Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Susu Kental Manis bukan untuk Bayi dan Anak

Mediaindonesia.com
25/5/2021 10:55
Susu Kental Manis bukan untuk Bayi dan Anak
Pedagang menunjukkan produk susu kental manis kemasan yang dijual, di agen grosir miliknya di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.(Antara/Yulius Satria Wijaya.)

KOORDINATOR Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) yang juga Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar, sangat memprihatinkan masih banyak ibu yang memberikan susu kental manis (SKM) kepada bayi dan anak-anak mereka. Menurutnya, SKM itu tidak boleh diberikan kepada bayi dan anak-anak karena kandungan gulanya yang cukup tinggi.  

"Sebetulnya memang kondisi ini sangat memprihatinkan, karena sebenarnya susu kental manis itu tidak boleh diberikan kepada bayi dan anak. Itu hanya untuk toping buat makanan seperti es campur ataupun buat kopi. Itu pun sebenarnya tinggi gula sekali. Jadi, memang sangat disayangkan jika masih banyak ibu yang memberikannya kepada anak-anak, apalagi bayi mereka," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (25/5).

Menurut dia, minuman dengan kadar gula sangat tinggi seperti SKM merupakan indikator asupan makanan yang buruk, karena merupakan konsumsi yang tinggi kalori. Kalori yang didapat dari gula memberikan nilai gizi yang rendah yang menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak sehat. "Jadi, tingginya kadar gula pada SKM membuat produk ini tidak sehat untuk dikonsumsi terutama oleh balita, anak-anak dan remaja, karena risiko kerusakan gigi, obesitas dan penyakit degeneratif yang akan terbawa sampai dewasa," katanya.

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2971-1998, susu kental manis merupakan produk susu berbentuk kental yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian air dari susu segar atau hasil rekonstitusi susu bubuk berlemak penuh atau hasil rekombinasi susu bubuk tanpa lemak dengan lemak susu/lemak nabati, yang telah ditambah gula, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Kandungan gula pada SKM menurut ketentuan SNI sebesar 43%-48% yang merupakan gula yang ditambahkan. "Jadi, SKM sama sekali tidak bisa ditempatkan sejajar dengan susu sebagaimana dipahami secara umum," ucap Nia.

Karenanya, dia mengatakan penting bagi masyarakat khususnya para ibu untuk membentuk pola makan sehat dalam keluarga yang tentu dimulai dengan memberi arahan tentang pola makan yang baik dan benar pada anak-anak sejak dini sebagaimana telah dipaparkan dalam tumpeng gizi seimbang. Gula adalah produk berkalori dengan kandungan gizi kosong yang menempati puncak tumpeng gizi seimbang, yang artinya perlu dibatasi jumlah asupannya. "Artinya, SKM adalah produk yang harus mendapat batasan jelas dan tidak bisa dikategorikan sebagai asupan gizi seimbang, apalagi ditujukan bagi anak yang sedang tumbuh kembang,” tukasnya.

Nia mengamati ada beberapa faktor  yang menyebabkan pemberian SKM kepada bayi dan anak-anak. Salah satunya karena ketidaktahuan informasi mengenai SKM itu bukan susu yang disebabkan edukasi ke masyarakat yang masih kurang. Menurutnya, informasi yang lebih banyak diterima masyarakat ialah iklan yang ditayangkan di TV dan medsos yang muatannya hanya buat jualan. "Ini akhirnya menyebabkan yang sampai ke masyarakat itu ya susu kental manis. Iklannya pun memvisualisasikan anak-anak yang minum, padahal anak-anak kan enggak boleh minum SKM," tegasnya.

Dia pun meminta agar Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus menjadi wasit yang adil dalam mengatur iklan-iklan SKM. Selain mengatur perekonomian perdagangan di negara ini, mereka juga harus memiliki aturan main yang tidak merugikan kesehatan ibu dan anak. "Jadi, iklan produk yang mengganggu kesehatan bayi dan anak seperti SKM sebaiknya juga diatur supaya tidak membuat masyarakat bingung dan termakan iklan-iklan yang klaim-klaim kesehatannya sangat berlebihan," ucapnya.

Karena itu, dia meminta agar tulisan di kaleng SKM itu ada tulisan, "Perhatikan! tidak untuk menggantikan air susu ibu, tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan, tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi." Hal ini penting supaya masyarakat sadar bahwa SKM itu bukan produk yang bisa menggantikan ASI, karena ASI memang tidak tergantikan.

Untuk membantu pemerintah mencegah masyarakat memberikan SKM kepada para bayi dan anak mereka, menurut Nia, AIMI ikut memberikan edukasi ke masyarakat. "Kita selalu menyosialisasikan tentang pentingnya menyusui bayi, risikonya kalau tidak menyusui itu apa, dan menjelaskan mengenai dampak dari kandungan gula yang tinggi dari manakanan dan minuman jika diberikan kepada bayi dan anak-anak," tuturnya.

Selain pengaruh iklan, menurut Nia, penyebab lain tingginya pemberian konsumsi SKM kepada bayi dan anak-anak adalah karena pemberian cuti maternitas atau pascamelahirkan yang sangat pendek--hanya 1,5 bulan--dari perusahaan. Hal ini menyebabkan para ibu yang bekerja khususnya di pabrik-pabrik tidak memiliki kesempatan yang lebih panjang untuk menyusui bayi-bayi mereka. 

Dia pun menyarankan agar Kementerian Ketenagakerjaan mempertimbangkan tentang cuti maternitas bagi ibu melahirkan. "Masak kita kalah dari Vietnam, yang meski mereka ekonominya lebih lambat dari kita, tapi cuti maternitasnya sudah 6 bulan di sana. Nah, ini juga harus diatur," ucapnya. (OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya