Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

JPPI Nilai SPMB 2025 Masih Diskriminatif

Despian Nurhidayat
23/6/2025 17:19
JPPI Nilai SPMB 2025 Masih Diskriminatif
Orangtua tengah memproses SPMB 2025.(Dok. Antara)

KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonensia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 masih diskriminatif dan belum sepenuhnya memenuhi prinsip perlindungan hak semua anak atas pendidikan. 

“Kenapa harus semua anak? Jelas ini adalah hak dasar setiap warga negara dan dijamin pula oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1, Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dipertegas lagi oleh ayat 2, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Senin (23/6)

Lebih lanjut, menurutnya terdapat beberapa masalah sistemik dalam pelaksanaan SPMB 2025. Di antaranya JPPI menyoroti bahwa SPMB 2025 masih terjebak dalam masalah klasik, yaitu perebutan kursi di sekolah negeri, tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung. 

“Inilah pintu masuk kasus jual beli kursi, pungli, dan manipulasi yang sudah diberantas. Ada permintaan yang sangat tinggi (demand), sementara penyediaan (supply) yang sangat minim,” ujar Ubaid

Kasus jual beli kursi ini terjadi mengikuti hukum pasar supply and demand. Semakin tinggi permintaan karena barang yang langka, maka semakin tinggi harga jual.

“Ibarat naik bus (sekolah negeri), ini kapasitas bus sudah jelas-jelas tidak muat, mengapa pemerintah hanya sibuk urus seleksi calon penumpang yang ingin naik bus? Padahal penumpang (calon murid) yang tidak tertampung jauh lebih banyak?,” sambungnya.  

Sebagai contoh, rata-rata daya tampung SMA Negeri di berbagai provinsi hanya sekitar 30%. "Mestinya pemerintah fokus ke 70% anak yang tidak tertampung, daripada hiruk-pikuk ribut urus 30% saja? Bagaimana nasib 70% anak yang tidak tertampung ini?" tambah Ubaid. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan tingginya angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah

Dia juga menilai Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025 sangat membingungkan dan penuh ambigu, terutama terkait penerapan jalur penerimaan. Misalnya, pada jalur domisili tingkat SMA, yang menjadi ukuran adalah kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah (Pasal 43). Keanehan serupa juga ditemukan pada jalur afirmasi yang ternyata mengukur jarak (Pasal 44), sementara jalur domisili jenjang SD yang diukur malah usia (Pasal 43). 

“Pusing bukan? Saya yang mengikuti tiap tahun saja pusing, apalagi orangtua,” ujar Ubaid.

Kebingungan ini semakin diperparah dengan aturan di daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta, di mana semua jalur penerimaan di jenjang SMA (prestasi, domisili, mutasi, dan afirmasi) pada akhirnya tetap mengutamakan prestasi akademik (Pergub Jakarta 414/2025 dan Keputusan Gubernur DIY 131/2025).

“Ironi memang, meski jarak domisili anak dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin pula, tidak menjamin akan bisa melenggang lolos seleksi bila tidak berprestasi,” kata Ubaid. 

Empat model jalur yang diharapkan mampu membuka akses sekolah secara lebar, justru banyak menemukan kebuntuan.

JPPI juga menyoroti ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tafsir Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas terkait sekolah tanpa dipungut biaya di SD dan SMP. Menurut JPPI, SPMB 2025 mestinya mengatur skema pembiayaan gratis bagi calon murid yang tidak lolos di sekolah negeri dan akhirnya masuk ke sekolah swasta

Namun, aturan SPMB 2025 tidak tegas mewajibkan Pemda untuk membiayai anak-anak di sekolah swasta, melainkan hanya menyinggung dengan kalimat: “Pemda dapat memberikan bantuan pendidikan” (Pasal 51). Hal ini menunjukkan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam melindungi hak anak atas pendidikan.

“Kalau sekadar memberikan bantuan, periode lalu juga sudah, dan itu jelas dianggap inkonstitusional oleh MK, jadi harus dibiayai total kebutuhannya bukan sekadar bantuan parsial. Berdasarkan UUD 1945 Ayat 2, kewajiban pemerintah adalah membiayai (full cover), bukan hanya memberikan bantuan, sehingga amanat Pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas pada frasa ‘tanpa dipungut biaya’ dapat benar-benar ditunaikan,” pungkas Ubaid. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya