Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
SIDANG Pengadilan Pajak antara PT Jesi Jason Surja Wibowo (penggugat) melawan Direktur Jenderal Pajak (tergugat) di sidang keempat, Senin, dengan aganda penyampaian keberatan dari penggugat.
Sidang yang dipimpin Majelis Hakim VIII A, Hakim Ketua Erry Sapari Dipawinangun SH, MH, serta hakim anggota Nany Wartiningsih SH, MSi, dan Benny Fernando Tampubolon SE, MM, MAk, MHum, CA. Sementara dari tergugat dikuasakan kepada Dody Doharman dan Tumijan Kriswanto.
Kuasa hukum penggugat dari Rey & Co Jakarta Attorneys At Law, Alessandro Rey, SH, MH, MKn, BSC, MBA menyampaikan beberapa poin keberatan kepada Majelis Hakim. Diantaranya tergugat (Tim Sidang) tidak berwenang mewakili DJP untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Pajak, karena Tergugat hanya menyampaikan 1 (satu) Surat Tugas untuk 24 sengketa pajak. Padahal di persidangan sebelumnya sudah diperingatkan oleh hakim anggota namun tidak diindahkan.
"Sehingga mutatis mutandis sepatutnya Tergugat menyampaikan 24 Surat Tugas untuk 24 sengketa pajak atau dengan kata lain Surat Tugas Tergugat diberlakukan sama dengan Surat Kuasa Khusus Penggugat berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat 5 Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor PER 001/PP/2010 tentang Tata Tertib Persidangan Pengadilan Pajak (PER 001/2010)," tegas Rey dalam keterangan tertulisnya, yang diterima Selasa (5/4).
Selain itu, jelas Rey, Surat Tugas Tergugat juga tidak mencantumkan Nomor Perkara untuk masing-masing 24 Surat Tugas, sehingga melangggar syarat-syarat yang harus tercantum dalam Surat Kuasa Khusus untuk beracara di dalam Pengadilan yang diatur secara teknis pada Bagian E Angka 1 dan 3 Surat Keputusan Ketua Makhamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2007 (KKMA 032/2007)
"Selain hal di atas, tergugat juga tidak mencantumkan Nomor Perkara, Surat Tugas tergugat juga tidak mencantumkan Nomor Surat Panggilan Sidang dan Tanggal Surat Panggilan sidang, sehingga melanggar prosedur penerbitan surat tugas pada halaman 13 Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 65/PJ/2012 tentang Tata Cara Penanganan Sidang Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak (SE 65/2012)," ungkap Rey.
Berdasarkan uraian alasan dan dasar hukum diatas, menurut Rey, Majelis Hakim VIIIA Pengadilan Pajak seharusnya menyatakan Surat Tugas Tergugat tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya menyatakan Tergugat tidak berwenang mewakili Direktur Jenderal Pajak dalam perkara a Quo, namun karena tidak adanya jawaban yang jelas dan tindakan yang tegas dari Majelis Hakim VIIIA maka penggugat meminta supaya Keberatan dicatat di Berita Acara Persidangan supaya ketika Penggugat mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK), Memori PK Penggugat bersesuaian dengan Keberatan Penggugat yang dicatat dalam berita acara persidangan.
“Kemudian Tergugat (Tim Sidang) telah secara melawan hukum menandatangani Penjelasan Tertulis karena kewenangan untuk menandatangani Penjelasan Tertulis merupakan kewenangan pimpinan Tim Sidang selaku pejabat Eselon II dan juga telah menyampaikan Penjelasan Tertulis yang tidak ditandatangani oleh pimpinan Tim Sidang selaku Pejabat Eselon II tersebut di muka persidangan Pengadilan Pajak, maka Tergugat secara melawan hukum telah melanggar amanat angka 5 huruf d Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-65/PJ/2012 Tentang Tata Cara Penanganan Sidang Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak.
"Atas tindakan tersebut maka Tergugat telah melanggar hukum acara di pengadilan pajak karena tidak ada satu pun norma hukum yang mengatur kebebasan Tergugat untuk menandatangi dan menyampaikan Penjelasan Tertulis yang ditandatangani sendiri oleh Tergugat," ujarnya.
Sementara itu, Dody Doharman kuasa hukum tergugat, mengajukan keberatan pertama yakni mengenai Kuasa Penggugat karena tidak memenuhi ketentuan formal sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU No: 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Jo. Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (PMK 229/2014).
"Dimana yang dapat menjadi kuasa mewakili wajib pajak hanyalah seorang konsultan pajak dan karyawan wajib pajak dengan persyaratan menguasai ketentuan peraturan perundang – undangan di bidang perpajakan, memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, telah menyampaikan SPT Tahun Pajak Terakhir, dan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, oleh karena itu Syarat tersebut adalah bersifat kumulatif, maka jika satu dilanggar surat kuasa khusus tersebut tidak berlaku,” ujar Dody Doharman.
Penggugat menjelaskan, pertama, kuasa itu dapat dibagi menjadi dua yaitu: kuasa di dalam pengadilan dan diluar pengadilan. Jika dikaitkan dengan keberatan tergugat dalam persidangan kedua mengenai seorang kuasa Penggugat yang diatur di dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Jo. Pasal 2 ayat (4) PMK 229/2014.
"Soal Surat Kuasa Khusus di luar pengadilan yang menurut Tergugat dibuat tidak sesuai dengan Pasal 32 ayat (3) UU KUP Jo. Pasal 49 ayat (4) PP 74/2011 Jo. Pasal 7 ayat (1) PMK 229/2014 adalah merupakan persyaratan pembuatan surat kuasa khusus bagi konsultan pajak dan karyawan Wajib Pajak dan bukan diperuntukkan untuk yang bukan konsultan pajak dan bukan karyawan di luar Pengadilan Pajak, lagipula tidak ada norma hukum yang mengatur tentang format pembuatan Surat Kuasa Khusus diluar pengadilan karena PMK 63/2017 dan UU HPP tidak secara tegas mengatur mengenai format Surat Kuasa Khusus bagi yang bukan Konsultan Pajak dan bukan Karyawan Wajib Pajak yang mengharuskan untuk mencantumkan NPWP," tegas Rey.
Putusan MK 63/2017 Jo. UU HPP, tambahnya, juga tidak menyatakan secara tegas dengan tidak dicantumkannya NPWP pemberi dan penerima Kuasa maka Surat Kuasa Khusus menjadi tidak dapat diterima atau menghapuskan hak Penerima Kuasa untuk melakukan hak dan kewajiban perpajakan Pemberi Kuasa.
Mengenai format Surat Kuasa Khusus di dalam Pengadilan, menurut Rey, hanya tunduk kepada Bagian E Angka 1 dan 3 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 32 Tahun 2007 (KKMA 32/2007), Pasal 57 PERATUN, Pasal 1792 KUHPer, SEMA Nomor 2 Tahun 1991, dan SEMA Nomor 6 Tahun 1994, yang mana di dalam peraturan tersebut tidak mengatur mengenai keharusan untuk mencantumkan NPWP Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa pada Surat Kuasa Khusus untuk Keperluan beracara di dalam Pengadilan Pajak.
"Adapun contoh Surat Kuasa Khusus Penggugat yang telah penggugat gunakan di Pengadilan Pajak adalah Surat Kuasa Nomor 252/SK-SR/RnC/VIII/2020 dalam perkara mewakili Sri Roosmini pada Majelis IB, Surat Kuasa Nomor 740/SK-AAK/RnC/I/2021 dalam perkara mewakili PT Atlas Anugerah Kencana pada Majelis XIIA, Surat Kuasa Nomor 717/SK-MGP/RnC/XII/2020 dalam perkara mewakili PT Medico Global Pratama pada Majelis XVIIIB , dan Surat Kuasa Nomor 252/SK-SR/RnC/VIII/2020 dalam perkara mewakili PT Surya Bumi Sentosa pada Majelis IB. Surat Kuasa Khusus yang sama yang digunakan Penggugat tanpa mencantumkan NPWP Pemberi dan Penerima Kuasa dalam perkara dan tidak dipermasalahkan oleh Majelis Pengadilan Pajak, bahkan gugatan Penggugat dalam perkara mewakili Sri Roosmini pada Majelis IB dikabulkan untuk seluruhnya, sehingga sepatutnya Majelis Hakim VIIIA Pengadilan Pajak menyatakan Keberatan Tergugat (Tim Sidang) tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada,” tambah Rey;
“Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dalil Tergugat yang menyatakan Surat Kuasa Khusus Penggugat tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan yang berlaku sangatlah mengada-ada, menyesatkan, dan tidak berdasar hukum, oleh karena itu dalil tersebut demi hukum haruslah ditolak atau setidak-tidaknya dikesampingkan” Tegas Rey.
“Kami mohon kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung serta Ketua Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan dan mengawal jalannya persidangan antara PT Jesi Jason Surja Wibowo melawan Direktur Jenderal Pajak,” tutup Rey. (OL-13)
Penaikan tarif pajak tidak akan berdampak positif bagi penerimaan negara dan perekonomian. Naiknya pungutan pajak justru dapat menghasilkan masalah baru.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara soal pembentukan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Optimalisasi Penerimaan Negara oleh Kapolri.
DPRD juga menerima penyampaian Raperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun 2025-2029.
Dengan dibentuknya Bapeneg, pemerintah dapat melakukan rekonstruksi peraturan perundang-undangan penerimaan negara meliputi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Realisasi penerimaan option PKB dan BBNKB yang sudah mencapai 21%, sejauh ini sudah cukup bagus.
REKTOR Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwikorita, menyebut gejala korupsi di Indonesia sudah memasuki level siaga
Gerindra merespons penunjukan Letjen TNI Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea dan Cukai serta Bimo Wijayanto sebagai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan dinilai menabrak prinsip meritokrasi.
Beban yang dibebankan, terutama untuk menaikkan rasio pajak kepada Dirjen Pajak yang baru itu bisa dikerjakan.
IKATAN Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyambut positif pergantian pucuk pimpinan di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan.
Diketahui, Bimo disebut akan menjadi Dirjen Pajak, sementara Djaka menjabat Dirjen Bea Cukai.
Diisukan Dirjen Bea Cukai Askolani akan digantikan oleh Letnan Jenderal TNI Djaka Budi Utama. Sementara posisi Dirjen Pajak disebut akan diisi oleh Bimo Wijayanto.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved