Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual

Atalya Puspa
06/12/2021 19:10
Indonesia Darurat Kekerasan Seksual
Ilustrasi(Dok.MI)

DI tengah momentum peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang sedang diperingati saat ini, banyak kasus kekerasan seksual yang justru terjadi di muka publik. Salah satu yang paling mencuat ialah kasus meinggalnya Mahasiswi Universitas Brawijaya NWR.

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Andy Yentriyani bahkan menyebut, saat ini Indonesia dihadapkan pada kondisi darurat kekerasan seksual.

"Ini situasi yang sangat memprihatinkan dan perlu menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa sesungguhnya Indonesia saat ini betul-betul dalam posisi darurat kekerasan seksual," kata Andy dalam konferensi pers yang diselenggarakan secara virtual, Senin (6/12).

Yang menjadikannya lebih gawat, kata Andy, penanganan untuk kasus kekerasan seksual secara khusus masih terbatas dan sangat rapuh. Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan Komnas Perempuan, hanya 10% korban kekerasan yang melaporkan kasusnya ke lembaga layanan.

"Banyak kasus yang tidak terlaporkan dan kalau terlaporkan tidak bisa tertangani dengan baik," imbuh dia.

Sejak Januari hingga Oktober 2021 saja, Komnas Perempuan menerima sebanyak 4.500 pengaduan kasus. Angka tersebut meingkat dua kali lipat dibandingkan pada 2020.

Baca juga: Kemendikbud: Pembelajaran Bahasa Isyarat Masih untuk Anak Berkebutuhan Khusus

"Ini sudah kami kenali di 2020. Sementara sumber daya Komnas Perempuan sangat terbatas. Kami mencoba memperbaiki agar bisa memperbaiki mekanisme pengaduan, verifikasi kasus, dan memastikan lembaga rujukan dan korban terhubung dan membawa kasus ini untuk disikapi," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tarti.

"Namun lonjakan itu mengakibatkan antrian kasus semakin panjang. Sehingga keterlambatan penyikapan menjadi kekhawatiran yang kami rasakan," imbuh dia.

Hal itu, kata dia, bukan hanya dialami Komnas Perempuan saja. Melainkan juga lembaga-lembaga lain baik di unsur pemerintahan maupun nonpemerintahan.

"Ini menjadi hal yang harus kita pecahkan. Kasus kematian NWR ini harus menjadi hal yang mendorong kita untuk benar-benar seirus mengatasi sistem pelayanan terhadap korban kekerasan seksual," ucap dia.

Pada kesempatan tersebut, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengungkapkan, layanan terhadap korban kekerasan seksual memang sudah sepatutnya diperbaiki. Diakui Theresia, berbagai lembaga layanan pengaduan memang mengalami kegagapan dalam merespon laporan di masa pandemi covid-19.

"Rumah-rumah aman mengalami kegagapan, layanan juga banyak yang jadi terbatas. Berdasarkan kajian kami di 64 lembaga baik pemerintahan dan nonpemerintahan, semua itu mendapatkan situasi yang sama. Ini jadi satu hal yang sangat mengkhawatirkan karena kasus kekerasan seksual terus bertambah sejak awal pandemi," beber dia.

Dari Komnas Perempuan sendiri, Theresia mengungkapkan pihaknya telah melakukan upaya jangka pendek, dengan mengubah mekanisme sistem rujukan pengaduan. Meskipun upaya tersebut memang belum dapat mengurai masalah karena pelaporan semakin hari semakin meningkat.

Baca juga: Kekerasan Gender Berbasis Online Naik Empat Kali Lipat

Untuk itu, ia meminta komitmen pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam menangani kasus kekerasan seksual. Dari pemerintah pusat, ia mendorong agar semua wilayah Indonesia bisa menerapkan sistem pengadilan terpadu bagi korban kekerasan seksual.

Selain itu, pihaknya juga mendorong agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa segera disahkan dan dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memastikan layanan yang komperhensif bagi korban kekerasan seksual.

"Karena kalau tidak, kita hanya menuai banyak sekali korban karena situasi layanan kita yang tidak memenuhi kapasitas," ungkap dia.

Selain dari pemerintah pusat, ia berharap agar pemerintah daerah juga mengutamakan pemulihan pada korban kekerasan seksual dengan menghadirkan konselor di lembaga-lembaga pelayanan.

"Karena di beberapa tempat yang kami kunjungi, jumlah konselor hanya 1 atau 2. Itupun konselor klinis yang terbatas. Selebihnya hanya konselor yang membantu, tapi tidak bisa mendeteksi lebih jauh permasalahan korban," ungkap dia. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya