Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Bijak Menilai Debat

18/1/2019 05:00
Bijak Menilai Debat
(MI/Seno)

DEBAT perdana dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sudah digelar di Hotel Bidakara, tadi malam. Perdebatan relatif seru terjadi hampir di sepanjang sesi debat terkait dengan tema hukum, korupsi, hak asasi manusia (HAM), dan terorisme tersebut.

Melampaui ekspektasi bahwa pasangan nomor 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang notabene merupakan petahana ternyata tak hanya defensif menerima serangan dari pasangan penantang mereka nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Sesekali bahkan Jokowi dengan cukup taktis melakukan serangan balik atas pernyataan Prabowo ataupun Sandiaga yang dianggapnya menohok pemerintahan saat ini, terutama saat sesi perdebatan tentang hukum.

Secara garis besar, debat kali ini masih memperlihatkan dua sisi yang selama ini memang menjadi perbedaan utama di antara kedua pasangan calon. Jokowi-Amin lebih menyuarakan optimisme, sedangkan Prabowo-Sandi lebih banyak menonjolkan kekurangan-kekurangan Republik ini, yang kemudian terkesan cenderung membawa pesan pesimisme.

Namun, di luar persoalan konten, ada sisi menarik lain dari gelaran debat perdana dari lima seri debat Pilpres 2019 tersebut. Antusiasme masyarakat terhadap debat ternyata sangat tinggi. Itu bisa dilihat dari acara nonton bareng (nobar) yang digelar di mana-mana. Dari warung makan pinggir jalan sampai restoran mahal. Dari balai warga hingga kediaman wakil presiden.

Dalam perspektif penguatan demokrasi, antusiasme tinggi terhadap debat itu jelas melegakan. Bagaimanapun debat ialah proses yang meninggikan rasionalitas. Debat yang ideal, yang di situ mempertontonkan perdebatan substantif, adu gagasan yang solutif, serta laga komunikasi persuasif, tak bisa dimungkiri merupakan proses yang dihasilkan dari pikiran-pikiran rasional. Hasil akhirnya pun mestinya ialah pilihan yang rasional, bukan pilihan yang semata didasari emosional, apalagi fanatisme buta.

Karena itu, ketika orang mau berduyun-duyun mendatangi lokasi debat, nobar debat, atau minimal menonton di televisi rumah masing-masing dengan saksama, kita patut berharap demokrasi di negeri ini tengah mengejar level rasionalitasnya. Bagi Republik, ini jauh lebih penting ketimbang terus memperdebatkan sejauh mana pengaruh debat capres dan cawapres itu terhadap elektoral kandidat yang sedang bertanding.

Semakin banyak calon pemilih menonton debat secara langsung, semakin besar pula harapan kita bahwa mereka akan memiliki penilaian subjektif individual. Hal itu penting untuk mencegah mereka terdistorsi oleh penilaian subjektif lain yang berasal dari tim sukses kandidat, pengamat, dan terutama dari para buzzer yang tentu saja akan terus menebar narasi keberpihakan di media sosial.

Siapa pun berhak untuk tidak didikte, termasuk dalam penyikapan terhadap proses dan hasil debat karena sejatinya setiap individu memiliki ekspektasi masing-masing. Debat boleh jadi akan meyakinkan seseorang terhadap pilihannya karena dianggap telah memenuhi ekspektasinya. Akan tetapi, debat juga bisa menjadi faktor orang 'melompat pagar' memindahkan pilihan karena apa yang dipaparkan kandidat dalam debat dinilai jauh dari ekspektasi mereka.

Karena itu, pesannya cuma satu, cerdas dan bijaklah dalam menyikapi dan menilai debat. Antusiasme warga merespons debat pertama memang mesti kita sambut gembira. Kita berharap mereka tidak menonton debat hanya sebagai panggung hiburan karena sejatinya dalam sebuah debat bukan etalase yang terpenting, melainkan substansi.

Harus pula ditegaskan, jangan memandang debat ialah segala-galanya dalam proses kontestasi demokrasi. Debat tadi malam, sebagus atau sejelek apa pun hasilnya menurut penilaian objektif masyarakat, hanya salah satu kanal seleksi sebelum masyarakat menentukan pilihan.

 



Berita Lainnya