Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Melawan Korupsi Sesuka Hati

27/2/2021 05:00
Melawan Korupsi Sesuka Hati
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

UPAYA pemberantasan korupsi kembali mendapat sorotan miring. Penegak hukum yang semestinya bersikap tegas tanpa kompromi, lagi-lagi justru berbaik hati kepada mereka yang terjerat kasus korupsi.

Setidaknya ada dua penanganan perkara korupsi yang membuahkan tanggapan negatif dari publik akhir-akhir ini. Pertama ialah penggeledahan yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di rumah anggota DPR dari PDIP, Ihsan Yunus, terkait kasus korupsi bantuan sosial (bansos) covid-19. Dalam penggeledahan pada Rabu (24/2) itu, KPK mengaku tidak menemukan barang bukti.

Pengakuan itu pun disambut sinisme masyarakat. Rakyat sinis karena KPK baru menggeledah kediaman Ihsan. Padahal, ia sudah lama disebut-sebut terlibat dalam perkara tersebut. Bahkan, pada rekonstruksi yang digelar KPK pada 1 Februari, namanya muncul sebagai penerima fee bansos dari vendor.

Tak cuma soal penggeledahan, ada kejanggalan lain dalam penanganan kasus korupsi yang menyeret Ihsan. Sebab, nama yang bersangkutan lenyap dari dakwaan dua terdakwa korupsi bansos, Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar Maddanatadja.

Kasus lain yang tak kalah menjengkelkan datang dari Pengadilan Tinggi Jakarta, dua hari lalu. Kasus itu ialah putusan majelis banding yang mengorting hukuman penjara terhadap eks Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo. Vonis pidana seumur hidup yang diketuk palu di Pengadilan Tipikor Jakarta karena melakukan korupsi secara bersama-sama di Jiwasraya didiskon menjadi 20 tahun penjara.

Jelas, dua penanganan kasus korupsi tersebut mencabik- cabik rasa keadilan publik. Jelas bahwa model penanganan kasus korupsi itu jauh dari keinginan rakyat. Jelas pula bahwa komitmen yang kerap disuarakan para penegak hukum untuk melibas para koruptor masih sebatas kata-kata.

Sulit dimungkiri, KPK terkesan lemah dalam menuntaskan kasus korupsi bansos covid-19. Padahal, kasus ini amatlah besar, baik jumlah uang yang dikorup maupun dampak bagi rakyat. Korupsi bansos ialah tindakan mahajahat yang dilakukan oleh orang-orang yang berhati superjahat. Mereka tega mendulang cuan dari program bantuan untuk rakyat yang tengah diterpa kesulitan hidup akibat pandemi.

Dengan tingkat kejahatan yang super seperti itu, semestinya KPK juga bertindak super. Mereka wajib menindak siapa pun yang terlibat, bukan malah menyisakan perlakuan istimewa kepada pihak tertentu.

Pun demikian dengan kasus Jiwasraya. Apa yang dilakukan Hary Prasetyo dan kawan-kawan tak kalah jahat. Tak cuma merugikan negara lebih dari Rp16 triliun, mereka juga menyengsarakan jutaan nasabah.

Tidak ada sanksi yang lebih pantas untuk ditimpakan kepada para koruptor Jiwasraya kecuali hukuman maksimal. Itulah yang seharusnya diperlihatkan oleh semua penegak hukum sebagai wujud dari komitmen memberantas korupsi tanpa kompromi.

Ketika KPK berhasil menangkap Juliari Batubara yang kala itu menjabat menteri sosial dalam perkara korupsi bansos, rakyat bangga kepada KPK. Namun, ketika KPK terkesan melunglaikan diri dalam penanganan berikutnya, pesimisme publik mengemuka.

Tatkala, Pengadilan Tipikor memvonis para terdakwa kasus Jiwasraya dengan hukuman penjara seumur hidup, rakyat ramai-ramai mengacungkan jempol. Namun, ketika Pengadilan Tinggi memangkas hukuman itu, rakyat pun menunjukkan emoji jempol terbalik.

Jika masih ada kompromi terhadap pelaku korupsi, jangan harap negeri ini bisa memenangi perang besar melawan korupsi. Jika masih ada aparat yang bermurah hati kepada koruptor, percayalah bangsa ini tak bakal lepas dari penjajahan rasuah.

Itulah yang berulang kali kita ingatkan, khususnya kepada para penegak hukum sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Melawan korupsi butuh komitmen dan integritas tinggi, tidak bisa dengan sesuka hati.



Berita Lainnya