Ilustrasi: Pata Areadi
Juli Nyeri
Hari telah terang, tapi kesedihan belum menguap
ia, kesedihan itu, masih air cucuran atap
jatuh tak ke pelimbahan, tapi ke pohon jarak
berdaun tak berbuah, bermulut tak bersenyum
Aloevera di Halaman
Tubuhnya memang tak menjulang
tak bercabang apalagi beranting
sisi kanan kiri daunnya adalah rumah
bagi ratusan duri. Tak seekor pun burung
sebetah di dahan nangka bila hinggap di sana
saat berbunga, kuntum-kuntumnya mekar
tapi aroma yang tertebar hanya hambar.
Namun, hal-hal itu yang membuatku
mencintainya sebagai teman sekaligus guru;
Sebagai teman, sebab tak menjulang,
tak bercabang, dan beranting
ia tak mudah ditumbangkan angin, dirontokkan hujan.
ia dapat terus bersamaku
meski hujan bersalin diri jadi kemarau
meski sapaan tetangga berganti jadi cibiran parau
Sebagai guru, lewat ratusan duri
penghuni daun di sisi kanan dan kiri
ia ajari aku cara lindungi diri
dari paruh dan cakar burung yang akan melukai,
dari segala yang mungkin menyakiti.
Melalui bunganya bermekar hambar
aloevera berbisik padaku:
tak selalu harus wangi untuk dapat disebut bunga
tak selalu harus lengkap untuk membuat hidup terus mendekap.
Membersihkan Rumah
Pada pagi berpetir di November hari terakhir,
di sudut beranda, ia kumpulkan semua yang ia anggap
tak lagi berguna dalam rumahnya: ember berlumut,
kursi hilang satu kaki, sapu tanpa rambut,
seprai bolong bundar purnama, kipas angin penuh debu,
sebilah pena tiap malam tersendat mencatat
pertumbuhan hutangnya. usai semua terkumpul,
Ia lalu lepas baju, pertemukan mereka
dengan yang ia anggap tak berguna dalam tubuhnya:
rindu yang ‘nyebar di dada, sepi yang ‘ngalir
sepanjang nadi, hampa yang ‘mbatu di paru.
Ia amati mereka satu demi satu,
menimbang mana yang lebih pantas untuk dibuang:
kursi hilang satu kaki atau sepi ‘ngalir
sepanjang nadi? Mana yang lebih tak berguna:
hampa ‘mbatu di paru atau atau kipas angin
penuh debu?
Dari bawah meja di tengah beranda,
sebelum rebah, meringkuk, lalu mengeluarkan cairan
hitam dari mulutnya, seekor kucing menatap orang
yang sedang dikepung pilihan-pilihan itu
pagi masih berpetir.
Rel di Depan Rumah Kami
Selain tempat kereta menggilaskan roda
rel di depan rumah kami telah menjadi:
I
Periuk nasi bagi para kuli pengganti bantalan rel
yang punggungnya serupa wajan
di lekuk wajan itu, matahari menggoreng harapan
dan kenangan mereka sampai hangus, sampai warna kulit punggung pupus.
II
Titian bagi kucing warna ketam
terseok memasuki pergantian hari
setelah gagang sapu, batu, patahan kayu,
sepatu mencegahnya jadi pencuri.
III
Alat musik bagi lelaki tua
tinggal bersama dua anak anjing dalam rumah kardus.
Tiap sore, ia hibur kami dengan mengetukkan batu ke batang besi
nada ketukan itu mengingatkanku pada lagu pengantar tidur
yang kerap dinyanyikan ibu. Pada satu sore
kereta datang lebih cepat, lelaki tua tak sempat lari.
Sejak saat itu, tak ada yang menabuh rel lagi.
IV
Taman bermain bagi aku dan adikku
pernah, sambil mengacungkan gelas plastik bertangkai kayu
kami mengejar capung-capung yang terbang di situ
adikku terbahak sewaktu peristiwa itu kukisahkan kembali
saat aku mengunjunginya dalam penjara,
pada suatu siang penuh hujan tapi kosong harapan
Di depan rumah kami, selain tempat kereta gilaskan roda
rel pernah jadi apa saja, jadi bantal bagi sebongkah kepala
yang telah sukar dimasuki mimpi sedih atau mimpi bahagia pun pernah.
Sepasang Kekasih
Disiram cahaya lampu jalan, pada sebuah bangku kayu
lelaki dan perempuan duduk bersisian. Mereka bergantian membuka
mulut, mengeluarkan yang selama ini mereka tabung dalam diri:
koin caci maki.
Keduanya memerolehnya dari tangan peristiwa buruk
yang mereka ciptakan setiap hari, sejak hari pertama
berjanji saling mencintai.
Setelah seluruh koin caci maki dikeluarkan,
cahaya lampu jalan membantu, mereka menghitung
tabungan siapakah yang lebih menggunung.
Jika jumlahnya imbang,
sepasang kekasih itu akan saling meninggalkan
bila tidak imbang, hubungan tetap dilanjutkan
agar mereka dapat kembali menabung koin caci maki
yang diulurkan tangan peristiwa buruk
yang keduanya ciptakan tiap hari.
Kesepakatan itu mereka buat
setelah “sepasang kekasih” dan sebelum “disiram” diketik.
#Dirumahaja
Diam dalam tanah selama 90 hari, biji jagung akan jadi pohon jagung
ulat dan belalang dapat memakannya. Manusia bisa merebus bonggol buahnya.
Diam dalam kandang selama 90 hari, ayam akan mulai belajar bertelur
ular dapat menelannya. Manusia dapat merebusnya.
Diam dalam kolam selama 90 hari, bibit lele akan jadi lele besar
minyak akan menggaringkan tubuhnya, manusia akan mengawinkannya dengan sambal.
Si aku berbeda. Si aku tak seperti mereka.
Diam di rumah selama 90 hari, si aku menjadi apa-apa: lokomotif, kapal uap, beruk
sapu tanpa gagang, cawan retak, bubuk kayu manis, cairan disinfektan, daun mawar,
biskuit kelapa seprai bolong, coretan mirip puisi, grup whatsapp, token listrik,
nomor pin atm.
Sayang, setelah lewat 90 hari, si aku lupa cara kembali jadi diri sendiri.
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Inggit Putria Marga, penyair, lahir di Tanjungkarang, Lampung, pada 25 Agustus 1981. Menamatkan pendidikan S1 Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (2005). Dua buku puisinya yaitu, yaitu Penyeret Babi (2010) dan Empedu Tanah (2019) berhasil meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2020 dan diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan termuat dalam Jentayu edition: Hors-serie numero 3. Sedangkan puisi-puisinya dialihbahasakan ke dalam bahasa inggris dan termuat di Stand Magazine volume 12 (Inggris Raya). Ia pernah mengikuti sejumlah festival sastra, antara lain International Literary Biennale 2005 dan 2009 di Jakarta, Ubud Writers and Readers Festival di Bali, 2009, Cakrawala Sastra Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta, 2005, dan Festival Puisi Antara Bangsa di Pangkor, Malaysia. Puisi-puisi di Sajak Kofe menjadi bagian dalam menyambut Festival Bahasa dan Sastra Media Indonesia 2021. Kini, dia berdomisili dan berkegiatan di Bandar Lampung. (SK-1)