Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
MANTAN Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar telah diseret ke Pengadilan Tipikor Jakarta sebagai terdakwa dalam perkara vonis bebas Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabya. Selain perkara Ronald, Zarof didakwa menerima gratifikasi atas perkara lainnya di pengadilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali yang berlangsung sejak 2006.
Pada 2006-2014, Zarof tercatat menjabat sebagai Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal badan Peradilan Umum MA. Berikutnya, ia menduduki jabatan Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA pada 2014-2017. Adapun posisi terakhirnya di MA sebagai Kepala Badiklat Hukum dan Peradilan berakhir pada 2022.
Selama berkarier di periode tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) menjelaskan bahwa Zarof telah menerima uang tunai dalam bentuk mata uang rupiah dan asing dengan total mencapai Rp915 miliar dan emas logam mulia seberat 51 kg. Total uang dan emas itu diduga diterimanya selama bertugas sejak 2012.
Kendati demikian, surat dakwaan Zarof yang disusun jaksa penuntut umum dinilai masih lemah untuk membongkar jaringan mafia peradilan di lingkungan pengadilan. Pasalnya, jaksa tak menyertakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Zarof. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman pun mempertanyakan kesungguhan kejaksaan.
"Saya juga ikut ragu nih terhadap kesungguhan dari kejaksaan kalau tidak menggunakan pasal TPPU. Kemungkinan kalau hanya seperti ini, saya tidak bisa berharap banyak. Saya lihat ini akan berhenti di level bawah, juga tidak akan bisa mengungkap pelaku-pelaku lain," ujarnya kepada Media Indonesia, Selasa (11/2).
Untuk diketahui, Zarof didakwa dengan Pasal 12B jo Pasal 18 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a jo Pasal 15 jo Pasal 18 atau Pasal 15 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tikpikor) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Zaenur mengingatkan, prinsip UU TPPU adalah follow the money alias mengikuti aliran uang. Tanpa dakwaan TPPU, sulit baginya untuk JPU membuktikan asal-usul uang serta emas yang didapat oleh Zarof. Selain itu, UU TPPU diyakini lebih ampuh digunakan untuk efektifitas pemulihan aset.
Dengan modal UU Tipikor, jaksa mesti kerja ekstra membuktikan siapa pihak pemberi ke Zarof, untuk tujuan apa pemberian dilakukan, dan apakah tujuan tersebut melawan hukum atau tidak. Padahal, JPU tak perlu membuktikan predicate crime atau tindak pidana asal jika menggunakan TPPU.
"Kalau pakai TPPU, itu kan prinsipnya follow the money dan asalkan itu ada diketahui predicat crime-nya, yang predicat crime-nya tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu. Jadi UU TPPU itu punya kelebihan dibandingkan dengan UU Tipikor," terang Zaenur.
"Sehingga dari dakwaan Zarof Ricar kita tidak melihat kesungguhan kejaksan untuk membongkar mafia peradilan," pungkasnya. (Tri)
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) menyebut bahwa eks pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA) bernama Zarof Ricar (ZR) yang diduga menjadi perantara atau 'makelar' kasasi kasus Ronald Tannur
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut total gratifikasi yang diterima Zarof Ricar (ZR) untuk mengurus perkara di Mahkamah Agung (MA) mencapai Rp920 Miliar.
Zarof Ricar melaporkan harta sebesar Rp43,3 miliar pada 2018, membengkak menjadi Rp50,8 miliar pada 2019, menjadi Rp51,1 miliar pada 2020, dan Rp51,4 miliar pada 2021.
Penggeledahan barang bukti yang ditemukan Kejaksaan Agung mencapai lebih dari Rp1 triliun mengindikasikan bahwa sebagian besar hakim di Indonesia kemungkinan pernah terlibat
Peristiwa ini diharapkan menjadi momentum untuk bersih-bersih MA dari hakim nakal.
GREGORIUS Ronald Tannur terpidana dalam kasus penganiayaan hingga meninggal dunia pada Dini Sera Afrianti kembali ditangkap di Surabaya
Polisi akan menjerat Maria Pauline Lumowa tersangka kasus pembobolan BNI senilai Rp1,7 triliun dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan JPU, setidaknya terjadi 12 transaksi penempatan uang dari perusahaan yang dikendalikan oleh Maria ke PT Aditya Putra Pratama.
SKANDAL Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan penggelapan dengan terdakwa Fikri Salim divonis selama 14 tahun 6 bulan penjara atau setara 174 bulan dan denda Rp5 miliar subsider 6 bulan.
Beberapa aset yang disita ialah 14 sertifikat tanah yang ada di Sumatra dengan nilai sekitar Rp6,9 miliar.
"Kita kembangkan terkait dengan TPPU dan money laundring. Jadi, meskipun sudah P21 tetapi masih ada proses lagi yaitu terkait TPPU-nya,"
Kasus penyelundupan narkoba jenis sabu terungkap pada awal Maret 2021.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved