Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Pengakuan Semu atas Aliran Kepercayaan

30/7/2020 05:00
Pengakuan Semu atas Aliran Kepercayaan
Ilustrasi(MI/Duta)

SUNGGUH malang para penghayat aliran kepercayaan di negeri ini. Mereka tiada henti mendapat tekanan hingga membuat ruang gerak dalam menganut kepercayaan semakin terbatas. Diskriminasi yang mereka hadapi sudah seperti santapan sehari-hari.

Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wi witan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bahkan mengaku merasakan peminggiran secara sistematis terhadap aliran kepercayaan mereka. Pemerintahan setempat membuat peminggir an itu makin melembaga. Melalui penyertifi katan tanah, lahan-lahan adat masyarakat Sunda Wiwitan ber angsur ber alih menjadi lahan atas nama pribadi.

Tentangan sekelompok masyarakat terhadap pengamalan kepercayaan Sunda Wiwitan pun dilegitimasi melalui implementasi aturan daerah yang diskriminatif. Bupati Kuningan, yang semestinya berperan sebagai wakil negara, berkolaborasi dengan ormas menyegel area pembangunan makam masyarakat adat Sunda Wiwitan.

Padahal, sejak Republik ini berdiri, negara memberikan perlindungan dari perilaku-perilaku diskriminatif semacam itu, tanpa kecuali. Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Pangkal persoalan yang menimpa masyarakat Sunda Wiwitan di Ku ningan sebetulnya ialah tudingan sesat yang dilontarkan sekelompok masyarakat. Bupati lantas mengakomodasi tuding an tersebut dalam memproses izin mendirikan bangunan (IMB) permakam an leluhur masyarakat adat.

Pola-pola diskriminasi yang mengekang kebebasan beragama dan menganut kepercaya an seperti itu sudah ke rap terjadi. Imparsial menyebut da lam 31 kasus pelanggaran kebebasan beragama sepanjang setahun hing ga November 2019, aparat penegak hukum dan pemerintah masih berkontribusi sebagai pelaku pelanggaran.

Lebih jauh ke belakang, pe minggiran terhadap aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa malah sempat begitu lama dilegitimasi pemerintah dalam hal pencantuman da ta kependudukan. Sampai kemudian pada 2017, terbit putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi kepada pengakuan aliran penghayat kepercayaan. Dengan pengakuan itu, mereka bisa mencantumkan kepercaya an yang dianut pada kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP).

Namun, pengakuan di KTP rupanya tidak menyetop perilaku diskriminatif yang dihadapi penghayat aliran kepercayaan. Tudingan sesat selalu dan masih menjadi momok.

Ketika sekelompok masyarakat yang merasa berada di atas hukum melontar kan tudingan tersebut disertai pengerahan massa, nyali pemerintah menciut. Negara kalah oleh tekanan massa intoleran.

Ketidakberdayaan pemerintah menegakkan amanat konstitusi menunjukkan pengakuan yang semu terhadap alir an kepercayaan. Para penganutnya yang dari sisi jumlah tergolong minoritas akan selalu kalah oleh tekanan kelompok masyarakat yang mengandalkan kekuatan massa.

Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pemaksaan kehendak akan semakin populer dijadikan senjata untuk menginjak-injak kelompok masyarakat minoritas. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak menganggap sepele setiap kasus pelanggaran kebebasan beragama.

 



Berita Lainnya