Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Sajak-sajak Dody Kristianto 

Sajak Kofe
12/3/2022 11:00
Sajak-sajak Dody Kristianto 
(Ilustrasi Moch Samba)

Kaidah Mengatak Gambar 

Aku memilih berjarak, berhadap-hadapan saja. 
Tak kumasuki alur cerita. Biar mengalir sederhana. 

Kabar tokoh utama yang tamat di tengah cerita 
kusimpan dalam-dalam. Kusiapkan kado perpisahan 

dengan sembunyi-sembunyi saja. Gita yang tersisa 
jangan sampai tertambat ke lubuk ingatan. Aku ingin 

ia sempurna pada penghabisan. Sesempurna pula 
kutata pijaknya di depan mata rentan. Aku jaga benar 

ia pada tempat berdirinya supaya kesedihan tak dekat 
tak jauh pula dari jangkauan. Pada langkah terakhirnya, 

aku beri sehelai daun gugur agar sore semelankoli salju 
turun kali pertama. Tak dekat pun tak terlampau jauh, 

kubiarkan biarlah ia berumah pada yang sederhana. 
Pada perpisahan yang harus ada sebelum akhir cerita. 

2022 

 

Di Sebuah Lapak Pijat 

Perjumpaan kita berlanjut. Kau berancang menggelar 
kemahiran membolak-balik badan. Sementara kusiagakan 

urat-urat gerompal, badan sawan pesakitan, sendi yang dibebat 
asam urat, serta kepala cenat-cenut tersebab tak lagi kuturuti 

pitutur nenek moyang. Pertarungan sederhana lanjut lagi. Kau 
tarik tulah kodok yang bersemayam. Sudah gawat, sudah teramat 

akut di badan: Sendi-sendi. Dada sesak. Leher berat tertopang. 
Harus kau pecah dengan membetot otot-otot yang tak karuan. 

Mesti pula kau luruskan urat pemberontak itu ke lajur makrifat 
badan. Biar tak tanggung kubawa badan melompat. Lalu kau 

lamah lembutkan kakiku yang bertanam kaku ke tanah. Harus kau 
sembur demit amit-amit yang bermukim di sepanjang telapak. Agar 

langkah-langkahku yang lesat, tak lamat-lamat seperti siput merapat
ke arah kiamat di atas kepala. Dan menjelang tamat, keluwesan jarimu 

menjelajah setiap jengkal kepala benar kunantikan. Kutunggu 
bagaimana pangkal segala keruwetan diluruhkan. Sebab tak akan 

mampu kepala berat ini menoleh ke depan. Yang dilihatnya semata 
mantan-mantan yang sudah berlenggang, yang beranjak ke peraduan 

menanggalkan badan ini sendiri sebagai pesakitan. 

2022 

 

Prasyarat Juru Tagih 

Tak penting ia memahami atau mengambil 
inti silat yang mana. Begitu pula dengan ajian 
dan ancang-ancang mengancam yang beragam. 
Tak penting pula memiliki paras rupawan yang 

tertata rapi di depan buruan. Sewajarnya tampang 
tak tampan. Muka harus ribut penuh cambang. 
Lebih utama bila badan setegap gajah. Setinggi 
tiang pancang. Bulu dada selebat rumpun rimpang 

tak keruan. Cari pula yang bersuara sekencang 
geluduk. Yang daya menghardiknya sengeri lagak 
bini menampar muka simpanan. Bisa pula dalam 
badan, ia dititipi dukun tiban seekor macan kumbang 

yang menunggu buruan dalam lambung. Sebab 
yang ia hadapi lebih genting dari sekadar menumpas 
seorang rival. Seteru yang dihadapi memang gemar 
menyaru dengan rona kasihan. Seteru yang 

mengenggam beragam ilmu menawar pun mengulur-ulur 
kesempatan. Tak laik berbaik sangka pada pengamal 
muslihat demikian. Pun salah tingkah juga menyiagakan 
kuda-kuda menyerang. Sebab jurus penakluk sebenarnya 

sederhana saja. Papar kegarangan. Keseraman harus sering 
dipamerkan di muka penunggak yang gemar menahan 
hutang hingga tujuh turunan. 

2022 


Memahami Juru Masak 
kepada: William Wongso 

Sesungguhnya aku tak pernah 
khusuk berdekat dengannya. 

Tingkahnya santun, langkahnya 
langgam mengalun melenakan. 

Gerak-gerik tangannya mengolah 
yang tak terduga. Jurus jawara 

membanting badan nyata-nyata tak 
seanggun kaidah lentik gemulai 

yang melumat anasir keras-kasar 
yang di atas ceruk cobek di hadapan. 

Bila ancangannya digelar, maka 
manutlah yang terpendam di tanah, 

lunglai yang mengambang di udara, 
mencungul juga yang tenteram di perairan. 

Tunduklah seketika, mereka yang 
berbadan lebar maupun yang larinya 

lesat melebihi langkah jalanku. Ia 
sampai pada makrifat menandangi 

rumit urat-urat. Tak tergesa ia meniru 
silat hewan sebab dilipat mereka dalam 

satu hantaran, satu olahan. Tak pula 
aku banyak berkutik, sebab tata silatku 

sebenarnya rumpang, miring belaka, 
tak karuan dihajar lambung limbung 

yang lapar keroncongan.

2022 

 

Kukutuk engkau kini sebagai penghuni jalan sepi. 


Kidung Tukang Jagal 

Yang mental-mentul di kolam. Yang lalu lalang di ladang. 
Yang terbang rendah di penerawangan. Lalu yang berbalut 
kaus merah bintang. 

Ke sini. Jalan abadi sebenarnya sebermula mengudar 
urat-urat halus di leher. Akan kuamankan pandanganmu 
dari pernik ketakutan. 

Pasrahkan badan. Lunglaikan segala urat-urat. Sebab lihai 
benar gelati ini bersabar. Hingga ia hafal lajur tenang di leher 
milik jawara paling liar sekalipun. 

Jangan pernah kau memasang perlawanan. 
Jangan. Padamkan segera. Tak elok pun tak bakal 
sepadan dengan ganjaran yang terhampar di depan. 

Badanmu tidaklah patut menguar gejolak 
otot-otot kekar. Akan keras pula uratmu 
bila gerak kau lebih-lebihkan dari sepatutnya. 

Tak gelenjur lagi daging-dagingmu bila dalam benak 
kau kutuk aku selaku seteru. Telah siap satu kerat tercepat, 
di mana kau tak lagi perlu menyeru pekik revolusi. 

Menggeleparlah dalam sekejap saja 
saat badan dan kepala sempurna berpisah. 
Tanpa perlawanan. Tanpa perlawanan. 

2022 


Memahami Pengorbanan

Tajimu tertata rapi di gelanggang ramai. 
Sebab kau mengarungi pertarungan dalam 
tempo sedang-sedang. Maka sepasang sayapmu 

pun seimbang. Agar gentar amatan sang lawan 
kala kau merentang lebar-lebar. Gerak-gerik 
para penantang tentu mahir kau langkahi. Tidak 

perlu pula hikayat ini diujar berlebihan sebab 
mudah dan remeh saja seteru kau sudahi di palagan. 
Sebab riwayat panjangmu tak mengenal arti kalah 

dan tepar. Tak pantas pula namamu diseru asal-asalan. 
Tapi tidak bila kau temui perut yang lapar. Dengan 
belati terasah di tangan kau bukanlah tandingan 

bagi juragan yang sudah menyiapkan segala 
racikan bumbu rahasia di belakang. Hari raya 
yang tinggal menunggu hitungan sudah siap 

menetak hikayat kemenangan. Karena meja makan 
juga butuh cerita lain, pun kenikmatan-kenikmatan 
yang akan dihidangkan pada handai taulan yang datang bertandang. 

2021 


Khianat Motor 

Tanggal saja kau di jalan ini. 
Gerakmu gemar bermuslihat jahat, 
kuamsal kau kuda tak berdaging, 
keledai yang hilang daya jalan, 
odong-odong paling menyedihkan 
di segala semesta. 

Kau tak laik lagi menghantar 
badan tiba di tujuan. 
Sadelmu gemar menghempas 
pantat ke jalan rumpang makadam. 
Ban-banmu selalu serong, 
miring-miring ke samping 
ke gang tak terpapar peta. 

Buta arah pandanganmu. 

Kau tak kenal lagi itikad 
zig-zag kiri kanan. 
Pun kawan di jalanan 
berfatwa kau tak paham 
rambu jalan. 

Kusigi busimu yang penyakitan. 
Rantai aus yang serampangan 
lepas dari orbitnya. 

Apa kau hafal aroma oli baru? 
Kawatmu kukasihani sebab 
tuna peraluran. 
Lampu-lampumu melulu romansa 
lampau yang berlabur malam. 

Tekad meluap, 
hasrat tak terdaras, 
serapah sepanjang kuburan, 
dengan makian adab hewan, 

kukutuk engkau kini sebagai 
penghuni jalan sepi.

2021 


Mengocok Kartu 

Inilah kebajikan mengangkat martabat kaum pinggiran. 
Mengacak keberuntungan pun kemalangan adalah 
sisa-sisa ketangguhan yang tak sembarangan kami papar. 
Tak ada seteru atau sekutu di gelanggang ini sebab 

semua mahir menyaru juga bertukar kebiasaan. Yang pasti, 
sabar benar kami tunggu peluang menyambar. Sungguh awas 
mata menafsir pola yang lalu dan yang akan digelar di depan. 
Sebab, mereka yang lengah dalam sekejapan, pasti ditinggal 

segala nasib baik. Demi para dewa-dewi peruntungan yang 
bersemayam di dalam lubuk hati, kami berusaha hafal kapan 
segala penjuru mata angin bersekutu dengan formasi kartu 
yang terapal di tangan. Sejak as pertama dihunjamkan, telah kuat 

kami terka angka-angka yang bertandang. Tak bakal kaki mereka 
beranjak sebab sihir kombinasi empat wujud dua pembeda 
cergas menari menawan tatap mata yang alpa. Hingga malam 
penahbisan datang menguras semua yang menubuh dalam diri.

2021 

 

Hikayat Jengkol 

Kamu dihentak si pemikat setelah sepasang itu 
diduniakan. Sebab kamu memang bukan bangsa sopan 

yang berkerabat ular. Wujudmu tak memikat. 
Baumu maha menyengat laksana kaum lusuh 

yang mahir memikat si lalat kian dekat. Duh, kitab syair 
mana lagi yang sudi merawi parasmu nan penguk. 

Pustaka khasiat pun abai menafsir anyirmu. Belas kasih 
untukmu hanyalah milik mereka yang kasar berangasan. 

Mereka umpama sufi yang bernyali menjadikan kamu 
sekutu sekaligus bara pemantik tubuh. Tapi dari 

satu hati itu, kamu disentak dahulu. Menderitalah ke 
dunia lalu. Jauhlah kamu dari kembaranmu yang 

menanggung dosa merah itu. Bahkan batu beku menampik 
menerimamu sebagai pinang tak berbelah. Pisau pun enggan 

menambatkan kilaunya pada lekukmu yang tak indah. 
Dan ketajamannya tentu tak ingin terbaca sebagai yang 

menanggung bau belaka. Basmalah, terucap sudah dari 
bibir mereka, kaum berani yang menyantap lagi 

mengagungkanmu selaku yang tak bisa dijajar bersama 
kari, gulai, hingga semua yang mati setelah lebaran haji kelar. 

2021 

 

Baca juga: Sajak-sajak Sihar Simatupang
Baca juga: Sajak-sajak Inggit Putria Marga
Baca juga: Tak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari

 

 

 

 


Dody Kristianto, penyair, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 April 1986. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit, yaitu Lagu Kelam Rembulan (2012) dan Petarung Kidal (2013). Kini, tinggal dan bekerja di Serang, Banten. Ilustasi: Moch Samba. (SK-1) 


 
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah
Berita Lainnya