Ilustrasi: MI/Gugun Permana
Balohan
Kepergianku mungkin angin lalu
Angin yang berasal entah dari mana
Mengalir entah ke mana. Kepergianku
Sekedar goresan pada lapisan udara
Aku mengikuti saja ke mana perahu
Harus melaju. Menghayati setiap detik
Yang berdetak di kedalaman waktu
Menghitung napas satu demi satu
Kepergianku mungkin resonansi
Dari kerinduan yang pecah di utara
Memantul ke selatan. Kepergianku
Hanya gema yang terbawa angin lalu
Ulee Lheue
Di dermaga yang tiangnya selalu bergetar
Aku melihat seekor burung terbang sendiri
Dari sebuah pohon besar. Langit diam dan bisu
Sedang ufuk semakin kabur dalam tatapanku
Di atas perahu yang membelah keheningan
Suara air terdengar seperti napas seorang ibu
Yang menyusui anaknya. Senja penuh awan
Mengingatkanku pada makna kehilangan
Sebuah pulau mungkin tengah menunggu
Tapi entah siapa yang ditunggu. Seekor burung
Seperti juga ikan tak pernah mempersoalkan
Ke mana akan menuju. Ke mana harus kembali
Di atas perahu yang menembus keremangan
Aku dihantui pertanyaan lama. Semakin tak tahu
Bagaimana menghayati sunyi seperti halnya burung
Menghayati udara. Atau ikan menyelami segara
Lampuuk
Jejak waktu bagai bongkahan batu gamping
Yang tertimbun pasir. Aku membayangkannya
Ketika ombak bergerak lamban mendekati ufuk
Lalu cahaya mengaburkan garis laut dan langit
Suara azan magrib sayup terdengar dari utara
Yang mengirimkan derau halus ke arah selatan
Sendiri aku berjalan menyusuri lengkung pantai
Menghayati buih-buih ombak yang berkejaran
Sendiri aku mengumpulkan lokan dan teripang
Menyerap sisa warna yang dipantulkan rembang
Dari langit. Ketika matahari menenggelamkan diri
Tubuhku melayang dalam pusaran angin sakal
Iboih
Dari ketinggian bukit aku memandangmu
Seperti kembali merasakan kepedihan di dada
Cinta yang terbuang selalu membutuhkan pantai
Untuk bersandar. Jejak telah demikian panjang
Sebagai penanda bagi kehilangan demi kehilangan
Ketika teluk dan tanjung terpisah oleh sengketa
Aku memandang biduk-biduk yang terlunta
Serpihan-serpihan awan mengambang di udara
Abad-abad terus berganti tanpa akanan yang pasti
Lalu meredup bersama senja. Cinta mungkin kutukan
Bencana demi bencana telah mengekalkannya
Dan gelombang adalah persembunyianmu yang abadi
Rubiah
Di suatu pagi angin bertutur padaku
Tentang burung-burung migran yang lupa
Akan jalan pulang. Tentang para pengungsi
Yang terusir oleh gempa dan gelombang besar
Tentang puing-puing yang menyisakan cerita
Juga anak-anak yang hanyut terseret arus
Di suatu siang angin bertutur padaku
Tentang gunung-gunung yang habis dikeruk
Segala kandungannya. Tentang lubang-lubang gelap
Tentang hutan belantara yang tinggal dongengan
Keserakahan telah merampas semuanya tanpa sisa
Juga makam leluhur yang entah menjelma apa
Di suatu senja angin bertutur padaku
Tentang seorang nelayan yang pergi melaut
Dan menyongsong maut. Tentang hikayat-hikayat
Yang dicatat sepanjang pelayarannya melintasi batas
Tentang nubuat-nubuat yang membuatnya tersedu
Juga cinta lama yang mendatangkan bencana
Acep Zamzam Noor, penyair dan pelukis, dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Pada 2001, kumpulan puisinya Di Luar Kata, meraih Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Pada 2005, ia memperoleh The SEA Write Awards dari Kerajaan Thailand sebagai wakil pengarang Indonesia dengan kumpulan sajaknya Jalan Menuju Rumahmu. Kini, dia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. (SK-1)