Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan suap terkait dengan impor ikan di Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo). Kali ini, tiga pejabat dan pegawai dari perusahaan pelat merah itu dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi.
Selain dua sekretaris Direktur Utama nonaktif Perum Perindo Risyanto Suanda, yakni Yuniastin dan Lani Pujiastuti, komisi antirasuah juga memanggil Kepala Divisi Pengelolaan Aset Perum Perindo Wenny Prihatin. Satu saksi lain yang dipanggil ialah Efrati Purwantika yang disebut sebagai ibu rumah tangga. "Mereka yang dimintai keterangan itu menjadi saksi untuk tersangka MMU (Mujib Mustofa)," kata juru bicara KPK Febri Diansyah, kemarin.
Mujib merupakan satu dari dua tersangka dalam kasus itu. Ia merupakam Direktur PT Navy Arsa Sejahtera yang mendapatkan kuota impor ikan dari Perum Perindo.
Dalam kasus itu, Mujib diduga memberi suap kepada Risyanto untuk mengatur kuota impor ikan salem yang didatangkan dari Tiongkok. KPK menemukan adanya dugaan alokasi fee Rp1.300 kepada Risyanto untuk setiap kilogram ikan yang diimpor ke Indonesia.
PT Navy Arsa tercatat sebagai salah satu perusahaan importir ikan yang telah masuk blacklist sejak 2009 karena pernah melakukan impor ikan melebihi kuota yang ditentukan. Perusahaan itu semestinya tidak bisa lagi mengajukan kuota impor yang baru.
Dalam sebuah pertemuan pada Mei 2019, disepakati PT Navy Arsa mendapatkan kuota impor 250 ton dari kuota impor resmi milik Perum Perindo. Setelah didatangkan PT Navy Arsa, ikan disimpan di cold storage milik Perum Perindo. Cara itu ditempuh untuk mengelabui seolah-olah yang mengimpor ialah Perum Perindo, bukan PT Navy Arsa.
Penyidik KPK menduga Risyanto menerima US$30 ribu untuk pengurusan kuota impor tersebut. Komisi antirasuah juga mendalami dugaan tiga penerimaan sebelumnya oleh Risyanto dari perusahaan importir lain yang diduga terdiri dari US$30 ribu, S$30 ribu, dan S$50 ribu.
Di lain sisi, KPK melakukan pendampingan dalam rangka penertiban aset daerah. Kali ini penertiban dana Rp155,46 miliar dari sejumlah kegiatan pencegahan korupsi di Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan.
Febri menjelaskan penertiban aset tersebut merupakan hasil keterlibatan KPK dalam penyelesaian aset daerah sebagai tindak lanjut pemekaran wilayah yang tak kunjung selesai selama kurang lebih 18 tahun. (Dhk/P-3)
Tren tutup muka ini masih menunjukkan bahwa korupsi menjadi aib bagi para tersangka.
Sebanyak Rp33 juta berhasil dikumpulkan pegawai KPK melalui metode zakat. Sementara itu, ada Rp12 juta infak yang juga terkumpul untuk menambah beasiswa yang diberikan.
Pembahasan dengan para pakar itu juga dilakukan untuk meyakinkan KPK dalam bekerja ke depannya.
Informasi terkait aliran dana itu juga didalami dengan memeriksa eks Senior Vice President Investasi Pasar Modal dan Pasar Uang Taspen Labuan Nababan.
KPK menyita Rp231 juta dalam OTT di Sumut. Namun, uang itu cuma sisa atas pembagian dana yang sudah terjadi.
Agus menyampaikan, apa yang dilakukan oleh Menteri UMKM tersebut adalah contoh yang baik dan patut ditiru oleh pejabat lain maupun masyarakat luas.
"BPK RI telah melaksanakan pemeriksaan dalam rangka perhitungan kerugian negara dalam perkara dimaksud dan menyimpulkan adanya penyimpangan."
Saat menjabat sebagai Dirut Perum Perindo, Syahril melaksanakan penerbitan MTN dan mendapatkan dana sebesar Rp200 miliar yang terdiri dari sertifikat Seri Jumbo A dan Seri Jumbo B.
Menurut Leonard, penetapan tersangka ini dilakukan setelah jaksa penyidik memeriksa tujuh orang saksi. Namun hanya dihadiri oleh empat saksi, dan tiga di antaranya ditetapkan tersangka.
Ketiga tersangka, yaitu mantan Vice President Perindo Wenny Prihatini, Direktur Prima Pangan Madani Lalam Sarlam dan Direktur Kemilau Bintang Timur Nabil Basyuni.
satu menit setelah Iwan duduk di ruang tunggu saksi, Leonard menyebut yang bersangkuan mengalami kejang-kejang. Setelah itu, Iwan mengalami sesak nafas dan tidak sadarkan diri.
Kasus itu bermula pada 2017 saat Perindo menerbitkan medium term notes (MTN/utang jangka menengah) sebagai salah satu upaya mendapatkan dana dengan menjual prospek.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved