Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
JAGAT kepemiluan dibuat kaget oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin. Majelis hakim yang diketuai T Oyong dengan hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban mengabulkan gugatan perdata yang diajukan Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima).
Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan KPU RI selaku tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024, kemudian melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari. Konsekuensinya, pelaksanaan pemungutan suara pemilu mundur ke Juli 2025.
Saking mengagetkannya, bagi orang yang paham tata cara penyelesaian sengketa pemilu, kabar putusan itu membuat sempat terdiam. Otak perlu beberapa detik untuk mencerna.
Itu bukan karena peliknya perkara, tetapi lantaran sulit percaya pengadilan negeri bisa sampai memutuskan perkara pemilu. Apalagi menimbulkan konsekuensi jadwal pemilu mundur ke tahun berikutnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 469 ayat (2), apabila penyelesaian sengketa proses pemilu oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara (PTUN). Jadi, yang diberi kewenangan PTUN, bukan pengadilan negeri.
Bila ditarik ke payung hukum yang lebih tinggi, putusan PN Jakarta Pusat tersebut juga melanggar konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu terakhir pada 2019, maka penyelenggaraan selanjutnya harus dilaksanakan pada 2024.
Para hakim yang memutus perkara Partai Prima ini jelas tidak menyadari betapa peliknya proses penentuan tanggal pemungutan suara di 2024 untuk pemilihan presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota DPD, yang kemudian dilanjutkan dengan pilkada di tahun yang sama.
Mahkamah Konstitusi sampai turut dilibatkan untuk memberikan penafsiran yang pasti tentang keserentakan pemilu yang dimulai pada Pemilu 2024. Semua dilakukan agar pemilu digelar sesuai jadwal yang diamanatkan konstitusi dan UU Pemilu.
Lalu, ujug-ujug hakim Oyong dkk memutuskan tahapan pemilu yang sudah dimulai sejak 14 Juni 2022 harus diulang dari awal. Situ waras?
Partai Prima, ketika dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi, sempat menggugat KPU RI ke Bawaslu. Gugatan itu dikabulkan Bawaslu.
Bersama empat partai lainnya, Prima diberi kesempatan tambahan melengkapi dokumen administrasi untuk menjalani verifikasi ulang. Namun, hasilnya, KPU menyatakan Prima kembali tidak memenuhi syarat.
Bila tidak puas, Prima mestinya menggugat ke PTUN. Entah bagaimana gugatan itu bisa menyasar ke PN Jakpus. Yang lebih mengherankan, gugatan itu diproses lebih lanjut hingga sampai pada terbitnya putusan yang menyabotase Pemilu 2024.
Wajar bila kompetensi para hakim yang menangani perkara itu lantas dipertanyakan. Hakim sampai tidak paham undang-undang apalagi konstitusi, patutkah terus menjabat?
Lebih gila lagi jika ternyata ada unsur kesengajaan hakim menutup mata terhadap peraturan perundangan. Tidak bisa dimungkiri, putusan tersebut seirama dengan kehendak pihak-pihak yang selama ini menginginkan penundaan pemilu.
Walaupun KPU telah menyatakan akan banding, proses kepemiluan kini dilanda ketidakpastian sehingga sangat mudah disusupi kepentingan sepihak. Perkara putusan yang gegabah itu kiranya perlu diusut tuntas dan pihak peradilan secepatnya mengoreksi. Jangan biarkan para penyabot pemilu terpuaskan.
ENTAH karena terlalu banyak pekerjaan, atau justru lagi enggak ada kerjaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir puluhan juta rekening milik masyarakat.
KASUS suap proses pergantian antarwaktu (PAW) untuk kader PDI Perjuangan Harun Masiku ke kursi DPR RI masih jauh dari tutup buku alias belum tuntas.
Intoleransi dalam bentuk apa pun sesungguhnya tidak bisa dibenarkan.
KEPALA Desa ibarat etalase dalam urusan akuntabilitas dan pelayanan publik.
KONFLIK lama Thailand-Kamboja yang kembali pecah sejak Kamis (24/7) tentu saja merupakan bahaya besar.
NEGERI ini memang penuh ironi. Di saat musim hujan, banjir selalu melanda dan tidak pernah tertangani dengan tuntas. Selepas banjir, muncul kemarau.
Berbagai unsur pemerintah pun sontak berusaha mengklarifikasi keterangan dari AS soal data itu.
EKS marinir TNI-AL yang kini jadi tentara bayaran Rusia, Satria Arta Kumbara, kembali membuat sensasi.
SEJAK dahulu, koperasi oleh Mohammad Hatta dicita-citakan menjadi soko guru perekonomian Indonesia.
MUSIBAH bisa datang kapan pun, menimpa siapa saja, tanpa pernah diduga.
MEGAPROYEK pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada awalnya adalah sebuah mimpi indah.
PROSES legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan lagi-lagi DPR dan pemerintah mengabaikan partisipasi publik.
DIBUKANYA keran bagi rumah sakit asing beroperasi di Indonesia laksana pedang bermata dua.
AKHIRNYA Indonesia berhasil menata kembali satu per satu tatanan perdagangan luar negerinya di tengah ketidakpastian global yang masih terjadi.
BARANG oplosan bukanlah fenomena baru di negeri ini. Beragam komoditas di pasaran sudah akrab dengan aksi culas itu.
DPR dan pemerintah bertekad untuk segera menuntaskan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Semangat yang baik, sebenarnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved