Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
KOALISI masyarakat sipil dari berbagai organisasi menyerukan untuk mencabut Undang-Undang (UU) Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan mendesak DPR RI membentuk UU Kehutanan baru yang lebih adil dan melindungi ekosistem hutan.
Menurut Koalisi, sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi. Selama 26 tahun, telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan; konflik tenurial yang tidak selesai; impunitas perusahaan penghancur hutan; perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.
Padahal hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya, yakni masyarakat adat dan komunitas lokal, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aktivitas sosial dan ekonomi yang terkait dengan hutan, tak bisa dipisah-pisahkan. Koalisi memandang secara filosofis, UU 41/1999 telah melakukan kesalahan menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara sosiologis, UU 41/1999 telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural. Sementara secara yuridis, UU 41/199 telah banyak dibongkar pasang. UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut Pasal-pasal di UU Kehutanan.
Peneliti Yayasan MADANI Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin menilai, UU Kehutanan yang terbit tahun 1999 belum mengakomodir masalah perubahan iklim, mengingat baru pada 2016 Indonesia membangun komitmen terhadap iklim, setelah meratifikasi Paris Agreement.
"Maka kami merasa bahwa undang-undang yang baru ini perlu disesuaikan. Terlebih kita menghadapi persoalan iklim yang sangat pelik, krisis iklim yang kita rasakan saat ini,” kata Sadam dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (15/7).
Dengan ambisi penurunan emisi, menurut Sadam, Indonesia membutuhkan norma yang lebih tegas untuk melarang segala jenis industri ekstraktif yang membuka hutan alam yang tersisa. Karena selama ini, pemerintah biasanya akan mengistimewakan proyek strategis nasional (PSN) untuk bisa membuka hutan.
"Maka, kenapa tidak dibalik, sektor perhutanan mungkin bisa membuat aturan bahwa hutan alam tidak boleh dibuka untuk apa pun,” ujarnya.
Di kesempatan yang sama, perwakilan Women Research Institute (WRI) Sita Aripurnami, mengutip data AMAN bahwa dari kriminalisasi terhadap 925 anggota masyarakat adat yang mempertahankan hutan sebagai ruang hidupnya, telah berdampak besar bagi perempuan yang dipaksa menjadi kepala keluarga.
UU Kehutanan yang sekarang tidak memberi jaminan sosial bagi masyarakat adat apalagi yang terdampak konflik kepemilikan lahan.
“Oleh karenanya, kami setuju UU Kehutanan yang lama harus dicabut. Dan UU yang baru wajib menyertakan klausul kesetaraan gender, partisipasi bermakna perempuan dan perlindungan kelompok rentan serta kewajiban pengumpulan data terpilah, penyediaan mekanisme afirmatif dan pelibatan perempuan dalam semua tahap kebijakan kehutanan,” ujarnya. (Iam/M-3)
YLBHI mengatakan fungsi utama Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat pertahanan untuk menjaga kedaulatan dari ancaman sudah bergeser jauh.
KOALISI Masyarakat Sipil Antikorupsi menyebut RUU KUHAP yang sedang dibahas di Komisi III DPR menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelemahan terhadap KPK.
KOALISI Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyoroti sejumlah ketentuan dalam Rancangan KUHAP yang berpotensi menurunkan efektivitas, independensi KPK khususnya penyadapan
PBHI Sebut DPR Sering Absen dan tak Serius Ikuti Sidang Gugatan UU TNI di MK
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menggeruduk rapat kerja (raker) Komisi X DPR yang dihadiri Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Alasannya, mereka menolak proyek penulisan ulang sejarah
KETUA dan anggota Panitia Kerja Undang-Undang Kehutanan diminta untuk lebih terbuka dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan).
Aksi unjuk rasa berlangsung di kantor Gubernur Kalsel di Banjarbaru, Jumat (15/8).
Acara bersejarah ini bukan sekadar perayaan budaya, melainkan sebuah pernyataan politis dan kultural yang akan menegaskan kembali relevansi hukum adat.
SEBANYAK 400 ribu hektare telah ditetapkan sebagai Hutan Adat oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Hal itu dilakukan sebagai upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat.
"Pengakuan adalah pondasi penting dari upaya perlindungan dan pemajuan hak Masyarakat Adat,"
Koordinator aksi Arifin sangaji dalam orasinya, menyebut aktivitas perusahaan tersebut telah menimbulkan dampak lingkungan, merampas tanah adat, dan memicu kriminalisasi terhadap warga.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved