Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Tembus 100 Ribu Aura Krisis Hilang

29/7/2020 05:00
Tembus 100 Ribu Aura Krisis Hilang
Ilustrasi(MI/Seno)

KEGAWATAN covid-19 tidak terbantahkan.Rekor kasus terus terjadi di Tanah Air. Berdasarkan Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, kasus positif di Indonesia tembus angka 100 ribu pada Senin (27/7). Kemarin bertambah 1.748 kasus baru sehingga totalnya mencapai 102.051 kasus positif covid-19.

Mestinya kegawatan covid-19 tecermin pula dalam respons pemerintah. Ketanggapan kerja haruslah secepat penyebaran kasus korona itu sendiri. Ibarat pertandingan lari, hanya dengan mengimbangi barulah kemudian kita dapat menyalip dan mengerem laju sang virus.

Namun, yang terjadi masih jauh dari harapan. Salah satu gambarannya ada dari skor yang dikeluarkan Universitas Oxford, Inggris.

Baru-baru ini Universitas Oxford memberikan nilai D untuk penanganan covid-19 oleh pemerintah Indonesia. Nilai itu muncul karena pemerintah hanya mampu mengumpulkan nilai 43,91 atau masih di bawah 50 dalam rentang nilai 0-100. Nilai Indonesia bahkan kalah dari Kamboja.

Di sisi lain, penilaian Oxford tidak terlalu mengherankan jika melihat yang terjadi di dalam negeri. Pada Selasa (28/7), Presiden Joko Widodo mengeluhkan lambannya penyerapan anggaran penanganan covid-19. Dari total anggaran Rp695,2 triliun, baru terealisasi 19% atau Rp136 triliun.

Anggaran itu mencakup anggaran kesehatan dan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sayangnya, pencairan keduanya sama lambatnya.

Pada awal Juli, Staf Ahli Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa realisasi anggaran penanganan kesehatan baru 4,68%. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan rendahnya serapan anggaran program PEN dan penanganan kesehatan lantaran penyesuaian refocusing dan realokasi belanja ke menterian/ lembaga.

Kita memahami jika refocusing dan realokasi tersebut membutuhkan landasan peraturan. Ini bukan hanya sebagai legitimasi langkah para pejabat, melainkan memang perlu untuk tata kelola pemerintahan yang baik itu sendiri.

Namun, seperti yang juga berkali-kali dikatakan Presiden, segala penyesuaian harus dilakukan dalam kerja cepat. Tidak hanya itu kita juga mendorong agar para birokrat, termasuk di daerah, tanggap dan cepat dalam menjalankan peraturan percepatan yang sudah ada.

Contohnya ialah kebijakan dalam hal penyederhanaan prosedur insentif bagi tenaga kesehatan (nakes). Untuk menyederhanakan birokrasi, Kementerian Kesehatan membuat simplifi kasi prosedur dengan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020 dari Revisi Kepmenkes Nomor HK.01.07/ MENKES/278/2020.

Dalam Kepmenkes yang baru, proses verifikasi dokumen pengajuan insentif nakes, tidak seluruhnya ke Kemenkes, tetapi ada yang dikelola di tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta langsung diajukan ke Kementerian Keuangan melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BKPAD)/Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DKPAD) di daerah.

Dengan begitu sesungguhnya instrumen telah ada, tinggal ketanggapan para birokrat dalam menjalankannya. Masih adanya kelambatan pencairan insentif nakes di berbagai daerah sesungguhnya ialah potret kemalasan para birokrat. Kita pun mendorong agar berbagai peraturan penyederhanaan prosedur lainnya segera diterbitkan.

Kita sependapat dengan penilaian Presiden  bahwa penanganan covid-19 dan dampak ekonominya terasa kian lambat. Jangan sampai aura krisis itu sudah hilang, semangat menangani krisis pun terasa mulai turun.

 

 

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik