PANDEMI covid-19 di negeri ini masih jauh dari selesai. Penyebaran virus mematikan itu justru semakin parah. Kematian yang diakibatkannya pun bertambah. Tak tanggungtanggung, sudah lebih dari 10 ribu anak bangsa meninggal lantaran terpapar korona.
Jika dibandingkan dengan pasien sembuh yang mendekati 200 ribu dari total kasus positif lebih dari 260 ribu, angka kematian memang sedikit. Akan tetapi, jangankan 10 ribu, satu nyawa saja yang melayang terbilang banyak, sangat banyak.
Terus bertambahnya jumlah korban adalah peringatan nyata, amat nyata, bahwa korona benar-benar telah menjelma menjadi malaikat pencabut nyawa. Ia tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, maupun kelas. Siapa pun dan di mana pun berisiko terpapar dan meninggal.
Pada konteks itulah, untuk kesekian kalinya kita mengingatkan bahwa wabah korona adalah ancaman luar biasa. Ia tidak bisa dipandang remeh, tak dapat pula dihadapi dengan sikap abai dan bebal.
Mau bukti apa lagi bahwa covid-19 memang sangat mengkhawatirkan jika penyebarannya begitu cepat dan terus meningkat dari hari ke hari? Perlu pembenaran apa lagi untuk mengatakan bahwa korona adalah musuh paling berbahaya saat ini jika liang lahad tiada henti digali?
Tren peningkatan kasus positif di banyak daerah adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa korona masih terlalu kuat untuk dijinakkan. Saking cepatnya ia menular, rumah sakit dan fasilitas kesehatan mulai kewalahan. Demikian pula dengan tenaga kesehatan yang sudah lebih dari enam bulan berjibaku menangani pasien korona.
Karena itu, melalui forum ini kita terus mengingatkan seluruh lapisan masyarakat untuk aktif ambil bagian dalam perang melawan korona. Caranya sangat sederhana, yakni patuh pada ketentuan-ketentuan protokol kesehatan. Mengenakan masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan mungkin terdengar membosankan.
Akan tetapi, itulah jurus-jurus jitu untuk melindungi dari pukulan mematikan yang dilancarkan covid-19 selama vaksin dan obat masih dalam penantian.
Menghindari kerumunan juga penting, sangat penting. Menghindari kerumunan sama saja menghindari bahaya, bahaya bagi diri sendiri maupun buat orang lain. Seperti jurusjurus sebelumnya, ia juga sangat mudah untuk dilakukan.
Namun, hal-hal yang semestinya gampang itu ternyata sangat sulit bagi banyak orang. Tidak sedikit warga masyarakat yang masih abai mengenakan masker dan menjaga jarak saat beraktivitas. Tidak sedikit pula mereka yang bergabung dalam kerumunan, atau bahkan dengan sengaja membuat kerumunan.
Apa yang dilakukan seorang pemimpin DPRD kota di Jawa Tengah baru-baru ini ialah contoh kebebalan di tengah pandemi. Sebagai pejabat, dia yang seharusnya menjadi teladan ketaatan terhadap protokol kesehatan justru menggelar konser musik dangdut untuk merayakan pernikahan dan khitanan anaknya yang disesaki ribuan orang. Ironisnya lagi, keramaian tanpa izin itu dibiarkan saja oleh aparat.
Kita tidak tahu pasti kapan pandemi ini usai. Karena itu, untuk mencegah korona yang kian menggila, tiada cara lain kecuali memastikan protokol pencegahan dipatuhi oleh seluruh kalangan.
Ketentuan-ketentuan dalam pembatasan sosial berskala besar alias PSBB atau apa pun bentuk kebijakan di tiap-tiap daerah jelas bukan untuk gagah-gagahan. Ia disusun untuk diterapkan, dan pemerintah diberi kekuasaan menegakkannya.
Kita tidak bisa lagi membuang-buang waktu dengan menunggu kesadaran masyarakat untuk patuh pada protokol kesehatan. Saatnya negara memaksa mereka agar korona tak semakin merajalela.