Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
WACANA penerapan hukuman mati bagi terpidana kasus korupsi yang dilontarkan Presiden Joko Widodo menuai beragam tanggapan. Bahkan, tidak sedikit yang bersikap sinis dengan menganggap wacana itu tak lebih dari sekadar gagah-gagahan.
Wacana penerapan hukuman mati bagi koruptor diutarakan Jokowi saat menjawab pertanyaan seorang pelajar pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMK 57 Jakarta, Senin (9/12). Menurutnya, hukuman mati bisa diberlakukan dalam perkara korupsi jika memang ada kehendak kuat dari masyarakat. Dia pun siap mendorong revisi UU Tindak Pidana Korupsi agar hukuman mati bagi koruptor bisa masuk ancaman hukuman.
Sekilas, jawaban Jokowi itu mengonfirmasikan negara luar biasa tegas dalam menghadapi kejahatan luar biasa bernama korupsi. Namun, tidak salah pula jika ada yang menilai jawaban itu cuma retorika. Mustahil dimungkiri, fakta di lapangan menunjukkan ketegasan justru kian menjauh dari upaya membasmi korupsi.
Negeri ini tak butuh ancaman hukuman yang muluk-muluk seperti hukuman mati untuk memberantas korupsi. Lagi pula, ancaman hukuman mati sebenarnya sudah diatur di Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Intinya, dalam keadaan tertentu, pelaku tindak pidana korupsi bisa dihukum mati.
Korupsi hanya bisa dilawan dengan konsistensi dalam tindakan, bukan jargon-jargon heroik melalui ucapan. Untuk melawan korupsi, kita tak perlu bicara hukuman mati segala. Apalagi, hukuman jenis itu masih menjadi perdebatan dan makin banyak negara yang meninggalkannya.
Yang kita perlukan dalam menghadapi korupsi ialah sikap tegas tanpa kompromi dari pengelola negara. Meski mungkin belum sempurna, negara telah memberikan beragam senjata untuk memerangi korupsi, tapi hingga kini penegak hukum enggan menggunakannya secara optimal.
Seluruh rakyat Indonesia tahu, selama ini penegak hukum cenderung berbaik hati kepada pelaku tindak pidana korupsi. Ketika publik memimpikan hukuman superberat, rata-rata tuntutan dan vonis kepada mereka tetap saja ringan. Sebagai gambaran, Indonesia Corruption Watch mencatat pada 2018 ada sekitar 900 terpidana korupsi, tetapi yang mendapat hukuman di atas 10 tahun cuma sekitar 9 orang.
Keistimewaan berlanjut ketika koruptor menjalani pemidanaan. Sel-sel mewah siap mereka tempati, remisi dan pembebasan bersyarat yang tadinya diperketat juga kembali bisa dinikmati.
Bahkan, seakan tak mau kalah dengan pusat-pusat perbelanjaan yang ramai-ramai memberikan potongan harga jelang tutup tahun, potongan hukuman juga diobral untuk koruptor oleh para 'wakil tuhan' di Mahkamah Agung (MA).
Terkini, Majelis Kasasi MA meringankan hukuman bekas Bupati Buton Kulon, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Samiun, dari 3 tahun 9 bulan penjara menjadi 3 tahun. Samsu ialah terpidana dalam kasus suap terhadap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Samsu menjadi orang kesekian yang mendapat kasih sayang MA. Sejak ditinggal pensiun hakim agung Artidjo Alkostar, MA gemar memotong hukuman para koruptor, termasuk Idrus Marham, Patrialis Akbar, OC Kaligis, hingga Irman Gusman. Puluhan koruptor pun sedang menunggu kebaikan hati para hakim agung lewat kasasi dan peninjauan kembali.
Kelemahan utama Republik ini dalam menghadapi korupsi ialah minimnya penegak hukum dan penyelenggara negara yang satu kata antara ucapan dan perbuatan. MA menjadi contoh nyata. Di depan panggung mereka selalu lantang bersuara untuk memerangi korupsi, tetapi di belakang panggung masih saja gemar mengabulkan permohonan kasasi atau PK pelaku korupsi.
Ketegasan Presiden Jokowi sebagai panglima tertinggi dalam perang melawan korupsi belakangan juga dipersoalkan. Keputusannya memberikan grasi kepada koruptor Annas Maamun jelas-jelas mengusik rasa keadilan.
Korupsi tidak bisa diberantas dengan retorika. Tidak usah jauh-jauh bicara hukuman mati, cukup jatuhkan hukuman maksimal. Rakyat hanya butuh ketegasan dan konsistensi dari pengelola negara, bukan seolah-olah tegas dan seolah-olah konsisten memberantas korupsi.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved