Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
KITA semua semestinya tahu Indonesia negara hukum. Berbagai perbuatan kita dalam berma - syarakat dan bernegara diatur dan harus berdasarkan hukum. Bermasyarakat dan bernegara pantang suka-suka, tetapi harus di koridor hukum.
Celakanya, masih banyak yang tidak mau tahu negara berdasarkan hukum. Banyak pula yang berpurapura tidak tahu kehidupan kita diatur undang-undang. Tak sedikit yang sengaja melanggar hukum. Mereka suka-suka dalam ber masyarakat dan bernegara.
Hukum mengatur siapa pun, kelompok mana pun, masyarakat apa pun, yang hidup di Indonesia, termasuk masyarakat hukum adat. Banyak sekali peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat hukum adat. Peraturan perundang-undangan itu mencakup mulai undang-undang dasar, undang-undang, keputusan Mahkamah Konstitusi, peraturan menteri, sampai peraturan daerah.
Undang-undang mengatur masyarakat hukum adat mesti memenuhi sejumlah unsur. Pertama, masyarakat masih dalam bentuk paguyuban. Kedua, ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat. Ketiga, ada wilayah hukum adat yang jelas. Keempat, ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati. Kelima, ada pengukuhan dengan peraturan daerah. Hukum mengatur penetapan suatu masyarakat hukum adat mesti melalui identifikasi, verifikasi, dan validasi oleh suatu panitia.
Selain mengatur masyarakat hukum adat, peraturan perundang- undangan juga mengatur hutan adat. Pengaturan ini diperlukan untuk menghindari main klaim hutan adat yang bisa berujung pada konflik.
Celakanya, klaim hutan adat yang berujung konfl ik inilah yang belakangan terjadi di Sumatra dan Kalimantan Tengah. Berujung konfl ik karena klaim hutan adat itu terjadi pada tanah yang sudah diputuskan peruntukannya oleh negara, terutama pada lahan-lahan perkebunan kelapa sawit.
Bila dibiarkan berlarut-larut, tidak segera diselesaikan, klaim-klaim hutan adat atas lahan perkebunan bisa mengganggu investasi di sektor perkebunan. Tidak ada kepastian berinvestasi. Padahal, negara sekarang ini sedang menggejot ekspor. Salah satu yang menjadi andalan ekspor ialah komoditas perkebunan. Komoditas perkebunan bahkan menjadi penyumbang terbesar devisa di sektor nonmigas.
Sektor perkebunan sawit memiliki pola kemitraan inti plasma sesuai dengan amanat Undang-Undang Perkebunan. Perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta sebagai perkebunan inti wajib menyediakan perkebunan plasma untuk rakyat sebesar minimal 20%. Mekanisme inti plasma ini membuat perkebunan sawit kita menjadi nomor satu di dunia. Lebih dari itu, pola kemitraan inti plasma juga menyejahterakan masyarakat petani.
Klaim-klaim tanah adat pada perkebunan sawit sudah barang tentu mengganggu pola kemitraan inti plasma. Sejumlah perusahaan perkebunan yang tanahnya diklaim sebagai hutan adat tidak bisa segera memenuhi kewajiban menyediakan perkebunan plasma untuk rakyat. Klaim-klaim semacam itu merugikan rakyat petani yang menghendaki mekanisme kemitraan inti plasma.
Negara harus menyelesaikan persoalan klaim-klaim hutan adat seperti itu. Negara harus menuntaskannya berdasarkan hukum. Jangan sampai, karena ingin mencapai win-win solution atau kompromi, negara mengabaikan hukum. Jika itu yang terjadi, negara juga suka-suka dalam bernegara, dan itu bukan teladan yang baik. Negara pantang mengompromikan hukum. Win-win solution boleh dicapai asalkan tetap berpedoman pada hukum.
Boleh jadi pangkal persoalan klaim atas hutan adat yang berujung konflik ini ialah tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan. Indonesia memang negara yang dikenal menderita obesitas peraturan perundang-undangan. Merampingkan peraturan perundangan-undangan satu kemestian. Menyinkronkan satu peraturan dan peraturan lain suatu keniscayaan.
DPR sudah merancang Undang-undang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat suatu masyarakat disebut masyarakat adat dan pengakuan atas hutan adat. Kita berharap undang-undang ini menjadi payung besar menyelesaikan klaim hutan adat serta persoalan-persoalan terkait agraria, tata ruang, dan lingkungan.
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved