Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Mantan Komisioner KPK: Wacana Pengampunan Koruptor Jangan Ditunggangi Kelompok Elite

Devi Harahap
28/12/2024 16:04
Mantan Komisioner KPK: Wacana Pengampunan Koruptor Jangan Ditunggangi Kelompok Elite
ilustrasi(MI/Duta)

MANTAN Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007, Erry Riyana Hardjapamekas menanggapi wacana Presiden Prabowo Subianto yang ingin memaafkan koruptor apabila mengembalikan uang kerugian negara. Hal itu dinilai berbahaya dan menjadi kemunduran pemberantasan korupsi jika tak dikaji secara matang. 

Erry menjelaskan bahwa wacana itu jika dilihat pada perspektif anggaran, memang terkesan lebih efisien lantaran uang ganti rugi dan pengembalian uang tersebut dapat meningkatkan pendapatan negara. Namun, ia meminta pemerintah untuk mengkaji regulasi agar wacana itu tidak ditunggangi dan dimanfaatkan elite politik.

“Pada akhirnya bisa saja memang efektif dan membantu keuangan negara daripada kita memenjarakan mereka (koruptor) dan membiayai Lembaga Pemasyarakatan yang juga tinggi biayanya. Itu pertimbangannya, tapi kan tidak semudah itu untuk diterapkan,” katanya dalam konferensi pers Gerakan Nurani Rakyat secara daring pada Sabtu (28/12).

Erry menuturkan bahwa wacana tersebut harus dikaji dan ditimbang secara komprehensif terkait dampak negatif dan positifnya. Dikatakan bahwa jika pemerintah akan menerapkan regulasi itu, ada sejumlah hal yang harus diatur secara rigid termasuk meninjau Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

“Undang-undangnya harus diubah, mekanisme perhitungan ganti ruginya seperti apa dan siapa yang bertanggung jawab itu menurut hemat saya masih panjang jalannya,” katanya. 

Lebih lanjut, Erry menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia secara jelas tidak mengenal amnesti bagi koruptor atau pelaku kejahatan ekonomi. Hal ini berbeda dengan sistem yang berlaku di Amerika Serikat (AS). 

“Walaupun sebagai ide, hal seperti di Amerika itu sudah berlaku. Jadi perusahaan dan pengadilan berembuk, di mana perusahaan sebagai terdakwa yang dihukum itu harus mengganti atau menyetorkan uang kepada negara,” jelasnya. 

Dikatakan bahwa AS bisa menerapkan hal tersebut karena sistem hukum sudah mapan sehingga dapat memberi efek jera. Berbeda dengan sistem hukum di Indonesia yang masih jauh dari rasa keadilan sehingga mustahil untuk menerapkan kebijakan pemaafan koruptor. 

“Menurut hemat saya, jika kita mau mengimplementasikan hal ini masih panjang jalannya untuk di Indonesia karena hukumnya harus dibentuk terlebih dahulu,” katanya. 

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra), Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengatakan bahwa wacana pengampunan koruptor tersebut harus memiliki mekanisme yang jelas agar jangan menjadi jalan instan yang justru merusak penegakan hukum korupsi. 

“Harus dibuat mekanismenya secara jelas sehingga efek jera bagi (koruptor) itu tetap ada. Jadi tidak kemudian ini jadi chicken exit, itu yang harus dijaga,” tandasnya. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya