Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Surplus Dagang Juni Paling Rendah di Empat Bulan Terakhir

M. Ilham Ramadhan Avisena
15/7/2024 16:58
Surplus Dagang Juni Paling Rendah di Empat Bulan Terakhir
Truk trailer melintas di lapangan penumpukan kontainer, Terminal Petikemas Surabaya, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya(ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

INDONESIA kembali mencatatkan surplus perdagangan pada Juni 2024. Namun nilai surplus di bulan keenam tahun ini menjadi yang paling rendah dalam empat bulan terakhir, yakni US$2,39 milar.

"Ini merupakan surplus terkecil terkecil sejak Februari 2024, karena pertumbuhan ekspor tahunan tertinggal dari pertumbuhan impor," ujar ekonom Bank Permata Josua Pardede melalui keterangannya, Senin (15/7).

Penurunan kinerja ekspor tak hanya terjadi dari hitungan secara tahunan, melainkan bulanan. Josua menilai penurunan bulanan itu didorong oleh melemahnya aktivitas manufaktur baik secara global maupun domestik.

Baca juga : Bertemu Mendag Korea, Wamendag RI Sampaikan Komitmen Indonesia Tingkatkan Kerja Sama Perdagangan

Sementara secara kumulatif, surplus perdagangan untuk semester pertama pertama tahun 2024 turun menjadi US$15,45 miliar dari US$19,91 miliar pada periode yang sama pada tahun 2023.

Adapun pada Juni 2024, kinerja ekspor tercatat tumbuh 1,17% (year on year/yoy), turun dari kinerja sebelumnya yang mampu tumbuh 2,85% (yoy). Dus, pertumbuhan tiga bulan berturut-turut memang terjadi, namun terjadi pada tingkat yang paling lambat selama periode ini.

Sementara secara bulanan, ekspor mengalami kontraksi -6,65% (month to month/mtm) karena melemahnya permintaan global dan normalisasi harga komoditas. Harga komoditas secara signifikan berkontribusi terhadap kontraksi kinerja ekspor pada Juni 2024.

Baca juga : 4 Hal yang Bakal Tentukan Sentimen Pasar Pekan ini, Salah Satunya IKK

Harga global untuk komoditas ekspor utama Indonesia, seperti batu bara, nikel, dan tembaga, turun masing-masing sebesar -4,9% (mtm), -10,7% (mtm), dan -4,8% (mtm). Selain harga komoditas, permintaan global yang lebih lemah juga berperan dalam penurunan tersebut.

"Banyak dari mitra dagang utama Indonesia melaporkan angka PMI manufaktur yang lebih rendah, menunjukkan permintaan global yang melemah," terang Josua.

Produk ekspor yang mengalami penurunan paling signifikan pada Juni 2024 adalah logam mulia dan perhiasan yang turun US$441 juta, nikel dan barang daripadanya turun US$214 juta, dan alas kaki turun US$117 juta. Satu-satunya ekspor yang menunjukkan peningkatan signifikan adalah CPO, yang naik sebesar US$1,09 miliar.

Baca juga : Neraca Dagang Surplus 4 Tahun Beruntun

Adapun kinerja Impor meningkat 7,58% (yoy) pada Juni 2024, rebound dari penurunan 8,84% (yoy). Secara bulanan, impor terkontraksi -4,89% (mtm). Kinerja impor pada Juni 2024 ditopang oleh peningkatan impor barang konsumsi, sementara impor bahan baku dan barang modal mengalami kontraksi bulanan.

Secara spesifik, impor barang konsumsi naik 2,48% (mtm), sedangkan impor bahan baku dan barang modal masing-masing turun 3,41% (mtm) dan 14,51% (mtm). Pertumbuhan impor barang konsumsi sebagian besar didorong oleh permintaan minyak olahan, terutama avtur, di tengah meningkatnya kebutuhan selama ibadah haji.

Defisit Transaksi Berjalan Melebar

Baca juga : Inflasi AS di Atas Konsensus, Ekspektasi Penurunan Fed Fund Rate Mulai Bergeser

"Seiring dengan surplus perdagangan yang terus menyusut, kami mempertahankan ekspektasi pelebaran defisit neraca transaksi berjalan (CAD) pada tahun 2024, yang diproyeksikan melebar dari -0,14% dari PDB pada tahun 2023 menjadi -0,94% dari PDB," kata Josua.

"Proyeksi ini didasarkan pada beberapa faktor, termasuk laju normalisasi harga komoditas yang moderat dan potensi dampak peningkatan ketidakpastian global terhadap permintaan dari mitra dagang utama Indonesia," tambahnya.

Di sisi lain, kebijakan hilirisasi tetap diharapkan dapat mengurangi ketergantungan transaksi berjalan Indonesia terhadap harga komoditas sampai batas tertentu, sehingga membatasi defisit.

Defisit transaksi berjalan yang melebar diperkirakan akan berpotensi memberikan tekanan pada rupiah dan cadangan devisa, terutama di tengah ketidakpastian pasar global yang ketidakpastian pasar global yang disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik, yang akan kinerja neraca transaksi finansial.

Kondisi itu, kata Josua, dapat menimbulkan risiko pelemahan rupiah dalam jangka pendek. Kendati begitu, risiko tersebut diperkirakan bakal termoderasi pada akhir akhir triwulan III karena adanya proyeksi penurunan suku bunga kebijakan yang diproyeksikan dari The Federal Reserve.

"Pada akhir tahun 2024, kami memperkirakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS akan berkisar antara Rp15.900 - Rp16.200. Langkah ini diantisipasi untuk mendorong sentimen risk-on, menarik arus modal masuk, dan pada akhirnya mendukung nilai tukar rupiah," pungkasnya. (Mir/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya