Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pakar Hukum: RUU Kesehatan Tidak Selaras dengan Naskah Akademik

Mediaindonesia.com
04/4/2023 11:35
Pakar Hukum: RUU Kesehatan Tidak Selaras dengan Naskah Akademik
Pengamat Hukum dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril.(ANTARA / Maria Rosari)

PAKAR hukum Dr. Oce Madril, mencatat bahwa RUU Kesehatan yang tengah digodok oleh Pemerintah dan DPR saat ini menggunakan metode omnibus, harus fokus menyelesaikan persoalan di sektor kesehatan.

“Ada banyak isu kesehatan yang muncul dalam naskah akademik, sehingga harapannya RUU Kesehatan tidak keluar dari pengaturan di bidang kesehatan,”ungkap Oce yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN).

Menurut Oce, Naskah Akademik merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi untuk menentukan materi yang akan diatur dalam Undang-Undang. 

Baca juga: RUU Kesehatan: Ubah Wajah Layanan dan Jawab Masalah Kesehatan Indonesia

“Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU 13/2022, bahwa tujuan, sasaran, jangkauan dan arah pengaturan suatu RUU harus selaras dengan Naskah Akademik,” terang Oce.

Materi RUU Kesehatan Tidak Konsisten

“Persoalannya, muatan materi RUU Kesehatan tidak konsisten dengan Naskah Akademik. Dalam Naskah Akademik dijelaskan hasil kajian dan analisis mengenai kondisi dan masalah sektor kesehatan. Tidak ada pembahasan mengenai BPJS Ketenagakerjaan atau Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan,” bebernya.

Baca juga: Pakar Undang-Undang Sebut RUU Kesehatan Jangan Keluar dari Pakemnya

Oce melanjutkan, kenapa tiba-tiba dalam RUU terdapat beberapa pasal yang mengatur BPJS Ketenagakerjaan. Kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan turut serta diutak-atik.

Ubah Sistem Pertanggungjawaban BPJS Ketenagakerjaan

Tanpa penjelasan dalam naskah akademik, menurut Oce, RUU ini tiba-tiba mengatur dan mengubah sistem pertanggungjawaban BPJS Ketenagakerjaan yang seharusnya langsung kepada Presiden, menjadi melalui Menteri Ketenagakerjaan.

“Perubahan sistem pertanggungjawaban tersebut tentunya berimplikasi pada kedudukan BPJS Ketenagakerjaan yang seharusnya langsung berada di bawah Presiden,”  kata Oce Madril yang juga Pengajar di Fakultas Hukum UGM.

Ketentuan dalam RUU Kesehatan sebenarnya tidak terkait dengan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) dan BPJS Ketenagakerjaan.

Hal ini terbukti dari Naskah Akademik yang hanya memuat kajian evaluasi terhadap sektor kesehatan tanpa sedikitpun memuat penjelasan mengenai program Jamsostek dan BPJS Ketenagakerjaan. 

Baca juga: IDI: Belum Ada Urgensi Susun RUU Omnibus Law Kesehatan

“Sehingga, jika dilihat dari berbagai jenis undang-undang yang diubah oleh RUU ini, maka dapat disimpulkan bahwa RUU ini dikhususkan untuk mengatur berbagai hal dalam sektor kesehatan. Muatan materi dalam RUU Kesehatan juga menunjukkan bahwa sebagian besar materi (hampir seluruhnya) berhubungan dengan sektor kesehatan,” sebutnya.

“Bahwa faktanya Naskah Akademik hanya fokus pada isu kesehatan, maka arah pengaturan dan ruang lingkup pengaturan RUU Kesehatan mestinya fokus pada regulasi di bidang kesehatan," katanya.

"Oleh karena itu, muatan materi sepanjang berkaitan dengan BPJS Ketenagakerjaan sudah selayaknya dikeluarkan dari RUU Kesehatan. Apabila RUU Kesehatan mengatur isu-isu di luar masalah kesehatan, maka hal ini bertentangan dengan teknik penyusunan Naskah Akademik dan RUU sebagaimana diperintahkan oleh UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” jelas Oce.

Banyak Masalah dalam Muatan Materi RUU Kesehatan

Oce mengungkapkan masih banyak masalah dalam muatan materi RUU Kesehatan. Salah satu contohnya, ketentuan mengenai  pemberhentian anggota Dewas dan Direksi BPJS dalam Pasal 34 UU BPJS. RUU Kesehatan menambah alasan baru sebagai penyebab dapat diberhentikannya anggota Dewas dan Direksi, yaitu “tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya”. 

Ketentuan tersebut, lanjutnya, multi-interpretatif (pasal karet). Tidak jelas ukuran dalam menilai cakap atau tidaknya anggota Dewas atau Direksi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Ketentuan semacam ini sangat diskresional dan tidak menggambarkan prinsip security of tenure bagi anggota Dewas dan Direksi yang memiliki fixed-term of office selama 5 tahun menjabat. 

Baca juga: Pakar Hukum: Pengaturan BPJS dalam RUU Kesehatan Harus Dibahas Mendalam

“Ada banyak pasal-pasal dalam RUU Kesehatan yang perlu didiskusikan lagi, disesuaikan dengan semangat konstitusi dan UU SJSN. Sebagai bentuk meaningful participation, maka ruang diskusi harus dibuka selebar-lebarnya oleh Pemerintah dan DPR,” tutup Oce. (RO/S-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya