Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
KEMENTERIAN Kesehatan menyatakan akan menjamin pemberian insentif kepada para dokter di Indonesia yang tengah menjalani program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit ((PPDS). Tak hanya pemberian insentif, PPDS juga berkah berhak mendapat memperoleh perlindungan hukum dan waktu istirahat sesuai Undang-Undang (UU) Pendidikan Kedokteran.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa saat ini pihaknya tengah mempersiapkan Bulan lalu Kemenkes memastikan bahwa residen yang menjalani PPDS berbasis rumah sakit atau hospital based akan mendapatkan besaran biaya hidup (BBH).
“Sistem pemberian insentif ini melalui APBN yang saat ini kita sedang upayakan untuk percepatan karena masih ada kendala administrasi. Aturan ini juga sesuai permenkes yang sudah ditetapkan. Namun ini khusus untuk PPDS berbasis rumah sakit,” katanya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Sabtu (17/8).
Baca juga : Bullying Menghambat Upaya Mencetak Dokter Spesialis
Saat ditanya berapa nominal insentif yang akan dikucurkan untuk para peserta PPDS selama menjalankan pendidikan, Nadia belum bisa memastikan. Namun ia mengatakan rentang angka berkisar Rp 2-7 juta rupiah per bulan.
Ketua Junior Doctors Network Indonesia Tommy Dharmawan mengatakan bahwa selain faktor perundungan, isu depresi yang berakhir pada aksi bunuh diri dari calon dokter spesialis ini juga bisa disebabkan karena masalah kesejahteraan atau finansial sehingga perlu ditangani dengan baik, sehingga ia merekomendasikan agar peserta PPDS untuk mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat ia bekerja.
“Bagaimanapun pemberian gaji ini sangat penting karena para PPDS ini biasanya sudah punya keluarga karena rentang usianya dewasa sudah umur 30 jadi sudah pasti mereka membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari, sedangkan waktu mereka habis untuk pendidikan, belajar dan praktik di rumah sakit,” ujarnya.
Baca juga : Pengamat Minta Kasus Perundungan Sesama Dokter tidak Digeneralisir
Menurut Tomm, PPDS berbasis universitas dan berbasis rumah sakit secara prinsip harus dilaksanakan bersama-sama dan setara. Dikatakan bahwa universitas tetap harus menggandeng mitra rumah sakit pendidikan dan begitupun PPDS berbasis rumah sakit, harus tetap bermitra dengan universitas. Ia juga menyoroti beratnya beban kerja PPDS.
“Di beberapa rumah sakit pendidikan, ada beban administrasi yang harus dilakukan residen, misalnya mencatat jumlah operasi atau basis data pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Beban administrasi ini seharusnya ditiadakan bagi calon dokter spesialis,” jelasnya.
Data Kementerian Kesehatan mencatat 22,4 persen calon dokter spesialis atau mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi. Melalui data tersebut, 16,3 persen mengalami gejala depresi ringan; 4 persen gejala depresi sedang; 1,5 persen gejala persen dengan depresi sedang-berat; dan 0,6 persen gejala depresi berat.
Baca juga : RSCM Sempurnakan Sistem Pengawasan Usai Ditegur karena Perundungan
Semetara itu, sekitar 3 persen dari responden bahkan mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun akibat tekanan eksternal seperti pembullyan hingga beban kerja yang berat dan tidak adanya insentif.
Hal ini berdasarkan hasil penapisan (skrining) kesehatan jiwa mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024. Penapisan dilakukan pada 12.121 peserta PPDS dengan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9.
Sementara itu, ketua Ketua Umum PB IDI, Mohammad Adib Khumaidi menjelaskan bahwa para dokter yang tengah menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS) layak mendapatkan insentif dan berbagai hak yang ada dalam UU. Menurutnya, para peserta PPDS yang menjalankan pelayanan pada pasien di rumah sakit dan instansi kesehatan di tempat mereka menjalani PPDS bisa didefinisikan sebagai pekerja.
“Seharusnya residen PPDS seperti pekerja pada umumnya harus mendapatkan haknya untuk terima insentif, perlindungan hukum, dan waktu istirahat. Sebab mereka juga melakukan pelayanan kesehatan pada pasien yang datang, serta sekaligus sebagai tenaga medis yang ada di dalam institusi kesehatan, seperti di rumah sakit dan klinik kesehatan,” jelasnya. (H-2)
Masalah obesitas semakin meresahkan masyarakat Indonesia, dengan data terbaru dari WHO menunjukkan peningkatan yang signifikan, terutama pada wanita.
Skrining akan adanya faktor risiko di atas dilakukan minimal setahun sekali. Skrining dapat dilakukan di puskesmas, puskesmas pembantu, dan posyandu.
Tema hari Pencegahan Bunuh Diri 2024 adalah “Changing the Narrative on Suicide”
Sekitar 65 juta anak di dunia menderita mata minus dan diprediksi meningkat menjadi 275 juta di tahun 2050.
Cara penyimpanan makan juga memiliki potensi untuk merusak kandungan nutrisi atau gizi yang terdapat dalam makanan yang nantinya hendak dikonsumsi.
Pemerintah tengah mempersiapkan pelaksanaan vaksinasi covid-19 di seluruh Tanah Air agar pelaksanaan program tersebut berjalan baik.
Studi menunjukkan semakin banyak waktu yang dihabiskan remaja di media sosial, semakin besar kemungkinan mereka mengalami perundungan terkait berat badan.
Anak harus memahami dan menghargai diri dan lingkungan serta mengetahui konsekuensi hukum dan akibat dari kekerasan/perundungan.
Anak yang menjadi korban perundungan biasanya menjadi lebih pendiam atau tertutup dan menunjukkan sikap yang berbeda dari kebiasaannya.
Orangtua juga bisa memberikan contoh nyata dari keberanian dalam menolak tindakan yang salah serta memberikan dukungan jika anak menghadapi situasi sulit.
Salah satu tanda yang mungkin bisa lanjut diperhatikan oleh orangtua yakni anak sering menunjukkan perilaku agresif
Anak-anak yang melakukan perundungan kebanyakan hanya ingin menyesuaikan diri, membutuhkan perhatian hingga mencari tahu bagaimana menghadapi emosi yang rumit
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved