Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Mencabut UU Kehutanan

M Iqbal Al Machmudi
15/7/2025 17:51
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Mencabut UU Kehutanan
Foto udara Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Diklat Kehutanan Fakultas Kehutanan Unmul yang rusak di Samarinda, Kalimantan Timur,(ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

KOALISI masyarakat sipil dari berbagai organisasi menyerukan untuk mencabut Undang-Undang (UU) Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan mendesak DPR RI membentuk UU Kehutanan baru yang lebih adil dan melindungi ekosistem hutan.

Menurut Koalisi, sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi. Selama 26 tahun, telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan; konflik tenurial yang tidak selesai; impunitas perusahaan penghancur hutan; perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.

Padahal hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya, yakni masyarakat adat dan komunitas lokal, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aktivitas sosial dan ekonomi yang terkait dengan hutan, tak bisa dipisah-pisahkan. Koalisi memandang secara filosofis, UU 41/1999 telah melakukan kesalahan menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Secara sosiologis, UU 41/1999 telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural. Sementara secara yuridis, UU 41/199 telah banyak dibongkar pasang. UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut Pasal-pasal di UU Kehutanan.

Perlu Disesuaikan

Peneliti Yayasan MADANI Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin menilai, UU Kehutanan yang terbit tahun 1999 belum mengakomodir masalah perubahan iklim, mengingat baru pada 2016 Indonesia membangun komitmen terhadap iklim, setelah meratifikasi Paris Agreement. 

"Maka kami merasa bahwa undang-undang yang baru ini perlu disesuaikan. Terlebih kita menghadapi persoalan iklim yang sangat pelik, krisis iklim yang kita rasakan saat ini,” kata Sadam dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/7).

Dengan ambisi penurunan emisi, menurut Sadam, Indonesia membutuhkan norma yang lebih tegas untuk melarang segala jenis industri ekstraktif yang membuka hutan alam yang tersisa. Karena selama ini, pemerintah biasanya akan mengistimewakan proyek strategis nasional (PSN) untuk bisa membuka hutan. 

"Maka, kenapa tidak dibalik, sektor perhutanan mungkin bisa membuat aturan bahwa hutan alam tidak boleh dibuka untuk apa pun,” ujarnya.

Kriminalisasi

Di kesempatan yang sama, perwakilan Women Research Institute (WRI) Sita Aripurnami, mengutip data AMAN bahwa dari kriminalisasi terhadap 925 anggota masyarakat adat yang mempertahankan hutan sebagai ruang hidupnya, telah berdampak besar bagi perempuan yang dipaksa menjadi kepala keluarga. 

UU Kehutanan yang sekarang tidak memberi jaminan sosial bagi masyarakat adat apalagi yang terdampak konflik kepemilikan lahan.

“Oleh karenanya, kami setuju UU Kehutanan yang lama harus dicabut. Dan UU yang baru wajib menyertakan klausul kesetaraan gender, partisipasi bermakna perempuan dan perlindungan kelompok rentan serta kewajiban pengumpulan data terpilah, penyediaan mekanisme afirmatif dan pelibatan perempuan dalam semua tahap kebijakan kehutanan,” ujarnya. (Iam/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik