Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
NARASI dan argumentasi yang membawa pengaruh ideologi transnasional seringkali dihembuskan para kelompok intoleran dan radikal di ruang publik. Sebagai penanggulangannya, kelompok agamis yang moderat harus memberikan kontranarasi yang menyasar semua kalangan, khususnya para generasi muda.
Co-Founder Peace Generation Irfan Amalee menjelaskan bahwa partisipasi anak muda harus lebih sering frekuensinya. Algoritma yang bekerja di pencarian dalam internet akan selalu memprioritaskan sesuatu yang banyak dan sering diterbitkan.
"Jumlah konten kontranarasi itu harus jauh lebih banyak. Ibarat air dalam suatu wadah, jika ia dimasukkan setitik zat pewarna, untuk membersihkannya perlu air jernih yang lebih banyak sehingga air dalam wadah tersebut bisa lebih jernih," ucap Irfan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (6//9).
Ia mengungkapkan, generasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya. Contohnya benar atau salah, halal atau haram, Pancasila atau khilafah, dan lain sebagainya. Seolah tidak pernah menyerah, kaum intoleran dan radikal terus menggambarkan Pancasila sebagai suatu kemunduran dan khilafah adalah solusinya.
"Sebenarnya, narasi tentang khilafah itu adalah sebuah narasi internasional ya. Yang mereka (kaum radikal dan intoleran) address sebetulnya hampir semua sistem di dunia, hanya saja kalau di Indonesia, Pancasila lah yang digoyangnya," ujar Irfan.
Menurut dia, pembenaran terhadap ideologi transnasional biasanya dilakukan dengan memunculkan narasi historis. Sebagai contoh, masa kekhalifahan Usmani seringkali diagung-agungkan sebagai contoh sistem khilafah yang bisa membawa rakyatnya pada kemakmuran. Nyatanya, jauh panggang dari api.
"Untuk melawan pengusung khilafah yang biasanya menonjolkan narasi historisnya, kita bisa membawa contoh kekhalifahan pada masanya Khulafaur Rasyidin. Apakah Khulafaur Rasyidin, yang dianggap sebagai kekhilafahan yang terbaik dan masih dibawah bimbingan Rasulullah dan para sahabat terdekat, itu menggunakan sistem khilafah yang sama dengan yang digaungkan oleh kelompok intoleran? Tentu saja berbeda," jelas Irfan.
CEO dari Mizan Application Publisher ini pun menambahkan, jika menyelisik narasi teologis, kita bisa minta ditunjukkan tentang ayat-ayat yang mengarahkan manusia menerapkan sistem khilafah. Padahal di dalam Quran telah dijelaskan, wasyawirhu fil amri, yang berarti bermusyawarahlah dalam perkaramu. Ini jelas sesuai dengan sistem demokrasi yang Indonesia jalankan.
Baca juga: Mahasiswa Harus Punya Kemampuan Kepemimpinan
"Atau misalnya kita mau menggunakan narasi logis, dalam hal ini tentang nasionalisme, kita bisa merujuk pada ijtihad-ijtihad para ulama. Di Indonesia para ulama bisa diwakili dari Muhammadiyah dan NU. NU ulama-ulamanya sudah bersepakat dalam muktamar NU ke-34, yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang sesuai dengan konsep Islam," imbuhnya.
"Muhammadiyah pun serupa, sudah menentukan juga dalam acara muktamarnya yang ke-47, bahwa Indonesia adalah darul ahdi wa syahadah yang berarti negara kesepakatan dan persaksian. Nah jadi kita ittiba saja pada narasi logisnya para ulama. Jadi dari berbagai sudut, baik narasi secara historis, teologis, maupun logis, khilafah itu tidak relevan dan Pancasila bukan sesuatu yang face to face terhadap khilafah, jelas berbeda levelnya," tegas Irfan.
Menurutnya, kelompok intoleran dan radikal biasanya mengangkat narasinya dengan memanfaatkan search engine optimization, sehingga website yang mereka kelola bisa bertengger di urutan paling atas.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir website-website yang cenderung konservatif dan radikal itu sudah relatif kalah oleh website-website yang kelompok moderat kelola. Hal ini terjadi karena kelompok moderat sudah mulai aktif dan terasa kehadirannya di dunia maya jika dibandingkan dengan sebelumnya.
"Kalau dulu, yang moderat masih sebagai silent majority, kelompok dengan jumlah terbanyak tapi cenderung diam, namun sekarang mereka sudah mulai aktif. Kelompok radikal ini sebenarnya kan jumlahnya sedikit, cuma mereka sangat aktif. Mereka ini istilahnya noisy minority, kelompok yang sedikit tapi sangat aktif dan membuat bising," terang Irfan.
Dia menganalisis, masyarakat Indonesia sudah semakin matang dalam mengenali hoaks atau berita bohong yang disebar. Namun perlu diketahui bahwa hoaks atau disinformasi adalah suatu industri yang digerakkan dengan motif ekonomi.
"Mereka tentunya tidak ingin situasi Indonesia tenang-tenang saja, karena dalam ketenangan mereka tidak bisa mendulang keuntungan. Pasti akan ada yang mencari, mendambakan, dan menunggu situasi yang tidak kondusif. Nanti tinggal dilihat saja antara kepentingan penyebaran hoaks dengan kematangan publik," tambah Irfan.
Irfan mengatakan bahwa prinsip moderasi beragama bisa diterapkan salah satunya dengan memiliki sifat tawasuth. Tawasuth bukan berarti tidak berpendirian, tetapi dia bisa menjadi jembatan bagi semua pihak, baik kiri maupun kanan. Ketika ada informasi yang datang padanya, dia lakukan cross-check. Dengan begitu, dia tetap berada di tengah dan tidak terbawa arus. Hal ini menjadi penting terutama karena sebentar lagi kita merayakan pemilihan umum yang rentan dengan polarisasi dan segregasi.
"Dengan memiliki sifat tawasuth, kita bisa tetap berada di tengah bagaimana pun kerasnya polarisasi politik yang terjadi. Walaupun kita punya pilihan, tetapi kita tidak hanyut dengan pilihan kita. Jadikan event politik itu sebagai sebuah kewajiban warga negara untuk memilih, bukan untuk berdiri di satu pihak dan kemudian terjadi polarisasi yang sangat hebat. Semangat moderasi beragama bisa terus hidup jika semua bersikap tawasuth dalam berpikir dan bertindak, khususnya dalam mengonsumsi informasi yang datang padanya," tandas Irfan. (RO/I-2)
Kemendikdasmen mengapresiasi AIA Healthiest Schools 2025, kompetisi yang bertujuan untuk mencetak generasi penerus Indonesia yang lebih sehat.
MEMBEKALI generasi muda dengan jiwa kepemimpinan disebut bisa menjadi langkah awal untuk memberantas kemiskinan di Indonesia di masa depan.
PTPN III melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) menggelar kegiatan edukatif bertajuk PTPN Gen-Bangkit.
Rasa nyaman ini bisa menjadi fondasi generasi muda untuk memikirkan gaya hidup yang lebih aktif serta mengembangkan hobi mereka yang tertunda.
GENERASI muda harus mampu melawan kemalasan dan ketidakpedulian terhadap yang terjadi di lingkungan sekitarnya, untuk kemudian bangkit membangun negeri dengan kemampuan yang dimiliki.
Pendekatan pendidikan yang penuh kasih sayang mendorong anak-anak untuk bertanya, mengeksplorasi ide, dan belajar melalui kesalahan.
Toleransi, katanya, adalah kata yang paling sering terdengar tapi terkadang bisa berbalik menjadi penyebab tindakan-tindakan intoleran.
Kementerian Agama menggagas Gerakan Ekoteologi, yaitu pendekatan keagamaan yang mendorong kepedulian lingkungan berbasis nilai-nilai spiritual.
Fondasi dari moderasi beragama yang kokoh tak hanya bertumpu pada edukasi atau pendekatan budaya semata, tetapi juga sangat berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat.
Dengan memahami makna semboyan bangsa tersebut maka akan muncul cinta, toleransi, dan kelembutan perlu dimiliki oleh setiap orang yang beragama.
Wasathiyah sejatinya mengantarkan manusia ke kehidupan yang sukses dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Perkembangan penduduk yang yang semakin padat dan majemuk dengan keragaman suku bangsa dan agama menjadikan hal penting dalam menjaga kehidupan dan kerukunan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved