Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Sayoko, Lurah yang Merawat Masa Depan Lewat Pengasuhan Anak Usia Dini

Media Indonesia
26/5/2025 10:42
Sayoko, Lurah yang Merawat Masa Depan Lewat Pengasuhan Anak Usia Dini
Lurah Bandarharjo Sayoko bermain bersama anak di Rumah Anak SIGAP Bandarharjo, Semarang, Jawa Tengah(MI/HO)

DI ujung utara Kota Semarang, di antara rumah-rumah padat dan jalanan pesisir yang rentan tergenang hujan, terdapat sebuah kelurahan bernama Bandarharjo. Sekilas, tak ada yang luar biasa dari wilayah ini. 

Namun jika melangkah sedikit ke dalam, di sebuah bangunan sederhana yang dulunya rumah dinas lurah, berdirilah pusat kehidupan baru bagi anak-anak usia dini. Rumah Anak SIGAP dan Rumah Pelita.

Di balik keberlangsungan tempat ini, ada sosok Sayoko, Lurah Bandarharjo, yang menolak hanya menjadi pejabat administratif. Ia hadir sebagai pemimpin yang benar-benar hadir untuk warganya.

“Saya percaya, tugas lurah bukan cuma soal administrasi pemerintahan,” ujarnya sambil tersenyum. 

“Tapi juga jadi bagian dari kehidupan masyarakat—duduk diskusi bareng, kerja bakti bareng, peduli bareng, dan menyelesaikan permasalahan sosial bareng. Kalau ada tanggul jebol, saya ikut bantu betulin. Kalau warga ada masalah, saya turun langsung cari solusi. Karena saya yakin, pemimpin yang baik itu hadir, bukan hanya memberi instruksi,” jelasnya.

Lahir di Bongsari, Semarang Barat, pada 27 Agustus 1975, Sayoko tidak pernah membayangkan akan menjadi pemimpin wilayah seluas Bandarharjo, dengan 12 RW, 102 RT, dan lebih dari 23.000 jiwa. 

Sebelum menjadi lurah, ia berkarier selama hampir dua dekade di Dinas Pendidikan Kota Semarang, dimulai sebagai tenaga honorer di 2003 hingga diangkat sebagai ASN pada 2009. 

Latar belakang akademiknya sebagai Sarjana Pendidikan Teknik Elektro dari Universitas Negeri Semarang membentuk cara berpikirnya yang sistematis, namun tetap hangat terhadap masyarakat.

“Saya nggak pernah punya target harus jadi apa. Tapi sejak dulu saya pegang satu prinsip: jadi orang yang bermanfaat untuk masyarakat. Itu cukup,” ujarnya.

Rumah Anak SIGAP: Napas Baru dari Rumah Dinas Lama

Rumah Anak SIGAP Bandarharjo merupakan hasil inisiasi kerja sama antara Tanoto Foundation dan Pemerintah Kota Semarang, sebagai bagian dari komitmen bersama dalam membangun fondasi kuat bagi generasi masa depan melalui pengasuhan anak usia 0–3 tahun. 

Rumah ini telah berdiri sebelum Sayoko menjabat sebagai lurah, namun sejak kehadirannya pada akhir 2023, tempat ini mendapatkan napas baru.

Sayoko tidak hanya mendukung dari balik meja, tetapi benar-benar turun tangan. Memantau kegiatan, berdialog dengan pengasuh, bahkan menyapa anak-anak saat bermain dan belajar.

Saat ini, Rumah Anak SIGAP menampung 52 anak usia 0–3 tahun. Karena tingginya antusiasme, kelas yang awalnya hanya dirancang untuk sore hari kini dibagi menjadi dua sesi: pagi dan sore. Bahkan, anak-anak dari luar Bandarharjo—seperti Tanjung Mas, Purwosari, dan Kuningan—ikut mendaftar.

“Saya pernah lihat sendiri, ada anak menangis keras saat waktu makan,” kenang Sayoko. 

MI/HO--Lurah Bandarharjo Sayoko berinteraksi besama anak dan orang tua di Rumah Anak SIGAP Bandarharjo, Semarang, Jawa Tengah

“Ternyata kata fasilitator ia masih masa adaptasi. Baru dua hari. Saya langsung trenyuh. Banyak orang tua yang harus bekerja keras, penghasilan sangat terbatas, dan tidak punya pengasuh. Rumah ini jadi penolong buat mereka,” terangnya.

Hal yang paling membanggakan bagi Sayoko bukan hanya jumlah anak, tetapi transformasi para orangtua. 

Fasilitator Rumah Anak SIGAP secara rutin memberi edukasi tentang pola pengasuhan, gizi, jam istirahat anak, hingga komunikasi yang baik dengan anak. Bahkan, mereka melakukan kunjungan ke rumah untuk memastikan praktik pengasuhan berjalan baik.

“Para ibu yang tadinya tidak tahu, sekarang jadi paham. Meereka awalnya hanya menunggu anak-anak di Rumah Anak SIGAP, sekarang ikut belajar, berdiskusi, dan merasa punya komunitas,” ujarnya.

Rumah Pelita: Penanganan Stunting Berbasis Pengasuhan

Melengkapi peran Rumah Anak SIGAP, di lokasi yang sama berdiri pula Rumah Pelita, sebuah inovasi dari Pemerintah Kota Semarang yang berfokus pada penanganan stunting pada baduta (balita di bawah dua tahun) yang disebabkan oleh kurangnya stimulasi dan pola asuh yang tidak tepat.

Rumah Pelita difungsikan sebagai day care berbasis sosial, diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, yang sering kali tidak mendapatkan pengasuhan maksimal karena orangtua harus bekerja. 

Di sini, mereka tidak hanya mendapat tempat aman dan terawat, tetapi juga pemantauan gizi, pemberian makanan tambahan (PMT), serta edukasi dan konsultasi gizi yang menyeluruh.

“Banyak yang mengira stunting itu cuma soal gizi,” tutur Sayoko. “Padahal, jika anak tidak dipeluk, tidak diajak bicara, atau tidak dirangsang emosionalnya, itu juga bisa berdampak besar pada tumbuh kembang mereka.”

Rumah Pelita juga memiliki kelas ibu hamil, serta layanan pemeriksaan rutin untuk baduta dan ibu, menjadikannya ruang yang tidak hanya fokus pada anak, tetapi juga pada kesiapan keluarga dalam mengasuh.

“Saya sendiri banyak belajar dari tempat ini,” tambahnya. “Melihat perubahan anak-anak yang tumbuh lebih baik, melihat orang tua yang lebih percaya diri—itu luar biasa bagi saya.”

Harmoni Dimulai dari Rumah

Di momen Hari Keluarga Nasional yang jatuh tiap bulan Juni, Sayoko mengajak seluruh orang tua untuk kembali melihat ke dalam, ke rumah, ke keluarga, ke relasi suami istri.

“Tumbuh kembang anak itu nggak bisa jalan kalau orang tuanya tidak rukun. Rumah tangga yang sehat adalah fondasi. Saya sering temukan, anak-anak yang jadi pendiam atau agresif karena ayah dan ibu tidak kompak,” jelasnya.

Ia lalu mengingat ibunya, seorang pedagang kecil yang membesarkan lima anak dengan semangat pantang menyerah.

“Ibu saya selalu bilang, ‘Kamu harus sekolah setinggi-tingginya. Pendidikan itu penting’ dan saya percaya itu. Segalanya dimulai dari pendidikan,” kenangnya.

Bandarharjo mungkin bukan pusat ekonomi atau pusat budaya Semarang. Tapi dari rumah dinas kecil yang kini menjadi pusat pengasuhan itu, harapan-harapan besar sedang ditanam. 

Anak-anak yang dulu tidak punya ruang bermain aman, kini bisa tertawa. Orangtua yang dulu bingung mengasuh anak, kini punya teman belajar.

Semua itu berawal dari kehadiran seorang lurah yang memilih untuk mendengar sebelum bertindak, dan menghadirkan harapan lewat aksi nyata.

“Saya enggak ingin jadi pemimpin yang hanya dikenal karena jabatan,” ucap Sayoko menutup pembicaraan. 

“Saya ingin dikenang sebagai orang yang hadir, membantu, dan ikut merawat masa depan,” pungkasnya. (RO/Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya