Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
BADAI yang dihadapi industri garmen dan tekstil di Tanah Air akhirnya mencapai kulminasi ketika salah satu perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, Jawa Tengah. Perusahaan itu tak kuasa menahan beban utang yang mencapai Rp24 triliun.
Disebut kulminasi karena sesungguhnya badai-badai kecil dan sedang terus menimpa sektor tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Situasi yang dialami Sritex adalah cerminan betapa rentan dan sulitnya kondisi yang dihadapi oleh industri garmen secara keseluruhan di Indonesia. Lebih tegas lagi, pailitnya Sritex menjadi peringatan keras ambruknya sektor tekstil Tanah Air.
Industri garmen dan tekstil memang terus berada di bawah tekanan yang cukup hebat, baik dari faktor domestik maupun eksternal (global). Dari dalam, mereka ditekan oleh kenaikan biaya produksi, kenaikan upah minimum, daya beli masyarakat yang terus melemah, serta sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak pro industrialisasi.
Salah satu yang paling disorot ialah kebijakan yang cenderung membuka keran impor produk tekstil dan garmen seluas-luasnya. Ini tentu saja membuat produk-produk luar negeri dapat dengan bebas merajalela di pasar domestik. Di sisi lain, produk-produk dalam negeri terbunuh pelan-pelan lantaran tak mampu bersaing dengan produk luar, terutama dari sisi harga.
Pada saat yang sama, tekanan dari eksternal tak kalah keras datangnya. Pelemahan ekonomi global, perang dagang dua raksasa dunia, serta memanasnya geopolitik di sejumlah kawasan di dunia telah membuat pasar dan rantai pasok global terganggu. Bagi industri yang memiliki ketergantungan tinggi pada pasar ekspor, itu adalah kenyataan pahit yang menambah beban tekanan mereka.
Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan sejumlah perusahaan tekstil dan garmen di berbagai wilayah, seperti di Bandung, Banten, Tangerang, Pekalongan, dan Sukabumi, tak mampu bertahan. Mereka terpaksa tutup karena semakin tak kuasa menanggung tekanan. Sampai saat itu, pemerintah, harus diakui, masih belum terlalu peduli terhadap kondisi industri tekstil dalam negeri yang semakin terpuruk.
Kini, keruntuhan sudah mulai menjalar ke pemain besar. Sangat kebetulan, Sritex tumbang ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto baru saja memulai kerja mereka. Karena itu, kita ingin menantang pemerintahan baru agar mereka mampu menyelesaikan persoalan di industri garmen dan tekstil tersebut secara holistik.
Sritex tentu harus diselamatkan terlebih dahulu mengingat ada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan pekerja serta efek domino yang bisa mengguncang seluruh sektor industri tersebut. Ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan juga bakal memengaruhi stabilitas sosial di kawasan industri yang selama ini sangat bergantung pada keberadaan perusahaan-perusahaan tekstil besar.
Akan tetapi, tugas berat dan utama pemerintah sesungguhnya ialah menyelamatkan industri tekstil dan garmen secara keseluruhan. Pemerintah mesti melakukan pendekatan lebih komprehensif untuk merumuskan langkah penyelamatan industri tekstil sehingga ditemukan langkah atau solusi yang tepat dan bersifat jangka panjang.
Presiden sudah benar memerintahkan empat menterinya, yakni Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri Ketenagakerjaan, untuk turun langsung menyelesaikan krisis di Sritex. Mereka diminta menyiapkan strategi dan skema yang paling pas untuk menyelamatkan Sritex.
Alangkah eloknya bila kolaborasi itu diteruskan, bila perlu dilembagakan, untuk membereskan segudang persoalan yang masih menggelayuti industri tekstil serta industri-industri padat karya yang lain. Penyelamatan industri tekstil adalah salah satu kunci untuk meredam laju deindustrialisasi di negeri ini yang kini terus menghantui.
Kebijakan itu berpotensi menciptakan preseden dalam pemberantasan korupsi.
ENTAH karena terlalu banyak pekerjaan, atau justru lagi enggak ada kerjaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir puluhan juta rekening milik masyarakat.
KASUS suap proses pergantian antarwaktu (PAW) untuk kader PDI Perjuangan Harun Masiku ke kursi DPR RI masih jauh dari tutup buku alias belum tuntas.
Intoleransi dalam bentuk apa pun sesungguhnya tidak bisa dibenarkan.
KEPALA Desa ibarat etalase dalam urusan akuntabilitas dan pelayanan publik.
KONFLIK lama Thailand-Kamboja yang kembali pecah sejak Kamis (24/7) tentu saja merupakan bahaya besar.
NEGERI ini memang penuh ironi. Di saat musim hujan, banjir selalu melanda dan tidak pernah tertangani dengan tuntas. Selepas banjir, muncul kemarau.
Berbagai unsur pemerintah pun sontak berusaha mengklarifikasi keterangan dari AS soal data itu.
EKS marinir TNI-AL yang kini jadi tentara bayaran Rusia, Satria Arta Kumbara, kembali membuat sensasi.
SEJAK dahulu, koperasi oleh Mohammad Hatta dicita-citakan menjadi soko guru perekonomian Indonesia.
MUSIBAH bisa datang kapan pun, menimpa siapa saja, tanpa pernah diduga.
MEGAPROYEK pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada awalnya adalah sebuah mimpi indah.
PROSES legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan lagi-lagi DPR dan pemerintah mengabaikan partisipasi publik.
DIBUKANYA keran bagi rumah sakit asing beroperasi di Indonesia laksana pedang bermata dua.
AKHIRNYA Indonesia berhasil menata kembali satu per satu tatanan perdagangan luar negerinya di tengah ketidakpastian global yang masih terjadi.
BARANG oplosan bukanlah fenomena baru di negeri ini. Beragam komoditas di pasaran sudah akrab dengan aksi culas itu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved