Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MAHKAMAH Konstitusi meminta pemohon perkara pengujian UU Nomor 10 Tahun 2016 untuk memperbaiki permohonan. Pasalnya, argumentasi dan alasan pemohon dinilai tidak relevan, mengingat perkara yang sama pernah ditolak.
“Mohon diperhatikan mengenai legal seperti yang disampaikan. Kemudian, alasannya itu ha rus berbeda dengan perkara sebelumnya. Nanti dilihat lebih lanjut lagi dengan pasalpasalnya supaya lolos dari ne bis in idem. Alasannya harus berbeda dengan permohonan sebelumnya yang ditolak itu,” ujar Hakim Anwar Usman dalam sidang pendahuluan, di Jakarta, kemarin.
Panel Hakim MK menilai bahwa permohonan dari pemohon merupakan perkara yang pernah ditolak MK sehingga untuk kembali mengajukan permohonan untuk perkara yang sama perlu diperkuat dengan argumentasi yang berbeda.
Menurut Hakim Saldi Isra, MK bisa mengubah pendirian. Seperti perkara lainnya. Hal itu sangat wajar terjadi apabila pemohon mempunyai alasan yang kuat dan relevan dengan situasi saat ini. Untuk itu, dia meminta pemohon untuk mencari dan mengelaborasi alasan permohonan yang berbeda.
“Bukan tidak boleh mahkamah mengubah dari pendiri sebelumnya. Tapi itu harus datang dari argumentasi dan alasan yang kukuh dari sebelumnya. Kalau argumentasi baru tidak bisa mengalahkan kekuatan argumentasi sebelumnya, sulit bagi mahkamah mengubah pendirian sebelumnya,” terangnya.
Hakim Daniel Yusmic Foekh menambahkan, dokumen pemohon belum lengkap. Dua pemohon hanya melampirkan fotokopi KTP sehingga dia meminta pemohon untuk melengkapinya.
Selain itu, terkait dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020, Daniel mengatakan yang tercantum hanyalah penundaan pelaksana an pilkada. Artinya, tidak ada alasan yang menyatakan melanggar UU.
Dalam perkara ini, pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk melakukan pengujian UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Van/P-1)
KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menanggapi pernyataan Hakim MK soal sekolah gratis.
MK membuat ketentuan hukum baru dengan mendetailkan bahwa pelaksanaan Pemilu lokal harus dilaksanakan antara dua atau dua setengah tahun setelah pemilu nasional.
UU TNI tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over dan lemah secara kepastian hukum.
Presiden diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Supratman membantah dalil para Pemohon yang menyebutkan pembentukan UU TNI Perubahan tidak memenuhi asas keterbukaan.
Legislasi harusnya menjadi proses yang harus dijalankan oleh DPR dan pemerintah secara cermat dan hati-hati dan bukan administratif dan kegiatan rutin yang dilakukan para pembentuk UU belaka.
PEMISAHAN pemilu tingkat nasional dan lokal yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai keliru. Itu harusnya dilakukan pembuat undang-undang atau DPR
WAKIL Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto meminta kepada publik agar menghentikan perdebatan mengenai pro dan kontra terkait metode penyusunan Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mendorong DPR segera merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada
"Revisi UU ini diharapkan dapat memperkuat peningkatan kewenangan Bawaslu dalam penindakan pelanggaran, sehingga tidak hanya bersifat rekomendatif,"
ADA 20 Februari lalu, Presiden Prabowo telah melantik 481 kepala daerah hasil pilkada serentak 2024. S
PAKAR Hukum Pemilu dari Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini meminta pemerintah dan DPR segera membahas UU Pemilu dan UU Pilkada
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved