Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SEJUMLAH ahli kesehatan di Jakarta menyusun sebuah buku panduan untuk membantu masyarakat belajar mengenali dan lebih awas atas produk-produk yang mengundung senyawa kimia Bisphenol A atau kerap disingkat BPA.
Menurut para ahli, BPA pada kemasan pangan membawa risiko tersendiri pada kesehatan masyarakat dalam jangka panjang.
Salah satu penulis buku 'BPA Free: Perisai Keluarga dari Bahan Kimia Berbahaya', Prof. Adang Bachtiar, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), menjelaskan BPA kerap dipakai sebagai bahan baku pembuatan plastik keras dan resin epoksi.
Baca juga: Rencana Regulasi Pelabelan BPA, Tindakan BPOM Dinilai Sudah Tepat
Umumnya ada tiga jenis produk yang mengandung BPA, yakni plastik polikarbonat, resin (material semi likuid/cair yang diperoleh dari tanaman atau diproduksi secara sintesis dan digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga), dan kertas thermal (jenis kertas yang sensitif terhadap suhu panas).
"BPA bisa berada dalam (kandungan) botol air atau galon, botol susu bayi, piring dan gelas plastik, pelapis dalam kaleng makanan, sikat gigi, lensa kacamata, alat-alat kesehatan, dan masih banyak lagi," kata Adang dalam diskusi publik dan peluncuran buku di Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Menurut Adang, banyak orang yang masih belum sadar kalau dalam kondisi tertentu, semisal terpapar panas dalam waktu yang lama, BPA pada kemasan pangan bisa luruh dan bermigrasi ke dalam makanan atau minuman.
Baca juga: Kandungan BPA pada Plastik Bisa Picu Gangguan Reproduksi
Bila BPA sampai terkonsumsi dalam jumlah yang melampaui ambang batas aman, efeknya bisa berupa gangguan kesehatan yang serius.
Dia mencontohkan banyak orang yang masih mengkonsumsi minuman dari kemasan kemasan polikarbonat yang sudah tua, banyak tergores dan kerap terpapar sinar matahari langsung.
"Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat. Tapi ini menunjukkan lemahnya edukasi bahaya BPA dari tingkat hulu ke hilir, dari pemerintah hingga ke masyarakat," katanya.
Hal senada juga diungkap penulis lainnya, Dr. Dien Kurtanty yang menyebut salah satu kunci meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko BPA pada kesehatan adalah dengan penguatan regulasi atau kebijakan yang tegas dan terukur atas peredaran kemasan pangan berbahan plastik yang mengandung BPA.
Baca juga: Ini Tips Mengurangi Paparan BPA pada Perangkat Makan Anak
"Sayangnya, dari penelusuran kami, belum ada regulasi yang mewajibkan produsen untuk melabelkan informasi ada atau tidaknya BPA pada kemasan produknya. Kita pun tidak tahu produk apa saja yang mengandung BPA atau bebas dari BPA," katanya.
Dien menyoroti migrasi BPA dalam wadah makanan dan minuman berdasarkan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 20 Tahun 2019. Aturan itu menekankan ambang batas migrasi BPA pada kemasan pangan maksimum 0,6 mg/kg.
Regulasi itu, menurutnya, kalah dibanding negara lain yang sudah lebih berkomitmen terhadap perlindungan kesehatan. Misalnya, Uni Eropa yang mematok batas maksimum migrasi BPA pada kemasan pangan sebesar 0,05 mg/kg.
Begitu juga Malaysia, India, Kanada, Korea Selatan dan beberapa negara lain sudah melarang penggunaan BPA dalam wadah makanan atau minuman bayi dan anak di bawah 1-3 tahun.
Baca juga: Guru Besar Unhas: BPA Berbahaya Buat Manusia dan Lingkungan
"Kita menanti komitmen pemerintah terutama BPOM dalam merevisi peraturan BPOM 20/2019 ini. Selain itu, mewajibkan produsen untuk memasang label informasi bebas BPA dalam produk kemasannya," tandas Dien.
Pentingnya Edukasi
Ketua Policy Brief Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Agustina Puspitasari, mengungkapkan, IDI sejak Agustus 2023 telah mengirimkan rekomendasi ke pemerintah maupun industri perihal pentingnya mencantumkan label dalam kemasan makanan dan minuman terkait ada atau tidaknya BPA.
"IDI sudah memberikan rekomendasi ke pemerintah dan industri terkait urgensi pemberian label dalam kemasan makanan minuman, ada BPA atau tidak. Kami sendiri sangat mendukung lahirnya kebijakan pelabelan tersebut," tegasnya.
Dia menjelaskan, paparan BPA dapat berimplikasi pada fisiologis tubuh jika terkonsumsi terus menerus.
Migrasi BPA dari plastik kemasan pangan dapat berpengaruh terhadap menurunnya kualitas sperma pada pria atau kemandulan, kanker payudara, kanker testis, prostat. Selain itu, juga berpotensi terhadap hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes melitus (DM) tipe 2, dan gangguan perkembangan anak.
Baca juga: Kemasan BPA Free belum Tentu Aman Digunakan
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri Roestam mengatakan, BPA memiliki kemiripan dengan hormon estrogen yang dimiliki kaum wanita. Karena strukturnya yang mirip, maka jika terserap ke dalam tubuh akan berbahaya.
Karena itu, Noffendri mendorong perlunya gerakan edukasi ke masyarakat lapisan bawah secara masif sambil menanti penguatan regulasi di pemerintah dan lembaga terkait.
Ikatan Apoteker Indonesia, katanya, bersedia membantu mensosialisasikan kampanye pengenalan risiko BPA lewat Dagusibu (Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang), program pendidikan pengenalan obat di sekitar 500 desa dan kampung.
"Itu bisa kita lakukan. Jadi, kesadaran bahaya BPA ini kita bisa mulai dari diri kita sendiri, dari masyarakat, keluarga. Sembari kita mendorong pemerintah untuk menguatkan kebijakan atau regulasi tentang penggunaan BPA ini," tandas Noffendri. (S-4)
Beberapa penyakit kuno seperti Rabies, Trakoma, Kusta, TBC, dan Malaria masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia.
Menggunakan talenan yang sama untuk sayur dan daging bisa menyebabkan kontaminasi silang berbahaya seperti Salmonella. Simak tips mencegahnya berikut.
Kebiasaan merokok biasanya diawali hanya dengan satu batang rokok tapi akan ada banyak resiko yang mengikuti setelahnya.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan pentingnya untuk mengukur tekanan darah secara rutin.
Jambu biji mengandung sejumlah nutrisi yang bisa mengatasi atau membantu permasalahan kesehatan.
Adapun ruang lingkup kerja sama yang dilakukan yaitu pengembangan sistem klaim digital dan pengembangan sistem pembayaran kepada seluruh fasilitas kesehatan.
Menurut Dokter Tirta, kemunculan isu BPA di Indonesia sangat aneh karena baru muncul beberapa tahun belakangan dengan informasi yang kurang akurat.
Tidak ada hubungan kanker dengan meminum air dari galon polikarbonat. Yang pasti 90%-95% kanker itu dari lingkungan.
Penelitian tidak mendapati adanya migrasi BPA dari kemasan galon guna ulang tersebut ke dalam air minum baik yang terpapar ataupun tidak terpapar sinar matahari.
Prof. Juliati memaparkan bahwa sampel dikumpulkan dari empat merek air minum dalam kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat (PC) yang umum dan populer ditemukan di Medan.
Dirjen Perhubungan Darat Kemenhun menindaklanjuti peristiwa kecelakaan beruntun yang melibatkan satu truk bermuatan galon berplat nomor B 9235 PYW dan lima kendaraan di Gerbang Tol Ciawi
BSN menyatakan bahwa konsumsi air dari galon polikarbonat atau guna ulang dapat dipastikan keamanannya dari bisphenol A (BPA) karena sudah mendapatkan sertifikasi SNI.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved