Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KETUA Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Iing Ichsan Hanafi, mengatakan masih ada pro dan kontra berbagai rumah sakit swasta di Indonesia terkait penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi peserta BPJS Kesehatan. Salah satunya soal masih terbatasnya anggaran RS swasta untuk melakukan perbaikan ruang rawat inap.
“Memang masih ada keraguan yang terjadi di antara fasilitas kesehatan dalam menerapkan KRIS. Kami berharap Kementerian Kesehatan bisa mengatur bagaimana KRIS ini agar nantinya bisa berjalan dengan baik, jadi hanya tinggal memoles yang sudah baik, jangan sampai ada regulasi yang akhirnya membuat sistem JKN terjadi perlambatan,” jelasnya di Jakarta pada Jumat (18/5).
Lebih lanjut Ichsan menghimbau sistem pembayaran yang diberlakukan pada KRIS jangan sampai memberatkan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. Karena selama hampir 10 tahun ini layanan sistem BPJS sudah cukup membantu pengobatan masyarakat.
Baca juga : Kemenkes Mulai Kaji Aturan Terkait Teknis Kelas Rawat Inap BPJS
“Karena kami merasakan dampak baik dengan adanya sistem pembagian kelas satu, dua, dan tiga. Selain itu respon dari pasien dan masyarakat juga sangat baik, tinggal bagaimana kita meningkatkan mutu layanan. Kami berharap dalam KRIS ini sistem pembayarannya jangan sampai memberatkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Noor Arida Sofiana menjelaskan hingga saat ini pengelola rumah sakit swasta masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala dalam penerapan KRIS. Khususnya terkait dana untuk melakukan renovasi.
“Perlu tersedia anggaran untuk melakukan renovasi atau perubahan ruangan, karena ditentukan ukuran ruangan, jumlah tempat tidur, jarak tempat tidur dan lainnya. Sehingga perlu ada regulasi terhadap cost sharing atau coordination of benefit bila KRIS diterapkan. Dan adanya KRIS juga berdampak terhadap penurunan jumlah tempat tidur yang dimiliki RS swasta saat ini,” tuturnya.
Baca juga : Perpres 59/2024 Dorong Program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena (Melki) menyebut setiap rumah sakit yang akan menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) membutuhkan dana sekitar Rp2 miliar. Dana tersebut ungkapnya, untuk perbaikan ruangan rawat inap dalam rangka memenuhi 12 komponen KRIS.
“Kita sudah memperkirakan rumah sakit pemerintah pusat dan rumah sakit provinsi tingkat II, pasti punya anggaran. Dan kami sudah pernah mencoba, misalnya ada 15 rumah sakit yang diuji coba di Ambon setelah itu dihitung-hitung, sekitar Rp2 miliar untuk merapikan semuanya dan itu ada anggarannya,” jelasnya.
Menurut Melki, rencana anggaran untuk rumah sakit pemerintah pusat dan provinsi akan menggunakan anggaran dari pemerintah. Sementara anggaran untuk rumah sakit swasta bisa dilakukan dengan berbagai cara mulai dari dana secara mandiri sampai dengan investasi. Hal itu menurutnya masih dibicarakan lebih lanjut.
Baca juga : Penggantian Kelas Rawat BPJS Kesehatan Jadi KRIS Bisa Bebani Rummah Sakit
"Sementara untuk RS swasta yang kurang, nanti kita bicarakan bersama Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Yang pasti KRIS ini melayani kelas ruang rawat inap saja yang dibikin standar. Standarisasi pelayanan mulai dari pelayanan, obat, dokter, perawat semua tetap sama, yang beda adalah kenyamanan,” imbuhnya.
Melki menegaskan sistem KRIS diterapkan untuk menstandarisasi mutu pelayanan dalam hal ini berupa fasilitas ruang perawatan, bukan standarisasi kelas. Mengenai sistem pembayaran iuran dan tarif nantinya masih akan dibicarakan oleh DJSN, BPJS dan Kemenkes.
“(Nanti) yang berbeda hanya kenyamanan saja, seperti halnya kereta yang ada kelas ekonomi, bisnis dan eksekutif memiliki standar pelayanan yang sama, tetapi hanya berbeda pada tingkat kenyamanan. Jadi jangan ada lagi satu bangsal berisi 12 tempat tidur, tidak punya kamar mandi, ventilasi dan udara tidak baik. Itu yang akan kita sadarisasi mulai dari Aceh hingga Papua agar sama,” katanya.
Baca juga : Dirut BPJS: KRIS tidak Menghapus Sistem Kelas, tapi untuk Menstandarisasi Fasilitas Ruang Inap
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron mengungkapkan bahwa Perpres No.59 tahun 2024 berpotensi membuka peluang bagi asuransi swasta untuk terlibat lebih banyak dalam pelayanan kesehatan nasional. Kerjasama itu bisa dilaksanakan dengan sistem Public Private Partnership (PPP).
“Biaya kesehatan itu mahal sehingga harus ada yang bayar dan kalau hanya BPJS itu tidak cukup maka Harus ada kerjasama dengan swasta juga dan itu yang disebut dengan PPP public private partnership antara kerjasama pemerintah dan swasta dan di seluruh dunia seperti itu kita hanya mencari satu titik yang sangat bagus kerjasamanya seperti apa,” imbuhnya.
(Z-9)
Skrining kanker serviks bisa dilakukan menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di puskesmas.
Total peserta BPJS kesehatan Tasikmalaya berjumlah 5.080.983 orang
BPJS Kesehatan menerapkan paket layanan baik di kantor cabang maupun layanan di Pelayanan administrasi melalui Whatsapp (Pandawa).
Kedua fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang tersebut yakni Klinik Pratama di wilayah Gembor Kecamatan Pagaden dan klinik Pratama di wilayah Kecamatan Cipeundeuy.
PEMERINTAH semakin percaya diri dalam merespons tren menurunnya kasus harian covid-19.
PEMERINTAH gusar. Banyak orang Indonesia berobat ke luar negeri. Katanya, setiap tahun 1 juta orang berobat ke Malaysia dan 750 ribu ke Singapura.
Kampanye digital pencegahan katarak #EyeCareForAll diluncurkan melalui aplikasi Campaign #ForABetterWorld.
Penyakit jantung bawaan merupakan suatu kelainan struktural atau fungi pada jantung atau pembuluh darah besar pada jantung yang muncul sejak lahir.
Vertigo bisa disebabkan banyak hal, antara lain kekurangan semburan oksigen ke otak, infeksi gigi, dan infeksi organ lain.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak merupakan pelayanan yang berkesinambungan, saling terkait dan kesehatan anak sangat ditentukan sejak berada dalam kandungan.
Buang jauh mindset yang menyebutkan bahwa kita butuh olahraga yang canggih-canggih.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi kejadian depresi pascamelahirkan sebesar 25,4%.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved