Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

BRWA Nilai Pengakuan Wilayah Adat Jadi Solusi Krisis Pangan dan Iklim

Yoseph Pencawan
10/8/2025 14:05
BRWA Nilai Pengakuan Wilayah Adat Jadi Solusi Krisis Pangan dan Iklim
Infografis status pengakuan wilayah adat di Indonesia.(Ist)

BADAN Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menilai pengakuan pemerintah terhadap wilayah adat menjadi solusi terhadap masalah krisis pangan dan iklim yang mengancam Indonesia. Pengakuan wilayah adat menjadi kunci menjaga ketahanan pangan lokal, menyerap emisi karbon dan melindungi keanekaragaman hayati.

"Pengakuan adalah pondasi penting dari upaya perlindungan dan pemajuan hak Masyarakat Adat," kata Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo di Medan, Minggu (10/8).

Bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, BRWA merilis data terbaru mengenai pengakuan wilayah adat di Indonesia. Data BRWA mencatat 33.646.496 hektare wilayah adat telah dipetakan dan didaftarkan hingga Agustus 2025. Dari total wilayah itu, baru 18,9% atau 6,3 juta hektare di antaranya yang diakui secara hukum melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah. Wilayah adat mencakup 4,9 juta hektare areal pertanian yang dinilai menjadi pondasi sistem pangan lokal berkelanjutan.

Perempuan adat dianggap memegang peran penting menjaga pengetahuan tradisional, mengelola benih asli dan melestarikan tanaman pangan lokal untuk generasi mendatang. Praktik ladang gilir balik, kebun campur, pengelolaan air berbasis pengetahuan lokal dan pelestarian tanaman endemik menjadi bukti kemampuan masyarakat adat menjaga keseimbangan ekosistem.

Sistem ini dipastikan terbukti mampu menyediakan pangan melimpah tanpa merusak lingkungan. Namun Kasmita menegaskan, pemerintah belum memiliki program pendataan komunitas adat dan wilayah adat yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut dia, Asta Cita Presiden Prabowo Subianto harus diwujudkan secara konkret dengan mengakui dan melindungi ruang hidup masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Veni Siregar dari Sekretariat Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengatakan, capaian pengakuan yang rendah disebabkan prosedur yang kompleks. Karena itu dia mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dia melihat, kesenjangan antara pengakuan hukum dan izin yang terbit di wilayah adat menunjukkan ancaman serius bagi keberlanjutan. Luas izin di wilayah adat mencapai 21,6% atau 7,3 juta hektare, melebihi wilayah yang telah diakui secara hukum.

Padahal, wilayah adat dengan tutupan hutan seluas 23,9 juta hektare yang masih lestari menjadi benteng terakhir hutan tropis Indonesia. Kawasan ini berperan penting menyerap karbon dan rumah bagi keanekaragaman hayati. Krisis iklim dan degradasi lahan juga memperburuk kerentanan masyarakat adat. Perubahan pola cuaca ekstrem, kekeringan, banjir bandang dan kebakaran hutan menjadi tantangan nyata bagi komunitas yang bergantung pada ekosistem alam.

Masyarakat adat dinilai berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun tanpa kepastian hukum, wilayah mereka tetap rentan terhadap ekspansi industri dan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak. Karena itu dia mendorong pengesahan segera RUU Masyarakat Adat dan mengintegrasikan peta wilayah adat ke dalam Kebijakan Satu Peta Nasional. Langkah ini dinilai sejalan dengan Asta Cita yang mencakup perlindungan HAM, ketahanan pangan, kelestarian lingkungan dan pembangunan inklusif.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi ikut menegaskan, tanpa pengakuan wilayah adat, ancaman terhadap pangan lokal dan hutan akan tetap besar. Untuk itu, dia meminta negara memperluas cakupan pengakuan hingga ke hutan adat, tanah ulayat dan wilayah pesisir.(M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya