Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Jalan Panjang untuk Melewati Trauma 

Rahmatul Fajri
07/7/2024 11:20
Jalan Panjang untuk Melewati Trauma 
Penyintas pelecehan seksual Maria Immaculata(MI/Agung Wibowo)

MARET 2013 menjadi masa kelam bagi Maria Immaculata. Perempuan yang akrab dipanggil Maria itu menjadi korban pemerkosaan sepulang dari kampusnya Universitas Indonesia di Depok. Kejadian nahas itu terjadi sekitar pukul 23.00 WIB. Ia berjalan melewati gang samping stasiun menuju rumahnya yang jaraknya tak terlalu jauh. Ketika akan sampai di rumah, ia bertemu lima pelaku yang tak asing karena sering nongkrong dekat rumahnya.

Ia mencoba membuka kembali ingatan buruknya. Tapi yang teringat malam saat kejadian itu ia tidak tahu harus berbuat apa. Ketika di depan pintu rumah pun, ia diam sejenak sebelum memencet bel rumah hingga ayahnya membukakan pintu.

"Setelah kejadian saya diam aja. Nggak ngerti harus gimana. Sebelum masuk rumah pun diam dulu, mencoba tenang, biar nggak kelihatan kenapa-kenapa. Setelah mendingan, baru saya ngebel rumah, papa yang bukain. Udah masuk aja, kayak nggak kejadian apa-apa, tapi pas di kamar saya nangis,” beber Maria.

Baca juga : Polisi Tangkap 4 Orang Pemuda yang Diduga Perkosa Pelajar secara Bergilir di Garut

Baru akhir 2019, Maria mampu menceritakan kejadian utuh pelecehan pada dirinya. Sebelumnya, rentang 2013 hingga 2019 ia menolak untuk mengingat peristiwa kelam itu.

“Sempat lupa selama tujuh tahun. Kejadian maret 2013, saya baru ingat lagi Desember 2019. Jadi selama itu prosesnya ingatan saya nyicil. Yang pertama saya ingat itu melihat tempat kejadian, di sana ada saya, ada beberapa pelaku. Sebenarnya yang pertama teringat itu saya lagi memegang salah satu alat kelamin mereka,” ucapnya. 

Ketika berangsur mengingat kembali peristiwa itu, Maria sempat berpikir apakah dirinya hanya berhalusinasi. Namun, ingatan itu sangat terasa di tubuhnya.

Baca juga : Sean "Diddy" Combs Berbicara tentang Tuduhan Pelecehan Seks Melalui Instagram

“Karena kejadian itu sudah lama, saya sempat mikir, kayaknya ini imajinasi doang. Tapi ingatan itu berasa banget di tubuh saya, dan kejadiannya memang seperti itu,” kata Maria yang bahkan mengingat tanggal kejadian, 13 Maret 2013.   

Sebagai sarjana psikologi, Maria menjelaskan secara ilmu psikologi bagaimana hilangnya ingatan buruk pada dirinya. Manusia memiliki mekanisme yang luar biasa jika ada peristiwa yang tidak diizinkan untuk diingat, otak dapat menutupnya.

“Saya juga kenal dengan teman-teman yang tahu tentang proses penyembuhan dan personal growth, dan ada teman dia pernah diperkosa usia 7 tahun terus inget lagi usia 25 tahun. Ini fenomena yang ada, bahwa korban kekerasan seksual itu pasti akan nyimpan dulu. Termasuk dengan badan yang kaget saat terjadi,” jelas Maria.

Baca juga : Pengadilan New York Batalkan Vonis Harvey Weinstein dalam Kasus Pelecehan Seksual

Maria seakan kembali mencari dirinya yang telah hilang. Dulu ia berusaha untuk melupakan dan berpikir tidak terjadi apa-apa. Namun pada November 2019 ingatannya muncul, banyak kejadian yang memicunya, seperti ketika dosennya sedang bercerita tentang kasus psikologi korban pelecehan seksual yang takut dengan lelaki ciri-ciri khusus atau karakteristik seperti pelaku. Akibatnya korban menjadi takut jika bertemu dengan lelaki yang memiliki karakteristik tersebut.

“Cerita itu juga juga membuat saya terngiang-ngiang. Saya juga baca buku Seksual Healing Trauma, pas saya lihat memang polanya seperti ini. Korban kekerasan seksual mekanismenya nyimpen dulu sekian tahun, dan tahunnya pun bervariasi,” ungkap Maria.

Proses mengingat kembali kejadian buruk yang ingin dihapusnya, ia lewati dengan berbagai terapi dan meditasi. Pascacerita kelam itu, Maria melihat kepribadiannya berubah, gejala anxiety mulai muncul, hingga tahun 2015 saat masih duduk di bangku kuliah semester 6 mengalami depresi. 

Baca juga : Ayah di Tasikmalaya Perkosa Anak Angkat Sejak Kelas 3 hingga 6 SD

Perubahan lain yang ia sadari ketika menjadi orang berbeda. Di satu sisi ia melihat dirinya yang ceria, sisi lain dirinya tidak mau mendapat perhatian.

“Saya tuh menemukan, bahwa saya suka ngomong. Sampai tanya diri sendiri, saya dulu itu yang gimana sih? Pas kuliah saya jadi ada kecemasan sosial. Jalan di kantin kalau ada yang lihat, merasa ada yang salah sama saya. Tahun 2018 saya jadi kepala biro humas, banyak ketemu orang tetapi saya merasa senang menyambut orang. Dari situ saya refleksi, kok ada yang beda, jadi saya yang asli itu yang seperti apa?” tutur Maria.

Di dalam pembelajaran sebagai praktisi, Maria menjadi klien pertama untuk dirinya sendiri. Dari situ ia merasa lebih terbuka dan memiliki tempat aman untuk bercerita, terlebih di dalam terapi itu bertemu dengan komunitas meditasi yang sampai sekarang masih ia sambangi.

“Enam bulan sebelum ingatan-ingatan saya mulai kebuka lagi, ritme kerja saya berubah dari wakil kepala sekolah minta diganti sebagai konselor saja. Jadi kerjanya berkurang, bisa fokus sama diri sendiri, saya lebih rajin meditasi,” tukas Maria.

Tidak mudah bagi Maria untuk mengungkap ceritanya kepada publik. Pertama, ia berani bicara melalui akun Instagram pribadi, lalu mendapat banyak respon positif baik dari rekan psikolog atau orang asing yang merasakan hal sama. Ia lalu membuat sebuah buku digital berjudul A Night To Remember, yang berisi puisi-puisi dari curahan hati. 

Dorongan dari dalam hatinya sangat besar untuk mengungkap ketidakadilan dan pelecehan yang pernah ia alami, yang sudah 7 tahun dipendam. 

“Tujuh tahun saya harus diam tanpa tahu kenapa. Ternyata rasa sakitnya lebih dibandingkan saya harus ngomong meskipun akan di-judge orang. Rasa sakitnya beda, pilih mana nih? mau speak up khawatir di-judge, atau rasa sakit yang saya nggak bisa nanganin. Semua ini pilihan mau keluar atau nggak. Dulu kenapa nggak cerita karena seseorang yang habis diperkosa merasa nggak aman dan nggak nyaman untuk cerita. Aku takut dikatain, jijik, nista, mulai diurai pas aku belajar emosional healing, spiritual. Saya nggak mau bawa beban ini,” jelas Maria.

Kini Maria sudah berdamai, ia sama sekali tidak ingin mengakhiri hidupnya ketika depresi mendatanginya. Besar di keluarga religius membuatnya semakin dekat dengan Tuhan, merasa berharga menjadi afirmasi sangat penting dalam penyembuhan ini. 

"Hidup saya terlalu berharga untuk terus terpuruk. Saya memutuskan untuk lebih terbuka, balik ke rasa sakit. Setiap langkah itu rasanya naik level, awalnya nggak nyaman tapi justru lega," tuturnya.

Maria berharap stigma yang beredar di masyarakat tentang penyintas pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya tidak membebankan pada korban. Tumbuh di keluarga religius, sangat berat baginya untuk bicara soal keperawanan.

“Saya berproses bahwa saya berharga sebagai manusia tidak ditentukan dengan keperawanan yang sudah rusak karena orang lain. Tapi memang orang itu yang moralnya rusak. Stereotype yang ada di saat ini tuh mengungkung korban untuk takut keluar,” pungkasnya.(Faj/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya