Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

UU Tipikor Digugat, Pakar Hukum: Media Sosial Bisa Digunakan untuk Hambat Penegakan Hukum

Devi Harahap
28/8/2025 16:58
UU Tipikor Digugat, Pakar Hukum: Media Sosial Bisa Digunakan untuk Hambat Penegakan Hukum
Ilustrasi: Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta.(Antara)

PAKAR hukum dari Universitas Borobudur sekaligus Direktur Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi, mengungkapkan bahwa kemajuan teknologi serta kompleksitas sistem sosial dan politik membuka berbagai cara baru untuk menghambat penegakan hukum tindak pidana korupsi. Salah satu caranya adalah melalui media sosial.

Menurut Redi, media sosial dan platform digital kini kerap digunakan untuk menyebarkan informasi yang bisa membentuk opini publik, bahkan memengaruhi proses peradilan. Selain itu, teknologi enkripsi juga bisa dipakai untuk menyembunyikan bukti terkait korupsi.

Hal itu disampaikan Redi sebagai Ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah dalam sidang pemeriksaan lanjutan pengujian Pasal 21 dan Penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001, dalam Perkara Nomor 71/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Menurut Resi, tanpa frasa "tidak langsung" dalam pasal tersebut, akan sulit untuk menjangkau perbuatan-perbuatan semacam ini, meskipun perbuatan tersebut jelas-jelas bertujuan atau berdampak pada terhambatnya proses penegakan hukum dalam perkara korupsi.

“Kita pernah mendengar tagar, izin Yang Mulia, pernah mendengar tagar Indonesia Gelap, ternyata ketika dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan ini bagian dari upaya menghalang-halangi, merintangi, dan menggagalkan tindak pidana korupsi atas berbagai perkara misal kasus timah dan lain-lain,” ujar Redi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Kamis (28/8).

Selain itu, Redi mengatakan hal tersebut pernah terungkap dalam proses penyelidikan dan penyidikan hingga ada yang ditetapkan tersangka dalam kasus tagar Indonesia Gelap, untuk melakukan provokasi di media sosial, menyerang pribadi jaksa, serta pejabat-pejabat di Kejaksaan Agung sebagai tindakan menghalang-halangi dan pelemahan penindakan tindak pidana korupsi.

“Jadi, informasi yang mempengaruhi opini publik, Indonesia Gelap itu terpengaruh publik, informasi mengenai Jampidsus abcde, yang kemudian diviralkan, digoreng terus melalui media-media sosial,” tutur Redi.

Dia melanjutkan, mereka yang menghambat upaya penegakan hukum pidana korupsi tersebut tidak bisa ditindak jika frasa “tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor ditiadakan sebagaimana kehendak Pemohon. Menurutnya, frasa "tidak langsung" memiliki efek pencegahan (deterrence) terhadap upaya-upaya untuk menghambat proses penegakan hukum dalam perkara korupsi.

Dengan adanya ancaman pidana yang tegas terhadap perbuatan yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum dalam perkara korupsi, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, diharapkan dapat mencegah pihak-pihak yang berniat untuk menghambat proses penegakan hukum. 

Di sisi lain, berdasarkan analisis dampak, frasa “tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor memiliki dampak yang positif dan signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Penghapusan frasa tersebut berpotensi mengurangi efektivitas pemberantasan korupsi dan menciptakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menghambat proses penegakan hukum dalam perkara korupsi,” ucap Redi.

Selain itu, Redi mengatakan frasa “tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor, meskipun memiliki cakupan yang luas, memiliki makna yang cukup jelas dalam konteks hukum. 

“Secara gramatikal, ‘tidak langsung’ berarti melalui perantara atau tidak secara langsung. Dalam konteks Pasal 21 UU Tipikor, ini berarti perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum yang dilakukan melalui cara-cara yang tidak langsung atau melalui perantara,” ungkapnya. 

Sementara itu, pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji mengatakan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara komprehensif, efektif, dan tuntas, karena korupsi tidak berdiri sendiri, melainkan sering melibatkan tindak pidana lain sebagai pendukung, pelengkap, atau cara menyamarkan hasil korupsi. 

“Sehingga pemberantasan korupsi bukan hanya menindak pelaku tindak pidana korupsinya saja melainkan juga menyasar pelaku tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi seperti upaya merintangi penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun persidangan tindak pidana korupsi,” jelasnya.

Sebelumnya, para pemohon menilai frasa “atau tidak langsung” pada rumusan Pasal 21 UU Tipikor beserta penjelasannya yang diuji tersebut, berpotensi menjerat setiap warga negara yang menyuarakan opini publik atau melakukan kontrol sosial melalui media massa, seminas, diskusi kampus, demonstrasi, konferensi pers, dan lain-lain.

Jika suara publik dianggap oleh penyidik dengan berdasarkan penilaian subjektif penyidik ‘menghalangi penyidikan, penuntutan, dan persidangan’ karena secara tidak langsung mempengaruhi proses hukum pada aparat penegak hukum, maka akan ada ancaman terhadap kebebasan dan rasa aman dalam berekspresi. 

Padahal konstitusi menegaskan kebebasan menyampaikan pendapat dan rasa aman dalam berekspresi merupakan elemen penting dalam negara demokrasi. (P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya