Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
MASIH segar dalam ingatan Norhadiyati Apriani, 31, ketika untuk pertama kalinya mengunjungi sekolah dasar (SD) tempat ia akan mengajar.
Sekitar 4 tahun lalu, Rere, sapaan Norhadiyati, baru lulus CPNS sebagai guru. Ia memilih formasi guru di sebuah sekolah dasar kecil (SDK) yang cukup terpencil di lembah Pegunungan Meratus, Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Sebelum resmi mengajar, Rere ditemani seorang sahabat mengunjungi tempatnya mengajar kelak, SDK Raranum, untuk ‘survei’ kondisi sekolah dan jarak tempuh dari rumahnya di Kota Paringin, Kabupaten Balangan.
Sejumlah hal membuatnya cukup kaget. Selain jarak tempuh sejauh 34 km, akses ke sekolah itu tidaklah mudah.
Lokasi SDK Raranum berada, yakni Desa Langkap, harus melalui jalan setapak yang terjal, pohon-pohon tumbang, hingga jembatan bergoyang.
Rere mengenang pada kunjungan pertama itu, ia dan sang sahabat terus melantunkan dzikir di karena jalanan yang sunyi dengan suasana yang sesekali membuat cemas.
Namun di wilayah dengan pemandangan alam yang asri dengan nuansa hijau seluas mata memandang itu, Rere memulai kisah dedikatif sebagai guru dengan penuh rasa syukur.
Warga yang bermukim di Desa Langkap hanya terdiri dari 15 kepala keluarga. Dengan akses terbatas di tengah pegunungan, mereka yang sekolah di SDK Raranum adalah anak-anak dari sedikit keluarga itu. Ketika Rere mulai resmi mengajar, murid di Raranum hanya 4 orang, terdiri dari kelas 4, 5, dan 6.
Keempat anak itu sekarang sudah lulus dari SDK Raranum. Saat ini hanya ada 3 murid yang semuanya kelas 1. Yang unik, anak-anak yang baru pertama mengenyam bangku sekolah ini belum berani kalau harus menunggu di sekolah. Alhasil, Rere harus menjemput mereka satu per satu.
“Kalau yang dua orang mudah dijangkau, cukup dekat dengan sekolah. Tetapi ada satu yang susah dijangkau. Dia di atas gunung,” ujar Rere saat dihubungi Media Indonesia, Senin (18/11).
Untuk sampai ke sekolah, Rere biasanya menempuh waktu 1 jam 30 menit. Dengan mengendarai sendiri motor matic, Rere kerap menemui kesulitan.
Ia menggambarkan, rute yang dilaluinya setiap hari adalah jalan setapak di lereng pegunungan atau biasa disebut JUT (jalan usaha tani). Kondisi yang paling berat adalah ketika jalanan baru diguyur hujan.
“Kalau jalanan licin lebih baik (motor) saya tinggal di semak-semak, di samping pohon,” tuturnya.
Selanjutnya, ia akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
“Bisa juga saya tunggu orang lewat, misalnya orang yang mau ke hutan. Kalau ada bapak-bapak lewat, bisa mereka yang bawakan motornya,” kisah Rere.
Dengan medan yang tidak terduga, tidak jarang Rere juga memilih tidak pulang dan menginap di rumah warga setempat.
Ia menggambarkan kondisi di desa tersebut tidak tersedia sinyal dan listrik. Komunikasi dengan keluarga di rumah pun terputus selama ia berada di sekolah.
“Kadang-kadang, ketika kondisi mengharuskan, saya menginap di desa dan menghabiskan waktu dengan berbaur bersama warga, membantu apa yang bisa saya bantu setelah kegiatan sekolah selesai. Di malam hari, saya sering mengulang pelajaran bersama salah satu murid yang membutuhkan perhatian lebih,” tuturnya.
Rere selalu memastikan ketiga anak muridnya tidak ketinggalan pelajaran. Namun terkadang ada anak yang harus absen mengikuti pelajaran di sekolah karena ikut orangtua dalam acara adat.
“Mereka adalah suku Dayak di Pegunungan Meratus. Anak-anak ini kadang banyak kegiatan. Misalnya aruh adat, manugal (menanam padi di lereng gunung),” tuturnya.
Untuk menyiasati itu, Rere memberlakukan sistem guru kunjung dari rumah ke rumah ketika anak-anak tidak tidak bisa hadir di sekolah.
“Misalnya yang bisa hadir hanya 1 orang, kita belajar di rumahnya. Kalau lengkap ketiganya baru kita belajar di sekolah,” ujarnya.
Dengan murid hanya 3 orang, Rere berpikir pembelajaran harus bervariatif agar anak-anak tidak bosan. Untuk materi ajar, ia mengunduh buku-buku digital agar bisa digunakan secara offline di sekolah.
“Saya bawa laptop, kita belajar bersama-sama sambil melatih teknologi kepada mereka,” katanya.
Selain itu, Rere mengajak para orangtua untuk terlibat dalam mengenalkan berbagai hal. Misalnya sejumlah kesenian yang memang merupakan kebudayaan di desa tersebut, dari mulai menganyam hingga memainkan alat musik tradisional.
“Mereka, kalau di kelas gampang mengantuk. Mereka lebih suka bergerak karena mereka sering ke hutan. Jadi kami lebih sering melakukan kegiatan yang bisa (dilakukan) di luar, terus memanfaatkan bahan sekitar seperti bambu,” papar Rere.
“Kemarin kita ada bermain alat musik namanya talampung. Itu alat musik tradisional di sana. Hanya 4 orang dewasa yang bisa memainkannya. Saya meminta kerja sama dengan orangtua mereka bagaimana bisa 1 bulan sekali latih anak-anak untuk bisa bermain alat musik ini meskipun secara dasar,” imbuhnya.
Ia juga sering meminta kolaborasi atau kunjungan dari pihak di luar, misalnya dengan dinas perpustakaan dan Bhabinkamtibmas.
“Anak-anak itu merasa senang karena mereka tidak pernah keluar (daerah). Jadi saya yang mendatangkan orang lain untuk datang ke sekolahan kami,” kata Rere.
Meski tantangan besar selalu ada, namun kebersamaan dengan anak-anak itu memberikan kekuatan dan semangat tersendiri bagi Rere dalam menjalankan tugas sebagai pendidik di daerah terpencil.
Menurutnya, kehidupan di sana mengajarkannya arti pengabdian yang sesungguhnya.
Ia mengungkapkan motivasi dalam menjalankan pengabdian itu tidak lain adalah rasa cinta terhadap anak-anak itu.
“Kalau saya tidak ada, bagaimana mereka? Saya satu-satunya guru yang mau mengajar di sana. Saya tidak mau mereka putus sekolah,” katanya.
Tidak bisa dipungkiri, ujar Rere, rasa jenuh terkadang menghinggapi.
“Namun ketika saya bicara sama anak-anak, tanya ke mereka, mau gak sekolah di luar? Mereka mau tetapi kalau dengan saya. Itu membuat saya terenyuh. Makanya saya mau tetap di sini, mendampingi mereka sampai lulus,” katanya.
Kedekatan Rere dan murid-muridnya bahkan sudah seperti keluarga. Bahkan orangtua mereka pernah memintanya menjadi orangtua angkat anak mereka.
“Pernah dilakukan semacam seserahan untuk menjadi orangtua angkat untuk membersamai mereka, belajar, dan saya terima. Saya akan mengajar di sini sampai kapan pun,” katanya.
Ia pun tak dapat menyembunyikan rasa bangganya kepada murid-muridnya. Walaupun sekolah di daerah terpencil, mereka memiliki rasa percaya diri yang kuat.
“Saya selalu mengajak mereka mencoba hal baru. Mereka percaya diri ketika dibawa meskipun sekadar di kecamatan. Dengan teman-teman sekolah lain, mereka tidak ada rasa takut. Sudah dua kali lomba, O2SN di tingkat kecamatan dan lomba bercerita,” ujarnya.
Semangat yang ditunjukkan Rere seakan memberi kisah inspiratif bagi para guru yang memiliki tantangan serupa. Dedikasi para guru dalam mendidik siswa-siswi tentu akan menjadikan Indonesia semakin kuat. (S-1)
Kemenag meningkatkan pendidikan berkualitas yang merata melalui peningkatan kualitas pendidikan agama Islam (PAI) bagi guru PAI dan siswa muslim di sekolah.
Nyalagames, Platform belajar–mengajar–asesmen berbasis Game Based Learning pertama di Indonesia itu terintegrasi dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Kurikulum Merdeka.
Pemantauan Kesiapan SPMB 2025 bertujuan untuk mengetahui tingkat pencapaian persiapan pelaksanaan SPMB di daerah
Hal tersebut merupakan bagian skenario dari ancaman potensi bencana alam gempa megathrust Mentawai dan penguatan kesiapsiagaan bencana, yang dilaksanakan pada Senin (23/9).
SEORANG murid yang membawa palu menyerang guru dan murid di suatu sekolah, Kota Chelyabinsk, Rusia, pada Senin (16/9), sehingga melukai sejumlah orang.
Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) saat ini masih memiliki masalah dari sisi daya tampung.
Ribuan calon siswa SMA/SMK yang tereliminasi tahap pendaftaran dimulai Sabtu (14/6) in karena tidak melakukan verifikasi akun hingga hingga batas akhir yang ditentukan pada Jumat (13/6).
Collaborative for Academic Social Emotional Learning (CASEL) mulai mendapat perhatian serius di Indonesia.
Sebanyak 73% sekolah di Indonesia berada di area rawan banjir.
Sepuluh orang tewas dalam insiden penembakan di sekolah di kota Graz, Austria.
SALAH satu program prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) ialah Wajib Belajar 13 Tahun.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved