundingan. Mereka melanggar perjanjian, jadi agar mereka kembali ke negosiasi, mereka harus terlebih dahulu mencabut sanksi sepihak dan ilegal terhadap Iran dan memenuhi komitmen mereka. Kemudian kami akan memiliki kesempatan untuk merundingkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kerusakan dan biaya akibat Amerika meninggalkan JCPOA,” tambahnya.

Dia juga menepis peran Eropa sebagai mediator antara Teheran dan Washington, dengan mengatakan bahwa sejak era Javier Solana, diplomat senior UE antara 1999 hingga 2009, UE telah kehilangan identitas khusus.

“Untuk lebih jelasnya, orang Eropa sama sekali tidak memiliki pendirian independen dari Amerika lagi,” tuturnya.

Dehghan, mantan komandan Korps Pengawal Revolusi Islam, memainkan peran kunci dalam membantu membentuk milisi di Lebanon pada tahun 80-an. Dia telah bekerja bersama tiga pemerintahan berbeda di Iran, memungkinkan dia untuk menampilkan diri sebagai kandidat non-faksi, tetapi pemilihan tokoh militer untuk pertama kalinya akan menjadi kontroversial.

Dia membantah bahwa pencalonannya menandakan meningkatnya militerisasi masyarakat Iran. Dia menuturkan, pemilihannya tidak akan berarti Iran dipimpin oleh junta militer.

“Saya bukan hanya seorang militer. Saya seorang akademisi, saya mengajar terutama di pusat-pusat non-militer, saya telah menjadi penasihat dalam banyak masalah sosial dan kebijakan luar negeri. Saya telah menjadi pengelola banyak entitas ekonomi. Saya memiliki semua karakteristik seorang militer dalam hal ketepatan waktu, kepemimpinan, kerja tim, dan pendekatan yang berorientasi pada tujuan,” jelasnya.

Ditanya apakah dia bisa meramalkan Iran membangun hubungan yang lebih baik dengan saingan regionalnya Arab Saudi, dia mengutip perdana menteri Inggris abad ke-19 Lord Palmerston, mengatakan, “Kami tidak memiliki sekutu abadi, dan kami tidak memiliki musuh abadi. Kepentingan kami kekal dan abadi, dan kepentingan itu adalah kewajiban kami untuk diikuti," pungkasnya. (The Guardian/OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya