Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
DEMOKRASI sejatinya adalah sistem yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan arah dan kebijakan pemerintahan. Salah satu manifestasi dari demokrasi adalah melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang seharusnya menawarkan pilihan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang paling sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Pakar Komunikasi Politik Antonius Benny Susetyo menilai fenomena calon tunggal dalam Pilkada belakangan ini menjadi sorotan lantaran mengancam esensi dari demokrasi itu sendiri. Menurutnya lagi, implikasi dari fenomena ini tidak hanya memengaruhi kualitas demokrasi, tetapi juga kemampuan pemerintah dalam merespons masalah-masalah lokal secara efektif.
"Fenomena calon tunggal dalam Pilkada adalah sinyal berbahaya dari matinya demokrasi. Ketika hanya ada satu calon yang tersedia, proses pemilihan menjadi sekadar formalitas, menghilangkan kebebasan memilih yang merupakan hak dasar setiap warga negara," kata Antonius dikutip di Jakarta, Kamis (8/8).
Baca juga : JPPR: Calon Tunggal Pilkada Sengaja Dikondisikan
"Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, di mana seharusnya ada ruang bagi berbagai ide, visi, dan solusi untuk bersaing secara sehat demi kebaikan bersama. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menawarkan alternatif pemimpin yang memiliki karakter dan kemampuan untuk berpihak kepada kepentingan publik," sambungnya.
Ketika hanya ada satu calon, pemimpin yang terpilih sering kali hanyalah karbitan, yang tidak memiliki akar pada hak-hak dan persoalan yang dihadapi masyarakat. Kondisi ini sangat berbahaya jika dipaksakan, karena pemerintahan yang dihasilkan tidak akan efektif dalam merespons persoalan-persoalan publik.
"Pemimpin yang dipilih tanpa adanya kompetisi yang sehat cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang memiliki visi yang jelas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, mereka lebih cenderung mengutamakan kepentingan kelompok atau individu tertentu yang mendukung pencalonan mereka," sambungnya.
Baca juga : PKS-PKB-NasDem berpotensi jadi partai "plus" KIM di Jakarta
Lebih dalam lagi, calon tunggal mencerminkan adanya masalah struktural yang mendalam dalam sistem politik kita. "Ini bisa jadi merupakan hasil dari dominasi kekuasaan oleh segelintir elit politik yang berupaya mempertahankan kekuasaan mereka dengan segala cara, termasuk dengan menghalangi munculnya calon-calon alternatif. Jika dibiarkan, hal ini bisa menyebabkan erosi lebih lanjut terhadap kepercayaan publik pada proses demokratis dan pada akhirnya membawa kematian bagi demokrasi itu sendiri," katanya.
Esensi dari demokrasi, menurutnya lagi, adalah partisipasi aktif dan pilihan yang bebas. Ketika demokrasi kehilangan esensinya, sistem ini tidak lagi mampu memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam menentukan calon pemimpin.
Masih dipaparkannya, partai politik yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi masyarakat justru kehilangan kemandirian dan cenderung hanya mengikuti tren populer. Fenomena calon tunggal menjadi bukti nyata hilangnya martabat demokrasi, karena pencalonan tersebut sering kali dilakukan dengan membeli dukungan partai-partai politik, bukan berdasarkan meritokrasi atau kemampuan calon tersebut.
Baca juga : Pelantikan Serentak Pilkada 2024 Harusnya Tunggu Sengketa di MK
"Ketika kekuatan kapital dan kekuasaan overdosis, pilihan demokratis menjadi sulit kembali. Masyarakat hanya disodori satu calon tanpa alternatif pemimpin, menciptakan kebuntuan politik yang merugikan. Kartel politik yang terlalu dominan mengakibatkan partai politik tidak mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang memiliki karakter dan kemampuan untuk memimpin rakyatnya," imbuhnya.
Hal ini, diutarakannya, menyebabkan politik menjadi pragmatis, yang pada gilirannya mengakibatkan ekosistem demokrasi mengalami persoalan yang sangat berat.
Demokrasi mengharapkan partisipasi publik dan kemampuan para pemilih untuk menentukan pemimpin mereka.
"Sistem ini juga mengharapkan adanya berbagai pilihan pemimpin, bukan hanya satu orang. Dalam konteks ini, kita bisa merujuk pada pandangan Socrates yang dijabarkan dalam karya Plato. Socrates berpendapat bahwa seorang penguasa haruslah dipilih berdasarkan keahlian, kebajikan, pengetahuan, dan pemahaman mendalam tentang tugas-tugas pemerintahan," ujarnya.
Baca juga : Kepala Desa Diinstruksikan Jaga Keamanan selama Masa Pilkada 2024
Pandangan Socrates ini, dijelaskannya, relevan dengan kondisi demokrasi kita saat ini. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya dipilih karena popularitasnya, tetapi juga karena karakter dan rekam jejak yang baik.
"Pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki tanggung jawab moral dan mampu menjalankan kebaikan sebagai landasan dalam mengatur wilayah atau daerah tempat mereka menjabat.
Partai politik memiliki peran krusial dalam sistem demokrasi," sebutnya
"Mereka seharusnya bukan menjadi dealer kekuasaan, tetapi penyalur aspirasi rakyat. Sayangnya, dalam banyak kasus, partai politik lebih memilih untuk mengakomodasi nafsu melanggengkan kekuasaan daripada mencari dan mendukung calon pemimpin yang mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat," tambahnya.
Ketika partai politik kehilangan kemandirian dan hanya mengikuti tren populer, mereka gagal menjalankan tugas utama mereka. Mereka tidak lagi mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas dan memiliki karakter yang berpihak kepada kepentingan publik. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam pilihan-pilihan yang terbatas dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa kebaikan.
"Alternatif pemimpin adalah hal yang esensial dalam demokrasi. Dengan adanya beberapa pilihan, masyarakat dapat menentukan pemimpin berdasarkan kualitas dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan problem-problem masyarakat. Ketika hanya ada satu calon, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih," urainya.
"Mereka hanya dihadapkan pada satu pilihan tanpa alternatif, yang berbahaya bagi kesehatan demokrasi.
Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang bagi munculnya berbagai alternatif pemimpin. Partai politik harus mampu menghadirkan calon-calon yang memiliki karakter dan kemampuan untuk memimpin rakyat," tambahnya.
Dikatakannya juga, mereka harus bekerja sama dengan masyarakat untuk menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat dan memastikan bahwa proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil.
"Untuk mengembalikan esensi demokrasi, kita harus memastikan bahwa sistem Pilkada memberikan ruang bagi munculnya berbagai alternatif pemimpin," katanya.
Partai politik harus memiliki kemandirian dan tidak terjebak dalam kepentingan kapital dan kekuasaan. Mereka harus mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas dan memiliki karakter yang berpihak kepada kepentingan publik.
"Pemerintah dan masyarakat juga harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat. Pemerintah harus memastikan bahwa proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil, tanpa intervensi dari kelompok kepentingan tertentu," sebutnya.
Masyarakat, disampaikannya, harus aktif terlibat dalam proses politik dan tidak hanya menjadi penonton. Mereka harus kritis dan memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan kemampuan, bukan hanya berdasarkan popularitas.
"Fenomena calon tunggal dalam Pilkada merupakan ancaman serius terhadap kualitas demokrasi kita. Demokrasi yang sehat membutuhkan alternatif pemimpin yang berkualitas, dan ketika hanya ada satu calon, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar berpihak kepada kepentingan publik," tambahnya. (Z-8)
pemilu nasional dan lokal dipisah, , siapa yang bakal memimpin daerah setelah masa jabatan kepala daerah Pilkada 2024 berakhir?
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilihan umum (pemilu) di Indonesia harus diselenggarakan secara terpisah antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
Keputusan MK terkait PHPU kepala daerah pasca-PSU semestinya bisa memberikan kepastian hukum dan terwujudnya ketertiban di daerah.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengusulkan agar ke depannya anggaran penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
DIREKTUR DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati menilai Bawaslu tidak serius dalam menangani proses penanganan politik uang saat PSU Pilkada Barito Utara
Kejadian di Barito Utara menunjukkan adanya permasalahan mendasar terkait pencegahan dan penegakan hukum atas pelanggaran politik uang saat pilkada.
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menerima pengajuan gugatan hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 setelah rampung menyidangkan dua gelombang gugatan hasil PSU
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kota Banjarbaru
KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengumpulkan kader partainya yang terpilih sebagai kepala daerah pada kontestasi Pilkada 2024
DAFTAR Pemilih Sementara (DPS) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Ulang di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, bertambah 4.965 orang.
DUA daerah di Provinsi Bangka Belitung (Babel) akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Ulang pada 27 Agustus 2025 mendatang.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) ulang Pilkada 2024 di Kabupaten Barito Utara
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved