Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PELAKSANAAN pemilihan kepala daerah (Pilkada) 9 Desember 2020 yang telah disepakati pemerintah, KPU dan DPR dinilai sangat mengkhawatirkan karena masih di tengah ancaman infeksi virus korona.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pun mendorong semua pihak mengkaji ulang keputusan itu supaya tidak mengorbankan kesehatan penyelenggara, peserta dan masyarakat.
"Kami sekali lagi meminta KPU, Pemerintah, dan DPR untuk mengevaluasi kesepakatan yang mereka buat mengenai penetapan pilkada pada 9 Desember. Keselamatan dan kesehatan masyarakat harus ditempatkan sebagai prioritas dalam perhelatan pilkada kita," kata Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil dalam keterangan resmi, Kamis (28/5).
Ia mengatakan evaluasi keputusan itu penting agar praktik demokrasi yang merupakan penghormatan pada martabat manusia melalui penghargaan pada setiap suara pemilih yang ada. Kemudian juga tidak diciderai akibat marabahaya paparan covid-19 yang mengancam enyelenggaraan pilkada yang berlangsung di tengah pandemi.
"Sudah semestinya suara elite mencerminkan suara dan kepentingan publik secara orisinil," terangnya.
Baca juga : Masih Ada Zona Merah, LaNyalla minta Kaji Ulang Pilkada Desember
Landasan perlunya evaluasi pelaksanaan pilkada, kata dia,merujuk pada tiga hal. Pertama keputusan melanjutkan tahapan pilkada ditengah pandemi covid-19, dengan masa persiapan yang sangat sempit adalah keputusan yang mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara pemilu.
DPR, Pemerintah dan penyelenggara pemilu terlihat kurang peduli terhadap kondisi faktual, bahwa hingga hari ini, jumlah korban yang terinfeksi Covid-19, bahkan korban meninggal dunia masih terus bertambah dan belum menunjukkan kecenderungan akan melandai, apalagi berakhir.
Pelaksanaan pilkada 2020 yang akan dilaksanakan di 270 daerah, belum memiiki kerangka hukum yang sejalan dengan protokol penanganan covid-19. Perpu nomor 2/2020 sama sekali tidak mengatur pelaksanaan pilkada yang menyesuaikan pelaksanaan tahapan yang sesuai dengan protokol penanganan covid-19.
"Artinya, pelaksanaan pilkada mesti menggunakan mekanisme normal, sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada. Jika kesimpulan rapat antara DPR, Pemerintah dan penyelenggara pemilu meminta pelaksanaan pilkada menggunakan protokol covid-19, tentu dibutuhkan kerangka hukum yang cukup, adil, dan sesuai dengan pinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu demokratis," ujarnya.
Untuk menyiapkan ini dibutuhkan waktu yang cukup. Sementara, keputusan untuk memulai kembali tahapan pilkada pada 15 Juni 2020, jelas membuat waktu mempersiapkan kerangka hukum untuk melaksanakan pilkada dengan protocol covid-19 tidak cukup. Akibatnya akan sangat berbahaya. Kualitas pilkada bisa menurun.
"Derajat keterwakilan pemilih menjadi tidak maksimal. Ini jelas bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan pilkada itu sendiri," katanya.
Landasan terakhir, lanjut Fadli, salah satu konsekuensi melaksanakan pilkada ditengah pandemi covid-19, KPU meminta tambahan anggaran ratusan miliaran rupiah. Untuk proses pembahasan dan penambahan anggaran ini tentu membutuhkan waktu.
Belum lagi proses pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) dan perangkat lainnya untuk melaksanakan pilkada ditengah pandemi Covid-19, mesti dilaksanakan dengan mekanisme yang benar untuk menghindari terjadinya kesalahan pertanggungjawaban keuangan negara.
Satu hal yang perlu diingat oleh DPR, Pemerintah, dan KPU, bahwa ketika tahapan pilkada nanti dilanjutkan, akan langsung berhadapan dengan tahapan pendaftaran pemilih, serta verifikasi dukunga calon perseorangan.
"Artinya APD dan perangkat kesehatan lainnya akan langsung digunakan dalam lebih kurang 18 hari kedepan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pengadaan APD dan perangkat secara massal, distribusinya ke seluruh daerah pemilihan bisa selesai, sementara uangnya saja baru mulai mau dianggarkan. Sesuatu yang rasanya kurang rasional di dalam persiapan untuk melanjutkan tahapan Pilkada 2020," pungkasnya.
Hal serupa juga diungkap Anggota Komisi II DPR asal Fraksi NasDem Syamsul Luthfi. Menurut dia pilkada di 270 daerah pada 9 Desember akan mempertaruhkan partisipasi masyarakat dan mutu demokrasi. Pasalnya suksesi dalam penentuan pemimpin daerah kala pandemi dapat terhambat oleh ancaman penyebaran virus korona.
"Pandangan saya jelas kualitas pilkada akan menurun dibanding pilkada sebelumnya. Utamanya partisipasi masyarakat yang akan menurun drastis. Masyarakat akan lebih memilih diam di rumah daripada menyalurkan hak suaranya di TPS," katanya.
Menurut dia, pelaksanaan pilkada juga akan berbenturan dengan ketakutan penyelenggara saat harus menggelar pemungutan di rumah sakit infeksi virus korona. Setiap pasien virus korona memiliki hak untuk memilih calon kepala daerahnya namun teknisnya sangat sulit.
"Tentu sangat sulit diatur teknisnya. Kemudian yang sangat tidak fair adalah kepala daerah incumbent bisa memanfaatkan momentum pandemi covid untuk menggaet suara dengan menyalurkan bantuan baik dari APBN maupun APBD," ujarnya.
Menurut Luthfi, penyaluran bantuan sosial dapat disalahgunaan untuk kepentingan politik bila pilkada tetap dilangsungkan waktu dekat.\
Baca juga : KPU Rencanakan Alat Coblos Sekali Pakai Hingga Inovasi Tinta
"Pengadaan APD maupun bantuan sembako yang terjadi sekarang bagi kepala daerah incumbent bisa dimanfaatkan oleh koleganya untuk menambah pundi-pundi dana pilkada. Ini sungguh tidak fair. Apalagi kita berbicara hal teknis yang lain maka sangat berat untuk bisa memastikan pilkada ini bisa bermutu," ungkapnya.
Guna menjaga mutu dan partisipasi pemilih menurut dia, pemerintah, DPR serta penyelenggara pemilu belum kehabisan kesempatan untuk mengkaji ulang kesepakatan pilkada 9 Desember.
"Kenapa kita tidak memakai prinsip mundur selangkah untuk maju beberapa langkah sehingga kesannya tidak dipaksakan seperti sekarang ini," katanya.
Ia pun menyangsikan persiapan dan tahapan pilkada yang akan dimulai 15 Juni karena masih berkutat dengan beban teknis dan protokol kesehatan.
"Maka estimasi pelaksanaan yang paling moderat adalah penundaan sampai tahun depan. Karena fokus kita saat ini adalah bagaimana menciptakan stabilitas kesehatan dan stabilitas ekonomi," pungkasnya. (OL-7)
Abdul menjelaskan, penyidik belum menahan tersangka karena pemeriksaan akan dilanjutkan.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Yalimo, Papua sebagai penyelenggara pemilu dituding telah melakukan pelanggaran etik.
PAGUYUBAN Nusantara Yalimo Bangkit meminta MK untuk tidak mematikan suara rakyat Yalimo, dengan putusan yang semestinya
DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan dua anggota KPU Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari jabatannya.
Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah tercatat sukses, meski dalam kondisi pandemi COVID-19. Pengalaman itu menjadi rujukan untuk penyelenggaraan berbasis manajemen risiko Pemilu 2024.
Ppartai politik juga harus ambil bagian dalam mendinginkan suasana dan mengajak pendukungnya untuk bisa menerima putusan MK.
Nimbus berada pada kategori VUM, artinya sedang diamati karena lonjakan kasus di beberapa wilayah, namun belum menunjukkan bukti membahayakan secara signifikan.
KEPALA Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Ishaq Iskanda, Sabtu (21/6) mengatakan Tim Terpadu Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (Sulsel) menemukan satu kasus suspek Covid-19.
Peneliti temukan antibodi mini dari llama yang efektif melawan berbagai varian SARS-CoV, termasuk Covid-19.
HASIL swab antigen 11 jemaah Haji yang mengalami sakit pada saat tiba di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, menunjukkan hasil negatif covid-19
jemaah haji Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala penyakit pascahaji. Terlebih, saat ini ada kenaikan kasus Covid-19.
Untuk mewaspadai penyebaran covid-19, bagi jamaah yang sedang batuk-pilek sejak di Tanah Suci hingga pulang ke Indonesia, jangan lupa pakai masker.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved